Tuesday, February 21, 2006

Opini

Reformasi TNI dan Tantangan Sipil
Suara Karya, Selasa 21 Februari 2006

A. Bakir Ihsan

Sebagai antitesa dari rezim otoriter yang dikendalikan oleh militer, maka era reformasi ini seharusnya menjadi ranah sipil untuk mewujudkan reformasi sejati. Namun bagaimana kenyataannya?
Beberapa agenda reformasi sudah dilaksanakan oleh sipil dengan cukup baik. Bahkan dalam hal-hal tertentu Barat menganggap Indonesia sebagai negara yang berhasil membangun demokrasi politiknya di tengah masyarakatnya yang plural. Indikator keberhasilan tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan pemilihan langsung baik pada Pilpres 2004 maupun dalam Pilkada yang sedang dilaksanakan di berbagai wilayah tanpa gejolak yang berarti. Penguatan wilayah melalui kebijakan otonomi daerah juga menjadi indikator pemberdayaan politik masyarakat lokal yang pada masa sebelumnya sangat sentralistik dan monolitik.
Namun di balik itu semua, masih ada beberapa kendala yang justru bisa menyebabkan reformasi mati suri, atau bahkan bisa mengarah pada involusi reformasi karena sipil kehilangan orientasi. Dalam UU Pilkada Nomor 32 Tahun 2004, misalnya, ternyata sipil masih memberi peluang bagi TNI untuk ikut terlibat dalam politik praktis melalui Pilkada. Ini merupakan salah satu kecerobohan sipil dalam menegakkan reformasinya di tengah TNI, paling tidak melalui UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, berusaha mengambil jarak dengan politik.

Reformasi TNI
Sejak awal reformasi yang paling banyak mendapat hujatan adalah TNI, karena dianggap sebagai biang segala masalah. Bahkan saat itu, TNI seperti, dalam cerita detektif Sherlock Holmes, the dog that did not bark. Namun tampaknya hujatan tersebut tidak membangkitkan post power syndrom di kalangan TNI, sehingga tidak memunculkan gerakan-gerakan yang dapat mengancam kebebasan sipil. Justru mereka menata diri dengan segala daya yang dimilikinya untuk bersama-sama sipil mewujudkan reformasi.
Walaupun dalam perjalanannya, muncul beberapa kendala, baik secara internal maupun eksternal, namun dengan langkah pasti TNI mencoba menyesuaikan diri dengan dunia reformasi yang mengedepankan supremasi sipil.
Dalam dunia militer Indonesia, tak pernah sedikitpun tercecer warisan tentang supremasi sipil. Militer Indonesia tak pernah diajari tentang bagaimana harus tunduk pada pemerintahan yang dikendalikan oleh sipil. Justru sejarah mengajarkan mereka, bagaimana berdiri sejajar dengan sipil atau bahkan mengendalikan dan menguasai sipil. Pada masa Orde Lama, militer berdiri sejajar dengan sipil dan pada Orde Baru militer menguasai sipil. Semua ini terjadi karena militer menjadi kuda troya kekuasaan.
Namun dalam waktu singkat, yaitu sejak reformasi bergulir, militer tiba-tiba dihadapkan pada sebuah dunia yang sama sekali baru yang mengedepankan supremasi sipil, yaitu pengakuan terhadap kekuasaan sipil yang pada masa sebelumnya justru di bawah kendalinya. Kita tidak bisa membayangkan seandainya militer menolak atas upaya penegakan supremasi sipil tersebut. Tentara dengan senjata yang dimilikinya bisa saja mbalelo atau melakukan rekayasa chaostik sehingga dirinya bisa bermain dan masyarakat membutuhkan bantuannya. Namun TNI tidak melakukan itu semua. Justru mereka menunggu dengan sabar langkah-langkah yang diberikan sipil kepada dirinya.
Lahirnya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 dianggap sebagai momentum yuridis bagi langkah reformasi TNI. UU tersebut menjadi rambu yang membatasi gerak politik TNI. Dan TNI berusaha sepenuh hati untuk melaksanakan undang-undang tersebut dalam pelaksanaan tugasnya. Namun sayangnya ketika UU tersebut dibuat, ada UU lain yang memungkinkan keterlibatan militer dalam politik, yaitu adanya UU Pilkada atau pemerintahan daerah yang memungkinkan TNI terlibat di dalamnya.
Ini merupakan cacat reformasi yang diciptakan sendiri oleh sipil sebagai penanggung jawab paling depan bagi pelaksanaan reformasi. Dari sini terlihat bahwa sipil belum sepenuhnya menempatkan TNI sebagai kekuatan profesional yang semata-mata mengurusi masalah pertahanan. Dan selama UU Pilkada belum direvisi, maka sepanjang itu pula TNI punya peluang untuk terjun ke politik praktis. Hal ini harus menjadi perhatian serius dari politisi sipil, apalagi menjelang Pemilu 2009 nanti yang memberikan hak bagi anggota TNI untuk memilih.
Keseriusan TNI untuk tidak berpolitik praktis juga dapat dilihat dari penarikan fraksi TNI dari lembaga legislatif yang lebih awal (2004) dari jadwal semula (2009).
Bahkan kalau kita mengembalikan sosok SBY sebagai mantan militer, dialah presiden yang berhasil melengkapi rotasi panglima TNI secara bergiliran. Ketika Abdurrahman Wahid berkuasa, ia memunculkan calon dari angkatan laut untuk meretas dominasi angkatan darat. Tapi waktu itu, angkatan laut memang berada di atas angin dan mendapat dukungan sangat kuat dari masyarakat karena dianggap pro gerakan reformasi yang digalang mahasiswa. Sementara Megawati kembali melanggengkan dominasi angkatan darat. Presiden SBY mampu meretas kebekuan kesempatan bagi seluruh angkatan untuk memangku jabatan panglima dengan mengangkat Marsekal Djoko Suyanto yang nota bene dari angkatan udara.

Memperkuat Reformasi
Melihat langkah tertib reformasi yang dilakukan TNI, maka sipil seharusnya lebih maju dari itu semua, bukan malah memancing TNI untuk bersikap mengambang dalam persoalan politik. Hal ini merupakan tantangan reformasi yang harus ditegakkan oleh sipil, apalagi memasuki Pemilu 2009 nanti yang memberi hak memilih bagi anggota TNI. Sekali sipil salah mengambil langkah dalam upaya depolitisasi TNI, maka secara perlahan sipil menggali kuburnya sendiri.
Untuk itu, diperlukan langkah-langkah konstruktif bagi penguatan reformasi sipil, terutama para politisi di DPR yang punya tanggung jawab legislasi dan kontrol terhadap kekuasaan, termasuk terhadap TNI. Langkah konstruktif tersebut berupa konsistensi sikap sipil untuk memperlakukan TNI sebagai alat pertahanan semata sambil memberi kesempatan pada TNI untuk mengaktualisasikan fungsinya. DPR tidak perlu khawatir TNI dapat dipergunakan oleh kepentingan kekuasaan Presiden, karena DPR memiliki peran kontrol.
Di samping itu, perlu komunikasi politik yang intensif antara para politisi dengan masyarakat, sehingga masyarakat tidak bergerak sendiri dan mencari perlindungan pada TNI. Anggota DPR harus mengurangi keasyikan berwacana berdasarkan isu-isu nasional, tanpa terjun dan mendengarkan langsung persoalan sosial yang melanda masyarakat bawah.
Dengan demikian, diharapkan sipil bisa memimpin reformasi ini secara lebih terarah, tertib, reguler, dan bermartabat. Agenda ini tidak mudah untuk diwujudkan, apabila sipil masih mengedepankan kritisismenya pada lembaga lain, seperti TNI, tapi melupakan dirinya. Banyaknya kritik yang dilontarkan pada TNI telah menjadi pemantik reformasi di dalam diri TNI. Sipil pasti lebih bisa melakukannya, karena sipil lah pengendali reformasi ini. Semoga


Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ushuluddin & Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Thursday, February 16, 2006

Opini

TNI dan Reformasi Kaum Sipil
Investor Daily, Kamis 16 Februari 2006

A. Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ushuluddin & Filsafat, UIN Jakarta

