Friday, April 07, 2017

Eksklusi Politisasi Agama

Opini

Eksklusi Politisasi Agama
Suara Pembaruan, Kamis, 6 April 2017

A. Bakir Ihsan

Layaknya sebuah dialektika, relasi agama dan politik selalu menyulut pro kontra. Beberapa hari lalu, Presiden Joko Widodo melontarkan pernyataan tentang pentingnya pemisahan agama dan politik. Pernyataan ini tak ayal mengundang perdebatan dalam beragam perspektifnya. Padahal kalau dipahami secara kontekstual, pernyataan Presiden mengarah pada upaya pengagungan agama dengan cara menjauhkannya dari politisasi.
Wanti-wanti dari presiden tersebut menemukan urgensinya di tengah kecenderungan politisisasi agama. Politisasi agama yang memicu eksklusi bahkan diskriminasi. Penolakan menyalatkan jenazah karena beda dukungan politik, diskriminasi hak politik berdasarkan agama yang diumbar di ranah publik adalah puncak gunung es dari upaya politisasi agama. Selain paradoks dengan misi agama, politisasi agama bisa menjadi preseden buruk bagi soliditas dan solidaritas kewargaan.
Walaupun dari sekian kali kontestasi, politisasi agama tidak terlalu signifikan dampaknya terhadap politik elektoral, namun secara sosio-politik bisa berdampak pada dua hal. Pertama, mengkristalnya partisi relasi antar anak bangsa berdasar primordialitas. Politisasi agama menggerus keadaban dan rajutan kewargaan. Kedua, dominasi terhadap ruang publik atas nama mayoritarian.

Tali pengaman
Politisasi agama hadir tidak dari ruang hampa. Menguatnya intimasi relasi agama dan politik tidak terlepas dari adanya keuntungan (insentif) yang dinikmati. Paling tidak, masyarakat dengan ragam penafsirannya terhadap agama menemukan “rasa aman” di tengah alienasi yang disuguhkan oleh beragam kuasa lainnya. Dalam kondisi demikian, agama hadir sebagai “tali pengaman” atau existential security (Norris & Inglehart, 2004). Pemahaman keagamaan yang memberi rasa aman ini biasanya menguat di kalangan masyarakat yang menemukan jawaban atas beragam masalah kehidupannya pada agama.
Dalam konteks politik pun demikian. Pilihan terhadap partai politik atas dasar agama atau ideologi tertentu, menurut Gallup World Poll (2008) karena kegagalan partai atau rezim yang non-agama (sekuler) atau ideologi lain. Di beberapa negara muslim demokratis, seperti di Turki dan Indonesia, ketidakpuasan atas realitas politik, melahirkan politik agama sebagai pilihan. Agama menjadi jawab atas krisis politik. Pada konteks ini, agama dan politik berada pada fungsi yang saling mengait.
Munculnya gerakan politik dengan label agama sesungguhnya mencari jawab atas masalah yang dihadapinya. Secara politik hal tersebut bisa dijawab oleh partai politik yang bertanggungjawab mengagregasi aspirasi masyarakat, termasuk kelompok keagamaan. Sayangnya partai politik yang pada awal reformasi menjadi tumpuan kuat masyarakat tak mampu bergerak mengimbangi arus kebebasan yang lahir dari reformasi. Konsekuensinya, masyarakat dengan segala kepentingannya melampaui gerak partai politik yang lamban dan cenderung pragmatis.

Pasar politik
Charles M. Mack (2010) menyebut salah satu penyebab kegagalan partai politik adalah alienasi partai dari pemilih intinya (core base voter). Alienasi lahir karena pemilih tradisional tidak menemukan tali pengaman dari partai, termasuk partai politik agama.
Partai agama sejatinya memiliki nilai lebih (competitive advantage) dibandingkan partai sekuler dengan captive market yang khas. Paling tidak, ada dua captive market partai agama (Islam), yaitu pasar ketidakpuasan terhadap politik sekuler dan pasar tumbuhnya semarak keagamaan.
Pasar pertama tampaknya mulai menyusut seiring mencairnya identitas partai agama yang bergerak menjadi catch all party. Ia juga gagal mendiversifikasi identitas politiknya di tengah realitas sosio-politik yang heterogen. Pun pada ranah tingkah laku partai, partai politik agama  setali tiga uang dengan partai politik sekuler, termasuk dalam deviasi dan distorsi fungsinya dan lacurnya etika politik.
Sementara pasar keagamaan yang semarak sejak awal 1990-an belum mendapatkan pijakan politik yang sinergis. Semarak keagamaan pada ranah kultural tidak berkelindan dengan semarak politik agama yang cenderung formalistik-simbolik. Euforia politik agama hanya berpijak pada imajinasi kuantitas umat Islam yang mayoritas, tanpa memahami strategi mensinergikannya secara substantif. Kebangkitan keagamaan secara kultural hanya dijawab melalui formalisasi ajaran agama pada ranah aturan tanpa mampu menerjemahkannya menjadi apa yang disebut Alexis de Tocqueville sebagai habits of the heart.
Dalam kondisi perilaku partai politik yang seragam dan persoalan sosial budaya dan ekonomi belum banyak beranjak, tawaran paham keagamaan yang dianggap memberi kepastian cenderung menjadi pilihan. Jawaban agama yang rigid, eksklusif, dan mempertegas posisi kami (minna) dan mereka (minkum), seperti oase yang dapat dikonversi menjadi gerakan politik keagamaan.

Negara hadir
Berpijak pada gejala menguatnya politisasi agama di atas, maka ada tiga hal yang diharapkan bisa mencairkannya. Pertama, dalam kehidupan masyarakat yang religius (berketuhanan), etika dan keteladanan politik dalam kehidupan sosial yang majemuk menjadi kemestian. Etika yang mengedepankan negosiasi dan menyemarakkan toleransi yang tampak pada sikap dan perilaku para elit politik (struktural) maupun elit sosial keagamaan (kultural). Yang sering muncul kepermukaan adalah kecenderungan etika politik yang semakin rapuh yang tercermin dalam sikap eksklusif, oligarkis, dan koruptif.
Kedua, masih tingginya rasio gini atau kesenjangan ekonomi menjadi lahan subur gerakan protes yang bisa dikemas dengan beragam label, termasuk label agama. Pemberdayaan ekonomi umat atau kelompok yang paling banyak termarginalkan adalah keharusan, agar mimpi pada ideologi atau sistem lain tak dirasa penting lagi.
Ketiga, political will  untuk menghadirkan negara, sesuai semangat otonomi daerah, di tengah masyarakat. Politik yang menghadirkan negara melalui tata kelola yang efektif dan inklusif berlandaskan keragaman dan problem warganya.

Dengan demikian, politisasi agama sebagai muara dari beragam problem sosial secara perlahan akan kehilangan pijakannya. Hal ini karena negara hadir sebagai existential security bagi warganya.*