Akhirnya pancalonan Marsekal Djoko Suyanto sebagai Panglima TNI disetujui DPR. Melihat proses persetujuan DPR melalui fit and proper test yang begitu panjang, menarik kiranya untuk disikapi dan dianalisis secara kritis guna perbaikan relasi sipil dan militer pada masa yang akan datang. Ada beberapa catatan atas prosesi fit and proper test yang selama ini diklaim sebagai penentu paling absah atas layak tidaknya seorang calon untuk menempati posisi di ranah kekuasaan.
Pertama, DPR telah menunjukkan fungsinya sebagai lembaga yang ikut menentukan calon panglima TNI sesuai UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 secara luar biasa. Dengan 300 pertanyaan yang diajukan pada seorang calon panglima dan memakan waktu 15 jam, mungkin inilah prosesi fit and proper test terlama yang diadakan oleh DPR. Padahal dalam UU TNI juga disebutkan bahwa panglima TNI merupakan hak prerogatif presiden
Kedua, dengan fit and proper test yang begitu melelahkan tersebut terlihat dengan jelas bahwa DPR telah menempatkan panglima TNI sebagai jabatan politik yang sangat strategis, bahkan mungkin lebih strategis dari seorang calon presiden yang tidak pernah menjalani fit and proper test. Saking semangatnya beberapa pertanyaan anggota dewan yang terhormat melampaui wewenang panglima TNI (out of context).
Ketiga, fit and proper test dipahami sebagai penentu paling absah untuk menilai kualitas dan integritas seorang calon panglima, sehingga semua persoalan diajukan kepada seorang panglima TNI yang tugas utama hanyalah alat pertahanan negara. Dan fit and proper test hanya pintu kecil untuk memotret terhadap kualitas seseorang. Fit and proper test tidak akan mampu melihat secara utuh dan komprehensif terhadap sosok calon panglima. Justru melalui track record dan jejak rekam perjalanan karir, DPR bisa melihat kemampuan calon panglima secara lebih komprehensif.
Dari ketiga catatan tersebut kita bisa mengevaluasi apakah pelaksanaan fit and proper test di atas merupakan kerangka ideal bagi reformasi yang hendak kita bangun, khususnya bagi kepentingan tegaknya supremasi sipil atau sekadar basa-basi yang justru memperkuat kepentingan politik DPR?

Politisasi
Pelaksanaan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) seharusnya menjadi ajang yang efektif untuk memotret kualitas calon panglima TNI. Dan efektivitas tersebut ditentukan oleh paralelitas antara input yang diberikan dengan output yang dihasilkan. Berdasarkan standar ini, maka proses fit and proper test yang memakan waktu 15 jam dengan hasil yang tidak maksimal, paling tidak ada beberapa pendalaman jawaban yang belum tersampaikan, bisa dianggap kurang efektif. Salah satu penyebabnya adalah penataan waktu yang tidak maksimal akibat “nafsu” DPR untuk menuntaskan masalah TNI yang begitu luar biasa dalam acara fit and proper test semata. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan anggota DPR yang tidak terkait langsung dengan tugas seorang panglima (out of context). Misalnya kasus Tanjung Priok, Trisaksi, dan kasus-kasus lainnya yang sudah ditangani oleh pengadilan yang dengan sendirinya telah menjadi wilayah hukum, bukan ranah TNI yang khusus menangani masalah pertahanan. Dengan melibatkan TNI terhadap proses hukum yang ada, maka dengan sengaja telah menarik TNI untuk mengintervensi hukum.
Masalah lain adalah gugatan atau pertanyaan atas kebijakan presiden memilih Djoko Suyanto sebagai calon panglima TNI. Pertanyaan ini lebih pantas diajukan pada presiden daripada calon panglima yang notabene penerima dan pelaksana tugas. PDIP, misalnya dari awal menyatakan bahwa keputusan presiden SBY mencalonkan Marsekal Djoko Suyanto sebagai pelanggaran terhadap tata dan etika kenegaraan, karena telah menganulir terhadap kesepakatan Komisi I yang sepakat mengangkat Ryamizad Ryacudu sebagai panglima TNI. Secara tidak langsung PDIP telah membuat peta kompli antara Ryamizard dengan Djoko Suyanto yang notabene dari angkatan yang berbeda dan diangkat oleh presiden yang berbeda. Padahal keduanya (Ryamizard dan Djoko) merupakan anggota TNI yang harus siap diangkat dan tidak diangkat menjadi panglima.
Dari kenyataan ini terlihat bahwa ada nuansa politisasi calon panglima TNI dalam prosesi fit and proper test yang dilaksanakan oleh Komisi I. Konsekuensinya acara tersebut tidak efektif; memakan waktu yang begitu banyak dengan capaian yang tidak maksimal. Dalam hitung-hitungan bisnis, prosesi ini merupakan pekerjaan yang rugi.

Normatif
Jawaban Djoko Suyanto yang selalu berusaha berpijak pada undang-undang dan peraturan sering dituduh sebagai jawaban yang normatif dan tidak reformis. Tuduhan ini menunjukkan bahwa undang-undang tidak lagi menjadi standar reformasi bagi tegaknya civil society. Undang-undang hanya dijadikan pijakan pada saat diperlukan, bahkan mungkin hanya dijadikan pajangan reformasi. Di sinilah problem reformasi sipil terjadi. Semangat reformasi yang diwujudkan dalam bentuk produksi dan reproduksi undang-undang tidak lagi dihiraukan malah dianggap tabu, normatif, dan konservatif. Kenyataan ini tentu membingungkan bagi seorang calon panglima TNI yang mencoba untuk konsisten berada dalam jalur undang-undang, sementara sipil (DPR) menuntut penafsiran personal terhadap undang-undang yang bisa jadi sangat politis dan sarat kepentingan.
Di satu sisi, TNI diharapkan tetap berjalan dalam koridor reformasi yang telah terumuskan dalam UU TNI, tetapi di sisi lain TNI diminta untuk bisa menafsirkan atas UU tersebut. Inilah paradoksalitas reformasi yang dikawal oleh sipil. Anggota DPR secara tidak langsung memberikan peluang bagi TNI untuk bermuka; profesional di satu sisi, dan politis di sisi yang lain. Dan inilah yang terjadi dalam pilkada yang melibatkan anggota TNI aktif. Dan anehnya ketika TNI memilih untuk mengikuti UU Pilkada, sipil, dalam hal ini anggota DPR, menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap komitmen reformasi TNI.
Persoalan reformasi TNI selalu diserahkan sepenuhnya pada TNI. Anggota DPR tidak sadar bahwa TNI merupakan bagian dari supremasi sipil. Dengan kata lain, reformis tidaknya TNI juga tergantung pada politisi (pemerintahan) sipil dalam mengatur dan mengawal reformasi yang telah diciptakannya sendiri yang tercermin dalam peraturan dan perundang-undangan.
Sungguh ironis, satu sisi TNI diharapkan reformis, tapi di sisi lain sipil tidak memperlihatkan sikapnya yang reformis, bahkan cenderung menafsirkan dan memperlakukan reformasi secara liar. Ketika TNI berusaha berada dalam real konstitusi yang diproduksi oleh DPR sendiri, ia dianggap konservatif dan normatif. Sebuah tuduhan yang sarat dengan ambiguitas dan paradoksalitas.
Begitu juga terhadap kebijakan penerapan Komando Teritorial (Koter) yang menurut calon Panglima TNI Djoko Suyanto masih relevan diterapkan. Tugas dan fungsi Koter ini sebenarnya merupakan wilayah sipil dan diserahkan sepenuhnya pada pemerintah daerah. Namun selama pemerintah tidak melaksanakan fungsi tersebut, maka ia menjadi otoritas TNI. Dengan kata lain, seandainya sipil mau dan mampu menjalankan tugas Koter tersebut, maka tidak ada alasan TNI memperlakukan Koter. Sekali lagi, pada titik ini keputusan dan komitmen ada di tangan sipil.
Keseriusan reformasi TNI yang sering digugat oleh sipil terlihat juga dalam restrukturisasi bisnis TNI yang saat ini sudah diverifikasi. Kesulitan Tim Supervisi Transformasi Bisnis TNI dalam menverifikasi bisnis TNI lebih disebabkan oleh begitu berurat akarnya persoalan bisnis di tubuh TNI. Kalau dilacak secara historis, keterkaitan TNI dengan bisnis sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan, yaitu sejak proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan pasca kemerdekaan. Namun demikian, tidak ada alasan untuk membiarkan bisnis TNI terus berlanjut tanpa kontrol dari negara.
Berdasarkan realitas keseriusan TNI untuk mereformasi dirinya baik secara politik maupun bisnis, maka ketakutan-ketakutan terhadap sepak terjang politik dan binis TNI sebagaimana yang terjadi pada masa lalu menjadi tak berdasar lagi. Bisa jadi kekhawatiran tersebut lebih sebagai apologi dan ketakutan sipil pada kualitas dirinya sendiri untuk mengontrol secara serius seluruh perjalanan tata kenegaraan, termasuk reformasi TNI.
Dengan adanya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 dan semakin meningkatnya kontrol masyarakat, termasuk kalangan LSM dan media massa, maka kemungkinan TNI menjadi alat kekuasaan jauh panggang dari api. Dari dulu, kalau kita telisik secara historis, TNI merupakan alat, bukan sebagai pemain utama. Oleh sebab itu, kemampuan dan konsistensi untuk memperlakukan TNI sebagai alat pertahanan semata akan menentukan terhadap nasib reformasi TNI dan sipil ke depan. Nah pertanyaannya sekarang, mampukan sipil menempatkan TNI sebagai alat pertahanan? Pertanyaan ini patut diajukan karena nuansa politisisasi TNI masih belum punah, bahkan mungkin saja semakin mengental karena pada Pemilu 2009 anggota TNI dapat menggunakan hak pilihnya. Inilah pertanyaan yang seharusnya dijawab oleh politisi sipil, termasuk anggota DPR dan partai politik yang paling bertanggungjawab atas pemberdayaan politik bangsa. Apakah kita masih konsisten untuk merayakan reformasi sesuai dengan aturan main yang telah kita buat atau menjadikan reformasi sebagai makhluk liar demi kepentingan politik sesaat.*

Tuesday, February 14, 2006

Opini

Panglima TNI dan Persetujuan DPR
Republika, Senin, 23 Januari 2006

A. Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ushuluddin & Filsafat, UIN Jakarta

Setelah hiruk pikuk pencalonan panglima TNI mulai mereda, gagasan menarik dilontarkan oleh Panglima TNI, Endriartono Sutarto dan Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono. Keduanya mengusulkan perlunya revisi UU TNI khususnya pasal 13 ayat 5 terkait dengan perlunya persetujuan DPR dalam pengangkatan panglima TNI. Menurutnya pengangkatan TNI tidak perlu persetujuan DPR, tapi cukup meminta pertimbangan DPR. Usulan tersebut dilatarbelakangi oleh perdebatan yang selalu muncul menjelang pergantian panglima TNI. Perdebatan tersebut telah menyeret TNI menjadi komoditas politik. Selama UU tersebut tidak direvisi, maka pergantian panglima TNI akan selalu berpotensi mengundang perdebatan politis.
Gagasan revisi UU TNI tersebut mendapat tanggapan tajam dari anggota DPR. Namun dari sekian tanggapan, alasan utama penolakan mereka lebih dilatarbelakangi oleh trauma historis berupa ketakutan-ketakutan atas tindakan TNI masa lalu yang menjadi kuda troya kekuasaan dan mengancam kebebasan sipil.
Dengan mengedepankan ketakutan historis tersebut, berarti sipil tidak begitu yakin dengan agenda reformasinya sendiri yang secara tegas telah dirumuskan dalam bentuk undang-undang. Inilah problem kebangsaan kita saat ini di tengah upaya menegakkan supremasi sipil. Secara yuridis kita sudah menapaki ranah reformasi, tetapi secara budaya kita masih konservatif dan sering bersimpang jalan dengan aturan itu sendiri. Itulah realitas politik yang terjadi di republik sipil saat ini. Dari sini kita patut khawatir bahwa sipil hanya mampu melakukan politisisasi daripada serius menegakkan agenda reformasi.
Kalau problem utama penolakan terhadap rencana revisi UU TNI tersebut adalah trauma historis terhadap tindakan militer masa lalu, maka kita patut belajar dari cara TNI mengosongkan seluruh kesadarannya sebagai kelompok yang pernah mengendalikan kekuasaan yang telah diwarisinya sejak zaman kemerdekaan menjadi kelompok yang dikendalikan oleh sipil. Bagaimana dwifungsi yang telah mendarahdaging dan membeku dalam kesadaran TNI mampu dicairkan dalam waktu singkat seiring dengan tuntutan reformasi. Mereka mampu menepis postpower syndrom di tengah sipil bereuforia dengan kekuasaannya. Sementara sipil terus dihantui oleh sejarah kelam TNI yang disebabkan oleh politik kekuasaan masa lalu yang secara faktual mulai terbantahkan, TNI semakin mantap dengan agenda reformasinya.

Transformasi Kesadaran
Sejak awal reformasi, beberapa langkah penting sudah diambil dalam rangka “mengandangkan” TNI dari sirkus politik. Bahkan sejak awal reformasi peran politik tentara telah berada pada titik terendah, terutama pada masa Abdurrahman Wahid yang secara radikal mereposisi dan merestrukturisasi lembaga tentara (TNI). Beberapa kebijakan penting dari “pelumpuhan” hegemoni tentara adalah dihapuskannya Badan Kordinasi Ketahanan Nasional maupun daerah (Bakortanas dan Bakortanasda) yang selama Orde Baru menjadi lembaga mata-mata tentara dari pusat sampai daerah.
Walaupun pada awalnya langkah reformasi tersebut mendapat resistensi, tetapi setahap demi setahap TNI mampu berbenah diri. Bahkan kalau keterlibatan politik TNI diukur melalui keterlibatan mereka di lembaga legislatif, TNI jauh lebih cepat merealisasikan agenda reformasinya dibandingkan sipil. TNI yang sebenarnya masih memiliki kesempatan di legislatif sampai tahun 2009, mereka justru keluar dari legislatif lebih awal dari rencana semula, yaitu 2004.
Lebih jauh, reformasi di tubuh TNI telah sampai pada proses internalisasi nilai-nilai kemanusiaan (HAM) yang tercantum dalam kurikulum pendidikan mereka. Ini merupakan perubahan yang sangat fundamental, karena TNI selama ini sering dianggap sebagai monster yang paling bertanggungjawab atas pelanggaran HAM masa lalu. Dalam kurikulum pendidikan mereka masalah penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan lebih dikedepankan sebagai bagian dari reformasi internal TNI.
Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa transformasi kesadaran di kalangan sipil berlangsung lamban dan cenderung konservatif dibandingkan dengan proses transformasi kesadaran yang dilakukan TNI. Bahkan lebih dari itu, transformasi kesadaran dalam tubuh TNI tersebut telah menjelma menjadi sikap pengakuan atas supremasi sipil.

Supremasi sipil
Salah satu keberhasilan sipil dalam proses reformasi selama ini adalah kemampuannya membangun sebuah kerangka struktural bagi bangunan reformasi itu sendiri. Secara logika, dengan segala perangkat reformasi yang telah disusunnya, sipil seharusnya bisa menjadi kampiun reformasi. Namun kenyataan berbicara lain. Sipil masih sering memainkan TNI untuk meraih kepentingan politiknya. Selain terlibat dalam perdebatan pergantian panglima TNI yang sebenarnya merupakan hak prerogatif presiden, juga sipil telah memancing TNI masuk ke ranah politik melalui pilkada yang lalu. Keterlibatan TNI dalam pilkada tidak sepenuhnya merupakan hasrat politik TNI, tetapi lebih disebabkan adanya celah secara yuridis dan faktual yang ditawarkan oleh kaum politisi. Sebenarnya kalau sipil betul-betul hendak menegakkan supremasinya, maka konsistensi reformasi harus dijaga dan menutup rapat-rapat bagi kemungkinan keterlibatan TNI.
Dalam rangka itulah, maka segala aturan main yang memungkinkan celah politik hadir, harus ditutup rapat-rapat, termasuk dalam hal penentuan (persetujuan) terhadap calon panglima TNI. Kalau pengunduran TNI/Polri dari lembaga legislatif dianggap sebagai monumen terakhir keterlibatan TNI dalam ranah politik, maka sipil seharusnya bisa menjadikan revisi UU TNI dengan segala pertimbangannya sebagai akhir dari upaya politisisasi TNI. Lebih dari itu, seiring dengan mundurnya TNI dari ranah politik, maka seharusnya supremasi sipil bisa lebih ditegakkan melalui sikap dan budaya politik sipil yang dapat dipertanggungjawabkan.
TNI, begitu juga kekuasaan, bukanlah wilayah yang bebas dari hasrat dan kepentingan. Tetapi dalam masyarakat yang demokratis dengan perangkat undang-undang yang cukup komprehensif, maka hasrat dan kepentingan tersebut bisa ditekan sedemikian rupa oleh pemegang kedaulatan, yaitu masyarakat sipil. Dan ini akan terwujud apabila sipil betul-betul mampu menegakkan supremasinya yang direpresentasikan oleh anggota DPR. Bahkan secara ekstrem dapat diyakini bahwa tanpa UU TNI pun, di tengah euforia dan heavy politics yang dimiliki DPR RI dan kesadaran politik yang semakin merekah di masyarakat, TNI tidak akan bisa bertindak melebihi wewenangnya. Di sinilah tanggungjawab dan peran anggota DPR sebagai kontrol eksekutif harus dipertaruhkan. Yaitu kontrol yang kuat agar TNI tidak terjerumus dalam lubang kelam sejarah masa lalunya, apalagi terseret ke ranah politik karena ulah sipil sendiri. Di sinilah revisi UU TNI mendapatkan signifikansinya. Tanpa revisi, maka secara implisit UU tersebut masih menyisakan hasrat sipil untuk menyeret TNI dalam ranah politik praktis.*
Opini

SBY & Upaya Memutus Sejarah Korupsi
Seputar Indonesia, Jum’at, 6 Januari 2006

A. Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ushuluddin & Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Korupsi di negeri ini seperti bara yang tak pernah mati. Ia siap membakar dan menghanguskan berbagai bagian dari bangunan bangsa ini. Mulai dari KPU sampai Departemen Agama, dari anggota legislatif sampai penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bahkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun ini, menurut Transparency International (18/10/05), tak beranjak jauh, yaitu peringkat 20 negara terkorup. Masih adakah peluang untuk keluar dari korupsi sistemik ini?
Selama ini ada dua paradigma dalam menelaah persoalan korupsi di Indonesia, yaitu problem budaya dan sistem yang memaksa setiap orang melakukan korupsi, baik secara individu maupun berjamaah serta turun temurun. Ada sisi lain yang belum banyak diungkap terkait dengan mengguritanya tindak korupsi, yaitu faktor historis. Bahwa korupsi telah menjadi ruh dari sejarah bangsa di republik tercinta ini.
Secara historis bangsa Indonesia telah mewarisi tiga periode korupsi. Pertama, pada masa pascakemerdekaan bersamaan dengan proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Pada masa ini, sumber daya dikendalikan oleh elit penguasa termasuk militer yang memilliki peran penting dan strategis saat itu. Kendali kekuasaan di masa transisi tersebut telah memungkinkan terjadinya distorsi dan penyimpangan, karena tidak adanya kontrol yang kuat baik secara hukum maupun sosial.
Kedua, pada masa Demokrasi Terpimpin. Periode ini merupakan puncak personifikasi negara yang menghegemoni seluruh sistem kehidupan, termasuk dalam masalah ekonomi dan hukum. Kondisi ini telah merangsang bersemainya korupsi, karena hukum menjadi tidak berdaya dan berada di bawah ketiak kekuasaan. Penyimpangan dan penyelewengan yang melibatkan elit tak tersentuh, karena hukum di bawah kendali mereka.
Ketiga, pada masa Orde Baru yang mengembangkan kapitalisme rente. Masa ini telah menjadi ladang subur perselingkuhan para pemilik modal dengan penguasa. Atas nama pembangunan dan stabilitas, praktik korupsi di lingkaran kekuasaan menjadi hal yang lumrah dan tak tersentuh oleh undang-undang apapun. Proyek depolitisasi menjadi tameng penguasa atas kontrol sosial yang dikebiri. Upeti bagi penguasa menjadi pembuka proyek para pengusaha.
Realitas historis di atas seharusnya cukup memberi pelajaran bagi kita bahwa kekuasaan dan korupsi seperti dua sisi mata uang. Keduanya sulit dipisahkan walau dengan aturan atau hukum yang mereka buat sendiri.
Sebagaimana dimaklumi, secara yuridis, sejak awal kita sudah memiliki peraturan yang berupaya mempersempit ruang gerak bagi tindak korupsi. Pada masa Orde Lama, misalnya, ada Peraturan Penguasa Militer –Angkatan Darat dan Angkatan Laut RI, Nomor PRT/PM/06/1957 yang berupaya menghentikan meluasnya korupsi pada saat itu. Langkah ini dilakukan karena KUHP dianggap tidak mampu menanggulangi menjalarnya tindak korupsi.
Begitu juga pada masa Orde Baru, ada beberapa peraturan yang dibentuk untuk meminimalisir tindak korupsi yang semakin menggurita. Misalnya, pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (1967), UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (1971), Operasi Tertib (1977), dan Operasi Khusus Perpajakan (1987). Namun sayang, banyaknya aturan main tersebut berjalin berkelindan dengan kuantitas tindak korupsi itu sendiri. Maka jadilah peraturan anti korupsi tersebut hanya menjadi pajangan pelengkap tata hukum kenegaraan.
Energi untuk memberantas korupsi tampaknya tak pernah habis. Seiring dengan era reformasi, langkah serius untuk menindak para koruptor terus berkobar. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari beberapa fenomena. Pertama, dibentuknya beberapa lembaga dan peraturan bagi tindak korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (2003), Pengadilan Khusus Tipikor (2004), dan Tim Tastipikor (2005). Kedua, dukungan dan langkah berani beberapa LSM dalam mengungkap tindak korupsi dan peran media massa yang ikut menginformasikan penyimpangan dan penyelewengan baik yang melibatkan pemerintah maupun swasta. Ketiga, ditangkapnya beberapa koruptor yang dianggap merugikan negara.
Ketiga realitas tersebut menjadi pemantik optimisme bagi pemberantasan korupsi. Namun kita masih saja menyisakan kekhawatiran dan pesimisme ketika melihat sikap dan perilaku pejabat yang arogan atas nama kepentingan korps atau lembaga yang dipimpinnya. Sehingga menyulitkan langkah pengusutan dan penyidikan tindak korupsi.

Parpol antara Kendala atau Kendali
Secara politik, kekuasaan saat ini dipegang oleh parpol. Seluruh proses kekuasaan harus melalui pintu parpol, mulai dari kepala daerah sampai presiden. Tanpa parpol ranah politik kekuasaan tak mungkin terjamah. Dan tesis bahwa kekuasaan menjadi lumbung korupsi semakin menemukan legitimasinya ketika parpol dan DPR menjadi dua lembaga yang paling tinggi tingkat korupsinya. Seperti hasil survei Gallup International yang kemudian dilansir oleh lembaga Transparency International (2005) parpol dan DPR merupakan dua institusi yang memiliki nilai tertinggi tindak korupsinya (4,2) di antara institusi lainnya. Terjadinya korupsi secara berjamaah yang melibatkan anggota legislatif di tingkat daerah dan adanya percaloan di legislatif pusat menjadi cermin nyata dari tak terkendalinya kekuasaan yang mereka pegang sehingga dengan mudah melakukan tindak penyimpangan.
Kekuasaan dengan segala tindak penyimpangan yang dilakukan oleh parpol dan para politisi tersebut bisa menjadi ancaman bagi masa depan pemberantasan korupsi. Karena bisa saja lembaga yang selama ini gigih melakukan investigasi dan penyidikan tindak korupsi, seperti KPK dan lembaga lainnya, terancam oleh ulah parpol yang overacting sebagaimana sepak terjang kekuasaan pada masa lalu. Kekhawatiran KPK, yang sampai saat ini belum menerima gaji resmi, tentang kemungkinan terhambatnya langkah penyidikan tindak korupsi sangat wajar karena manuver-manuver politik kekuasaan yang sering tak terduga.

Modal Politik & Budaya
Secara de jure dan de facto, sebenarnya kita memiliki modal yang sangat kuat untuk memberantas tindak korupsi. Pertama, adanya komitmen dan political will yang ditunjukkan oleh SBY untuk memberantas korupsi menjadi modal optimisme kita bagi masa depan Indonesia yang bebas korupsi. Kedua, adanya kontrol masyarakat yang terus bergerak mempersempit ruang korupsi melalui lembaga-lembaga anti korupsi maupun media massa yang ikut mengawasi, mengungkap, dan menyebarkan berbagai kasus tindak korupsi merupakan modal yang sangat penting bagi kepentingan pemberantasan korupsi.
Kedua modal tersebut harus dibarengi oleh kesadaran yang bersinergi untuk tidak bersikap koruptif dalam segala bentuknya. Hal ini menjadi penting karena kesadaran merupakan kekuatan yang bisa tumbuh pada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Kesadaran merupakan energi yang bisa hadir pada setiap orang tanpa tersekat oleh perbedaan usia. Kalau sinergi kesadaran anti-korupsi ini tumbuh, maka negara ini akan terbebas dari beban sejarahnya sebagai negara terkorup. Dan inilah agenda sejarah yang harus dituntaskan oleh SBY. Semoga.*
Opini

SBY, TNI, dan Konsolidasi Demokrasi
Republika
, Sabtu, 7 Januari 2006

A. Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Belakangan ini masalah TNI kembali mencuat. Hal ini terkait dengan rencana pergantian Panglima TNI yang telah lama dinanti-nanti. Adanya pergulatan wacana menjelang pergantian Panglima TNI ini menunjukkan bahwa sampai saat ini TNI masih menjadi ikon yang strategis bagi ranah politik di negeri ini. Ada beberapa fenomena menarik terkait dengan pergantian Panglima TNI. Pertama, SBY merupakan sosok yang berlatar belakang militer. Ia sangat mengerti peta bumi TNI sehingga dalam penentuan Panglima TNI akan berdasarkan pertimbangan maksimal. Kedua, apresiasi positif yang diberikan oleh negara maju, seperti Amerika, terhadap reformasi TNI akan semakin menaikkan pamor TNI setelah sekian lama terpuruk karena dosa-dosa historisnya. Ketiga, agenda reformasi yang disuarakan oleh berbagai kalangan termasuk TNI akan menjadi pertaruhan bagi Panglima TNI untuk mereformasi diri.
Kalau dilihat secara de jure, disahkannya RUU TNI dan adanya komitmen yang kuat baik dari TNI maupun SBY, untuk bersungguh-sunguh menegakkan reformasi merupakan modal kuat bagi kepentingan konsolidasi demokrasi. Namun harus disadari bahwa UU dan komitmen tersebut tidaklah cukup, karena secara faktual dalam proses kehidupan bernegara, seringkali muncul anasir-anasir tak terduga yang mengubah arah reformasi menjadi realitas tanpa makna dan memaksa terjadinya deviasi dan distorsi terhadap upaya reformasi itu sendiri.
Anasir-anasir tersebut bisa diidentifikasi di antaranya adalah pertama, belum mapannya integritas politik sipil, sehingga peluang negosiasi dan kolusi antara sipil dan militer masih sangat terbuka. Paling tidak perebutan kekuasaan dengan segala cara yang diperlihatkan oleh politisi sipil saat ini memperlihatkan rapuhnya integritas politisi sipil. Kedua, adanya hak pilih bagi militer pada Pemilu 2009 dengan sendirinya akan membuka peluang terjadinya “kolusi” dengan sipil. Ketiga, dalam konstelasi global saat ini, militer menjadi kekuatan yang cukup signifikan di tengah ancaman dunia baik atas nama terorisme atau lainnya. Hal ini memberi peluang bagi militer untuk menyusun strategi secara lebih signifikan atas nama globalisasi. Potensi-potensi tersebut akan teraktualisasi apabila para politisi sipil menyediakan lahan subur yang memungkinkan TNI bermain kembali di ranah politik.

Dua Domain
Di tengah semakin tidak pedulinya masyarakat akan segmentasi sipil-militer, keberhasilan militer untuk mereformasi diri bisa semakin memperkuat eksistensinya dalam konstelasi politik nasional. Apalagi kalau SBY, sebagai ikon militer, berhasil meruntuhkan kekhawatiran-kekhawatiran terhadap latar belakang dirinya sebagai militer yang sering ditengarai akan mengarah pada sikap otoriter dan militeristik.
Bagi SBY, sipil dan militer merupakan dua domain yang berbeda. Pandangan ini membawa konsekuensi pada dua hal. Pertama, bahwa ada wilayah yang menjadi “kekuasaan” sipil dan ada wilayah yang menjadi garapan militer. Satu sama lain berbeda, sehingga tidak boleh saling mengintervensi. Kedua, bahwa ada kesejajaran peran dan posisi (partnership) antara sipil dan militer. Hal ini berbeda dengan pemahaman sebagian pengamat yang meletakkan militer sebagai subordinat sipil.
Dengan memposisikan sipil dan militer sebagai dua domain yang berbeda, maka diperlukan kekuatan yang netral dan mampu menempatkan keduanya secara profesional dalam koridor demokrasi dan reformasi. Di sinilah peran SBY sebagai sosok yang dipilih langsung oleh rakyat sangat menentukan. Sebagai ikon dari puncak kepercayaan masyarakat, SBY menjadi sentral yang akan banyak menentukan terhadap laju tidaknya agenda reformasi dan tegaknya civil society.

Civil Society
Hak pilih yang dimiliki militer pada pemilu 2009 satu sisi bisa memberi peluang bagi proses pembelajaran sekaligus pemerataan hak politik bagi warga negara. Tetapi di sisi lain, ia bisa membuka peluang terjadinya politisasi TNI. Di samping ia bisa menjadi komoditas politik, juga bisa dijadikan lumbung bagi kepentingan mobilisasi.
Namun demikian, kondisi tersebut bisa dieliminir apabila tercipta atmosfir yang mendorong tumbuhnya civil society, yaitu keberdayaan seluruh komponen masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya. Dengan penguatan civil society, maka partisipasi masyarakat dalam pemilu 2009, bukan lagi didorong oleh kepentingan kelompok, tetapi oleh keinginan untuk berkompetisi secara bebas dan berkualitas demi masa depan yang lebih baik.
Dalam konteks relasi sipil dan militer, maka penguatan civil society dan konsolidasi demokrasi bisa terjadi karena beberapa faktor. Pertama, pemantapan visi dan misi yang berpijak pada pluralisme. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri khususnya bagi TNI, karena TNI belum terbiasa dengan pluralisme. Sistem komando telah menyebabkan TNI lebih terinspirasi pada penyeragaman. Mereka lebih terbiasa dengan logika biner (dua pilihan), yaitu lawan atau kawan, hitam atau putih, membunuh atau dibunuh.
Kedua, kemampuan SBY untuk menempatkan dirinya sebagai milik semua anak bangsa, tanpa terjebak pada kelompok tertentu. Dan ini bisa muncul, apabila SBY berhasil mempertahankan konsistensinya untuk membangun relasi partnership antara sipil dan militer, sehingga tercipta ruang partisipasi dan kontribusi masyarakat secara luas dan merata yang bermuara pada terciptanya civil society.
Ketiga, adanya politisi sipil yang berjiwa negarawan yang betul-betul berorientasi pada nilai-nilai kerakyatan dan mengabdikan dirinya untuk rakyat. Bentuk paling sederhana dari pengabdian tersebut adalah dengan meminimalisir tindak penyimpangan dan penyelewengan terhadap amanah rakyat yang diembannya, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Apabila ketiga agenda di atas bisa diaktualisasikan, maka pergantian Panglima TNI akan menjadi reguler dan berkelanjutan tanpa harus memeras wacana yang tidak perlu. Lebih dari itu, proses pergantian Panglima TNI bisa menjadi cerminan dari proses konsolidasi demokrasi yang semakin matang.*
Opini

Pemerintah Tak Pernah Kalah
Catatan Pasca MoU RI-GAM
Republika, 1 Oktober 2005

A. Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ushuluddin & Filsafat, UIN Jakarta

Tulisan ini bukan hendak mengungkit luka yang mulai terobati oleh nota kesepahaman yang ditandatangani pemerintah RI dan GAM di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus lalu. Penulis terusik oleh komentar beberapa pakar dan tokoh yang melihat perjanjian Helsinki sebagai bentuk konkret kekalahan pemerintah dari GAM yang selama ini menjadi pemberontak. Soetardjo Soerjogoeritno, Wakil Ketua DPR RI, misalnya mengatakan bahwa kewenangan Aceh untuk menentukan tingkat suku bunga yang berbeda dengan BI berarti pemerintah mengakui adanya negara dalam negara. Begitu juga Agung Laksono, Ketua DPR RI, menilai adanya hak penggunaan simbol-simbol termasuk bendera bagi Aceh, sebagai sesuatu “di luar konteks NKRI.” Terakhir mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid menganggap perundingan RI-GAM sebagai suatu yang tidak terhormat yang berpotensi membahayakan keutuhan NKRI. Bahkan belakangan Forum Perjuangan Pelurusan UUD 1945 yang diusung oleh Ali Sadikin, Abdul Madjid, dkk, secara gigih, dengan mengirim surat kepada Presiden SBY yang ditembuskan ke lembaga tinggi negara lainnya, menyatakan menolak dan menganggap MoU RI-GAM batal demi hukum.
Banyak pula yang menilai hasil perundingan RI-GAM sebagai metamorfose sistem federalisme, sebuah konsep yang ditolak mentah-mentah karena dianggap bertentangan dengan NKRI. Atas nama NKRI, federalisme ditasbih sebagai anak haram yang harus dieliminasi dari ranah republik ini. Komentar-komentar terhadap nota kesepahaman RI-GAM di atas didasarkan pada klausul-klausul yang memberi wewenang sangat luas bagi rakyat Aceh yang tidak dimiliki oleh rakyat di wilayah lainnya.

State Vs Civil Society
MoU Helsinki memperlihatkan adanya dua kekuatan yang saling berseteru, yaitu antara pemerintah dengan GAM yang notabene berada dalam wilayah kedaulatan Indonesia. Dengan kata lain, pemerintah sedang berhadapan dengan rakyatnya sendiri bagi penyelesaian masalah yang tak kunjung usai. Oleh sebab itu, tuduhan bahwa kewenangan dan fasilitas yang diberikan pemerintah terhadap Aceh dan GAM sebagai bentuk kekalahan diplomasi pemerintah dengan sendirinya tidak beralasan dan terbantahkan.
Dalam konteks negara bangsa (nation state) sudah seharusnya pemerintah memperhatikan dan memberikan kewenangan terhadap setiap warganya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki demi kepentingan bersama. Pemerintah hanya fasilitator yang bertanggung jawab untuk memanage sirkulasi kehidupan masyarakat yang plural. Kedaulatan sepenuhnya tetap pada rakyat. Sistem pemilihan langsung baik pada pemilu maupun Pilkada sesungguhya merupakan pintu masuk bagi pemberdayaan civil society. Persoalannya kemudian sejauhmana kewenangan dan fasilitas yang harus diterima oleh warga negara?
Pertanyaan ini menjadi penting karena dalam realitasnya, kekayaan alam, pendapatan daerah, dan kualitas sumberdaya manusia di negeri ini sangatlah beragam dan berbeda-beda, sehingga kalau dibiarkan akan terjadi kesenjangan dan kecemburuan antar wilayah. Lebih dari itu, nota kesepahaman RI-GAM sedikit banyak akan menyadarkan daerah lain untuk mendapatkan hak yang sama sebagai bagian dari republik ini. Di sinilah peran negara menjadi signifikan dalam upaya penataan kehidupan yang harmonis dan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh warga negara tanpa membedakan wilayah.
Dalam klausul MoU Helsinki disebutkan beberapa point penting, khususnya menyangkut hak politik dan ekonomi Aceh. Secara politik keberadaan partai lokal sudah tidak dapat ditolak lagi dan merupakan kehendak demokrasi. Pelaksanaan Pilkada secara langsung yang tidak banyak menimbulkan masalah sesungguhnya dapat menjadi acuan bagi pembentukan partai lokal. Bahkan dalam konteks yang lebih kecil, sudah sejak lama pemilihan kepala desa memakai bendera sendiri-sendiri, tanpa terkait dengan partai-partai nasional. Oleh sebab itu, dengan MoU tersebut Aceh dapat menjadi monumen berdirinya partai-partai lokal setelah terpendam sejak diberlakukannya demokrasi terpimpin pada masa Orde Lama sampai saat ini.
Secara ekonomi, Aceh berhak menguasai 70 persen dari hasil semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan yang akan datang. Konsesi-konsesi politik dan ekonomi tersebut sebetulnya tidak terlalu krusial apabila diletakkan dalam konteks pemberdayaan potensi-potensi daerah yang selama ini tersedot ke pusat.
Langkah yang tergolong istimewa dibandingkan dengan daerah lainnya ini, kiranya dapat menjadi renungan bagi pemerintah dan elit politik, bahwa sesungguhnya pemberdayaan lokal jauh lebih penting dan lebih realistis bagi kepentingan tegaknya negara kesatuan daripada doktrinasi tentang nasionalisme apalagi melalui pendekatan senjata.
Penghargaan terhadap potensi-potensi lokal sudah waktunya dimulai tidak hanya dalam konteks politik seperti melalui Pilkada langsung, atau ekonomi melalui pembagian keuangan pusat dan daerah, maupun hukum melalui pelimpahan kewenangan terhadap lembaga hukum daerah. Tetapi lebih dari itu, penghargaan terhadap realitas lokal lainnya yang selama ini terabaikan, termasuk khazanah sosial budaya yang sungguh sangat beragam dan cenderung mati di tengah nafsu homogenisasi politik yang terbangun di antara elit politik.
Namun yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa kesediaan pemerintah untuk memberdayakan potensi-potensi lokal tersebut tidak harus menunggu hadirnya para pemberontak atau separatis seperti yang ditunjukkan oleh GAM dengan korban darah dan nyawa. Hal ini menjadi penting karena masih terdapat beberapa daerah seperti Papua dan Maluku yang mulai bergolak menuntut perhatian lebih dari pemerintah. Pemerintah sudah waktunya mengedepankan kearifan lokal daripada kehendak untuk menunjukkan hegemoni seperti yang dipertontonkan oleh elit politik demi kekuasaannya di tingkat daerah.
Kearifan tidak memerlukan darah dan air mata seperti yang terjadi di Aceh, Papua, Maluku, maupun daerah lainnya untuk menuntun warga negara ke dalam pangkuan NKRI. Justru kearifan menawarkan kesadaran baru tentang pentingnya hidup bersama dalam kedamaian. Dan ini bisa tumbuh ketika negara “membiarkan” warganya untuk berkreasi dan mengembangkan potensi daerahnya serta dapat menikmati hak-haknya. Tinggal bagaimana negara mengelola dan memfasilitasinya demi kepentingan bersama. Sekali lagi pemerintah tidak pernah kalah dalam rangka memberikan kedaulatan dan kewenangan pada rakyatnya untuk mengelola wilayahnya. Justru martabat kebangsaan tercabik ketika pemerintah memaksakan kehendaknya untuk kepentingan kekuasaannya.*
Opini

Praktik Percaloan di DPR
Republika, 14 September 2005

A. Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta

DPR kembali disorot. Setelah mendapat banyak kritik terkait usulan kenaikan gaji, kini mereka tersangkut dunia percaloan. Kedua kasus ini sebenarnya sama saja; DPR sangat bersyahwat dengan uang. Mengapa demikian?
Kawan saya sebagai newcomer di DPR pernah mengeluh gajinya tidak cukup. Padahal sebelum menjadi anggota legislatif, ia tidak pernah mendapatkan gaji sebesar itu. Selidik punya selidik, ternyata pengeluarannya semakin banyak. Selain harus ganti mobil yang lebih prestise, ia kini harus “lebih dermawan” daripada sebelumnya. Menjelang lebaran yang lalu, misalnya, ia membagi-bagikan 6000 sarung untuk konstituennya. Di kantornya hampir setiap hari tetamu tak diundang berkunjung sekadar berbasa-basi dan kawan ini tak enak kalau tidak ngasih uang saku ala kadarnya. Sebagai ketua organisasi kepemudaan, kawan ini juga harus menyisihkan uangnya untuk proposal-proposal yang minta sumbangan, baik untuk seminar maupun kegiatan sosial. Di akhir bulan, kawan ini hanya menyisakan sekian persen dari gaji yang diterimanya setelah dipotong untuk partainya.
Ini hanya satu potret dari sekian potret anggota DPR RI lainnya dalam memperlakukan uang. Saya tidak ingin mengeneralisir prilaku semua anggota dewan sama dengan prilaku kawan saya itu. Tapi melihat gelagat nafsu anggota DPR terhadap urusan uang, mulai kasus permintaan kenaikan gaji sampai kasus percaloan, memperlihatkan bahwa uang telah menjadi candu yang membuat mereka tidak sensitif terhadap problem sosial yang berkubang dalam krisis tanpa akhir.

Tiga Basis Finansial
Realitas tersebut sebenarnya bukan fenomena baru. Bahkan dalam beberapa kasus anggota dewan baik di pusat maupun di daerah memiliki kecenderungan yang sama. Urusan uang, DPR tak terbendung, karena posisi mereka menentukan. Mereka tidak sekadar mengantongi legitimasi atas nama rakyat, tapi juga secara kuantitas mereka cukup banyak, sehingga memiliki daya tawar (pressure) yang kuat. Namun yang lebih menentukan atas “perselingkuhan” DPR dengan urusan uang adalah karena uang telah menjadi basis eksistensi, kinerja, dan citra diri anggota DPR yang sejatinya sebagai pengemban amanat rakyat, bukan pembeban uang rakyat.
Pertama, uang sebagai basis eksistensi. Keberadaan anggota DPR merupakan bukti keberhasilan mereka meraih simpati masyarakat. Namun simpati tersebut tidak sepenuhnya, bahkan sebagian mungkin tidak sama sekali, berdasarkan pada integritas dan komitmen yang dimiliki oleh anggota dewan tersebut. Simpati muncul karena pendekatan yang bersifat semu. Masyarakat dipaksa atau terpaksa bersimpati karena pendekatan uang yang terlanjur dijadikan ikon kedekatan dan kepedulian untuk meraih simpati tersebut. Dalam Pemilu yang lalu misalnya, kawan saya menghabiskan 140 juta untuk kampanye. Sebuah nilai yang mungkin tidak besar bagi mereka karena berharap dapat ditutup dengan gaji atau pemasukan lainnya. Pada titik ini, mereka bukan wakil yang berbasis sosial, tetapi finansial.
Kedua, uang sebagai barometer kinerja. Tinggi rendahnya kinerja mereka tergantung pada jumlah uang yang diterimanya. Secara nalar bisnis, logika tersebut sangat logis, walaupun DPR sendiri bukan lembaga bisnis. Namun sayangnya, secara fakta logika tersebut tidak berbanding lurus dengan kinerja mereka. Selama ini seluruh aktivitas anggota DPR tidak pernah lepas dari uang, mulai dari kunjungan kerja sampai rapat-rapat komisi, namun tetap saja kinerja mereka tidak maksimal. Mereka yang bolos atau yang hanya datang dan tidur dalam sidang tetap terima gaji yang sama.
Ketiga, uang sebagai basis citra diri. Pada titik tertentu uang bagi anggota DPR bukan lagi kebutuhan, tapi menjadi media pembentukan citra diri dan keluarganya. Mereka harus ganti mobil atau membeli mobil bagus untuk sebuah prestise. Belum lagi para istri-istri anggota dewan yang harus menampilkan diri sesuai dengan identitas dan status suaminya. Sehingga tidak heran apabila pada awal tahun ini kita dikejutkan oleh ulah Persatuan Istri Anggota (PIA) DPR yang sibuk membicarakan pembelian apartemen mewah di saat suami-suami mereka membahas kenaikan BBM yang sungguh menyengsarakan rakyat. Mereka tidak memposisikan dirinya sebagai wakil atau representasi dari, oleh, dan untuk rakyat, tetapi menjadi elit-elit baru baik secara politik maupun finansial yang tercerabut dari akarnya yang sejati.
Ketiga realitas tersebut merupakan implikasi lebih jauh dari kondisi parpol yang belum meletakkan dirinya sebagai medium agregasi dan artikulasi aspirasi masyarakat. Parpol masih bertingkah sentralistik sehingga melahirkan politisi-politisi elitis yang tidak berbasis sosial. Pendekatan uang terhadap konstituen membuktikan bahwa eksistensi mereka tidak berakar secara sosial, tapi finansial. Konsekuensinya partisipasi masyarakat dalam pesta demokrasi, baik dalam pemilu maupun pilkada, tak lebih sekadar hiburan dan pesta uang. Masyarakat “dibutakan” akan implikasi-implikasi yang bisa mendera dirinya akibat salah pilih.
Karena eksistensi anggota dewan identik dengan uang, maka masyarakat menganggap mereka sebagai sumber uang yang selau siap untuk berbagi. Image demikian dengan sendirinya telah “memaksa” anggota dewan untuk memeras sumber-sumber dana yang ada dengan berbagai cara, baik melalui kenaikan gaji, manipulasi masa kunjungan kerja (kunker), maupun praktik percaloan untuk kepentingan eksistensi dan citra diri.

Nalar dan Moral Politik
Realitas money oriented yang menyeruak dari Senayan tersebut tidak bisa dibiarkan, karena akan merusak tatanan politik yang hendak dibangun di alam reformasi ini. Dalam kondisi demikian, peran partai politik sangat menentukan, karena dari situlah politisi-politisi dengan segala prilaku politiknya dilahirkan. Oleh sebab itu, diperlukan rekonstruksi sekaligus revitalisasi parpol sebagai medium pemberdayaan politik masyarakat. Parpol harus menjadi garda terdepan untuk membongkar paternalisme politik yang membungkam partisipasi rakyat. Di sinilah kecerdasan nalar politik dan kekuatan moral politik dipertaruhkan, yaitu sebuah prilaku politik yang dibangun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional, kritis, dan bermartabat. Seluruh proses politik, termasuk di dalamnya usulan kenaikan gaji, harus bisa dilogikakan dan dikalkulasi secara akal sehat serta dikritisi berdasarkan nalar dan realitas sosial.
Kecerdasan nalar politik tidak identik dengan gelar kesarjanaan para politisi, tetapi lebih pada kecerdasan dalam mencerna, mengapresiasi, dan mengagregasi aspirasi masyarakat serta mengkritisi langkah pemerintah. Begitu juga moral politik tidak diukur oleh identitas sosial para politisi, apakah ia seorang ustad atau tokoh masyarakat, tetapi pada kepedulian, komitmen, dan sensitivitas terhadap problem yang dihadapi masyarakat.
Kemampuan mensintesakan antara kecerdasan nalar dan kekuatan moral akan membentuk sebuah integritas politik yang menempatkan rakyat sebagai akar pengabdiannya dengan karya nyata bukan harta. Kondisi ini pada akhirnya akan mempercepat pemberdayaan politik masyarakat yang selama ini terbengkalai oleh elitisme para politisi dan orientasi finansial yang belakangan lebih sering “dipertontonkan” oleh anggota dewan terhormat.*
Opini

Skandal Gelar tanpa Nalar
Republika, 25 Agustus 2005

Oleh A. Bakir Ihsan
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dunia pendidikan kembali dikejutkan oleh keberadaan lembaga-lembaga pendidikan illegal. Gelar diobral berdasarkan modal yang disetor. Kasus Institut Manajemen Global Indonesia (IMGI) hanyalah puncak gunung es dari jual beli gelar yang mewabah di Republik ini. Siapakah di antara para penyandang gelar palsu tersebut?
Sebelum kasus IMGI ini mencuat, Wapres, Jusuf Kalla menyampaikan keraguannya terhadap gelar sarjana, S2 dan S3 yang disandang para calon kepala daerah (Kompas, 01/7/2005). Seperti jamur yang tumbuh di musim hujan, tiba-tiba banyak kepala daerah bergelar ria, mulai dari SE, SH, MM, MBA, bahkan doktor. Keluhan serupa disampaikan oleh anggota DPR RI, Mahfud MD yang meminta tindakan tegas dari pihak kepolisian atas kemungkinan pemalsuan atau pemberian gelar yang lebih mementingkan uang daripada kualitas. Padahal menurut Mahfud, untuk mendapatkan gelar doktor apalagi guru besar sungguh sangat sulit persyaratannya terutama secara akademik. Keraguan Wapres dan anggota DPR RI tersebut patut muncul di tengah merebaknya ijazah palsu dan potret kelam dunia pendidikan kita setelah kegagalan para siswa dalam menempuh ujian nasional.
Kerisauan tentang dunia pendidikan seakan menjadi pelengkap atas carut marut dunia pendidikan kita yang menawarkan banyak cara tapi tanpa makna. Seorang kolega saya yang cukup punya nama, hampir setiap tahun ditawari gelar kehormatan, mulai sebagai man of the year, tokoh berprestasi, top excutive, sampai gelar doktor honoris causa dengan hanya bermodal jutaan rupiah. Bagi orang berduit dan haus penghargaan atau gelar, tentu tidak sulit mengambil jalan pintas untuk mendapatkan gelar tersebut. Namun efek lebih jauh dari formalisasi tersebut adalah hancurnya korelasi antara gelar dengan kualitas yang dimilikinya, sehingga muncul inflasi gelar.

Potret Ketakberdayaan
Dunia pendidikan saat ini memperlihatkan dua potret paradoksal. Di satu sisi, banyak orang yang dengan mudah mendapatkan gelar pendidikan melalui uang yang dimilikinya, sementara di sisi lain, banyak masyarakat yang tak mampu melanjutkan sekolah karena kekurangan uang. Kedua-duanya menunjukkan kelemahan atau ketakberdayaan. Mereka yang berduit tidak berdaya secara kualitas sehingga harus membeli atau mengambil jalan pintas, sementara mereka yang tak berdaya secara ekonomi harus memupus masa depannya.
Kenyataan paradoks ini patut diprihatinkan karena kualitas manusia merupakan penggerak utama keberlangsungan eksistensi sebuah negara. Negara hanya bisa digerakkan oleh mereka yang berpendidikan, punya pengetahuan, dan kemampuan untuk menjalankan negara ini. Sehingga tidak berlebihan apabila Plato menganggap seorang cerdik cendekia (philosopher king) sebagai sosok yang paling berhak untuk memimpin sebuah negara. Pernyataan Plato tersebut bukan mengacu pada formalitas pendidikan melalui gelar atau simbol-simbol akademik lainnya, tetapi lebih pada kualitas dan integritas intelektualnya. Pembelian gelar atau pemberian gelar tanpa seleksi yang ketat secara kualitas dengan sendirinya semakin memperparah nasib dunia pendidikan kita.
Belum lagi carut marut standar KBK yang sering diplesetkan menjadi Kurikulum Bagaimana Kita. Sebuah arah pendidikan yang idealnya menjadi landasan bagi pembentukan kualitas generasi bangsa seakan terpendam di antara narasi besar para elit untuk kepentingan citra diri, bukan citra generasi mandiri.
Problem dana, yang menyebabkan lembaga pendidikan seperti dihadapkan pada buah simalakama, merupakan problem lain dari dunia pendidikan kita. Lembaga-lembaga pendidikan harus berebut siswa atau mahasiswa agar bisa tetap eksis dan mendapat aliran dana dari peserta didiknya. Kondisi demikian, satu sisi bisa memacu lembaga pendidikan untuk meningkatkan kualitasnya, tetapi di sisi lain, bisa menyebabkan lembaga pendidikan melacurkan diri dengan menerima peserta didik tanpa penyaringan yang berarti. Proses ini pada akhirnya akan bermuara pada menumpuknya lulusan yang secara kualitas tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Kalau kita runut berbagai problem tersebut bisa dipilah dalam dua kerangka besar, yaitu problem kultural (cultural issues) dan problem struktural (structural issues). Secara kultur, masyarakat kita masih berkutat pada formalitas pendidikan. Pendidikan dilihat sebagai tujuan (final) dari proses pengembangan kualitas warga bangsa. Paradigma ini pada akhirnya mendorong munculnya kebijakan (structural issues) yang menekankan citra daripada fakta, merayakan simbol daripada substansi. Para peserta didik dipacu untuk mendapatkan citra dan simbol tersebut dengan menghalalkan segala cara, termasuk dengan cara membeli gelar atau mendapatkan kelulusan secara tidak wajar.
Kedua problem tersebut menuntut adanya rekonstruksi terhadap dunia pendidikan secara komprehensif dan berkesinambungan. Dunia pendidikan harus memiliki standar baku yang dapat diterapkan tanpa terjebak oleh pergantian menteri atau rezim. Standar tersebut bisa tercapai apabila didasarkan pada wacana-wacana yang berkembang dari para praktisi dan pengamat pendidikan yang ada di berbagai pelosok negeri ini. Sehingga pendidikan betul-betul berpijak pada kebutuhan masyarakat dan melahirkan manusia-manusia berkualitas, bukan kuantitas gelar yang hadir tanpa nalar.*
Opini

TNI, Demokrasi, dan Involusi Budaya
(Catatan Tambahan untuk Abdurrahman Wahid)
Kompas, Rabu, 24 September 2003

A Bakir Ihsan

BEBERAPA hari yang lalu Kompas (Jumat, 29 Agustus 2003) menurunkan tulisan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengulas eksistensi TNI bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Dalam tulisan yang berjudul "TNI dan Demokratisasi" tersebut, terkandung optimisme bagi keberlanjutan demokrasi dengan catatan TNI dan sipil tetap berada dalam mainstream demokrasi itu sendiri.
Secara apik Gus Dur memaparkan tentang realitas historis militer yang menunjukkan bahwa penyimpangan yang terjadi di tubuh militer lebih disebabkan oleh adanya kepentingan pribadi (vested interest). Intrik-intrik politik militer itu dilakukan oleh pribadi-pribadi, bukan oleh institusi TNI itu sendiri.
Optimisme Gus Dur terutama didasarkan pada realitas konstitusional di mana Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai institusi telah menerima dihapusnya Fraksi TNI-Polri dari DPR pada 2004 dan dari MPR tahun 2009. Di samping itu, TNI harus tunduk pada UUD 1945 yang berarti pula tunduk pada proses demokratisasi.
Namun, ada satu hal yang tidak dieksplorasi lebih jauh oleh Gus Dur ketika ia secara eksplisit menyatakan bahwa secara struktural, TNI sulit dilibatkan secara langsung sebagai pemain utama bagi tegaknya demokrasi karena memiliki struktur dan hierarki yang bertopang atas ketundukan mutlak kepada atasan, sementara demokrasi sebaliknya. Ini menunjukkan bahwa ada realitas struktural di dalam tubuh TNI yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam ketundukan yang penuh pada atasan tersebut, dengan sendirinya akan memudahkan terjadinya transformasi kehendak-kehendak pribadi (elite militer) menjadi kehendak lembaga. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kasus, termasuk kasus ketika TNI secara kasat mata "berhadapan" dengan Gus Dur. Bagaimana para elite TNI yang kecewa atas langkah-langkah "destruktif" Gus Dur terhadap lembaga TNI, mendukung secara malu-malu terhadap langkah-langkah "penyingkiran" Gus Dur. Apakah dalam konteks ini Gus Dur akan tetap menyatakan bahwa itu merupakan kepentingan pribadi-pribadi dalam tubuh militer? Dalam fakta sosial, kepentingan-kepentingan pribadi bisa mengkristal menjadi kepentingan kolektif.

Rekonstruksi struktural: "distortion of meaning"
Selama ini kerja-kerja reformasi, baik di lingkungan sipil maupun militer, lebih banyak diarahkan pada rekonstruksi struktur atau sistem. Berbagai undang-undang diciptakan dan beberapa lembaga direstrukturisasi atas nama reformasi. Sementara pada tataran budaya tidak banyak mendapat perhatian bahkan cenderung dibiarkan mengalir begitu saja.
Konsekuensinya, sistem atau struktur yang telah direkonstruksi tidak bisa bergerak dalam frame reformasi karena tidak didukung oleh pijakan nilai yang jelas dan kuat di dalam masyarakat. Tak heran bila terjadi involusi struktural di dalam proses reformasi yang sedang dirayakan oleh bangsa Indonesia. Bahkan, tidak jarang pula memunculkan gejolak-gejolak baru di beberapa wilayah baik yang bersifat horizontal (antara masyarakat) maupun vertikal (antara pusat dan daerah atau antara elite dan rakyat).
Begitu pun yang terjadi di dalam tubuh TNI. Upaya reformasi di dalam tubuh TNI sampai saat ini lebih banyak berkutat pada dua tataran, yaitu pertama, perubahan pada tataran struktural dengan cara merombak atau sekadar "merenovasi" bangunan dari tubuh TNI. Sejak reformasi beberapa langkah struktural sudah dilakukan seperti kebijakan penghapusan lembaga Bakortanas, penghilangan lembaga litsus, atau penghapusan jabatan Kassospol. Langkah perubahan struktural ini dilakukan karena dilandasi oleh suatu keyakinan bahwa perubahan akan banyak ditentukan oleh struktur atau sistem.
Kedua, maksimalisasi ruang gerak politik sipil dengan harapan bisa mempersempit secara rasional dan profesional terhadap ruang gerak politik (will to power) militer. Salah satunya adalah dengan cara mengurangi aktivitas TNI di lembaga-lembaga politik, misalnya di lembaga legislatif. Upaya minimalisasi peran militer ini juga terlihat dari adanya desakan sebagian kalangan agar sipil tidak terlibat dalam konflik yang bisa membuka peluang bagi intervensi militer atau paling tidak memberi kesempatan bagi political bargaining dan repositioning militer vis a vis sipil. Terakhir adalah perdebatan tentang hak memilih dan dipilih bagi anggota TNI/ Polri merupakan rangkaian dari upaya depolitisasi TNI secara struktural.
Rekonstruksi struktural yang berlangsung di tubuh militer-begitu juga di kalangan sipil-selama ini hanya melahirkan kesadaran semu (false consciousness). Ia hanya berhasil mengurangi represifitas penguasa atas rakyat secara kuantitatif, tetapi secara kualitatif mereka masih belum beranjak jauh dari mainstream masa lalunya. Dengan kata lain proses reformasi telah melahirkan kesenjangan antara realitas struktural sebagai true signified dengan makna (kultural) yang terkandung di dalam kesadaran masyarakat. Inilah yang dalam khazanah budaya kontemporer disebut sebagai distortion of meaning.
Perubahan struktural sebagai upaya perwujudan dari cita-cita reformasi tidak berjalin-kelindan dengan nilai-nilai budaya (mental attitude) yang dipijaknya. Perubahan yang berlangsung secara legal-formal tidak mampu menggerakkan perilaku reformis. Mereka hanya bernafsu untuk membangun landasan (konstitusi) reformasi, tetapi tidak pernah terangsang untuk mewujudkannya.
Reformasi hanya berhenti pada kuantitas produk, bukan pada kualitas. Bahkan sebagian orang mencari celah di antara lemahnya penegakan konstitusi itu sendiri. Premanisme politik, money politics, korupsi yang semakin "merakyat" dan pemaksaan kehendak menjadi warna yang mengiringi gerak kehidupan masyarakat sampai saat ini.
Di sinilah involusi budaya berlangsung. Demokrasi yang mengedepankan hak-hak sipil berhasil diwujudkan, tetapi tidak dibarengi oleh kualitas perilaku yang memadai sehingga yang muncul hanyalah sebuah eforia tanpa makna.

Kepeloporan budaya
Realitas di atas semakin memperkuat tesis bahwa persoalan yang mendesak untuk segera diselesaikan adalah rekonstruksi kultural. Salah satu problem kultur dalam tubuh militer adalah pola pandang yang menitikberatkan pada oposisi biner (binary opposition), yaitu pola pandang yang melihat persoalan secara hitam-putih; mengalahkan atau dikalahkan. Pola pandang seperti ini dengan sendirinya menafikan adanya kemungkinan sintesa atau pilihan-pilihan alternatif bagi penyelesaian persoalan yang sangat kompleks. Militer lebih terbiasa menawarkan dua pilihan tertutup yang harus dipilih salah satunya. Ini menjadi fatal karena hadir di tengah keragaman persoalan dan hibrida budaya bangsa. Padahal, militer sendiri merupakan bagian dari a dialectic of power and structure, as a web of possibilities for agents (Steven Lukes, 1977). Ia tidak bisa dipisahkan dari kenyataan politik (struktur) yang saat ini dikendalikan oleh sipil serta rangkaian tata sosial yang tercipta baik saat ini maupun masa lalu (historis), lokal maupun global.
Persoalan budaya dalam tubuh TNI ini tidak bisa diselesaikan secara struktural semata. Ia harus dibarengi oleh transformasi kultural secara holistik dalam seluruh relung kesadaran anak bangsa untuk menempatkan TNI sebagai komponen sosial yang sama. Rekonstruksi budaya menuntut adanya cerminan perilaku dan komitmen TNI sendiri untuk beranjak dari superioritas diri.
Dengan rekonstruksi budaya, diharapkan terjadi perubahan paradigma serta kesadaran di kalangan militer, dan kemudian mengedepankan dialog daripada pendekatan senjata, serta membiasakan diri membongkar akar persoalan daripada menebang pohonnya.
Memang sulit dimungkiri bahwa perubahan pada tataran kultural TNI menuntut tersedianya suprastruktur politik yang mapan. Ia menuntut terciptanya suasana kondusif bagi internalisasi nilai-nilai yang mengacu pada agenda reformasi. Syarat ini tidak hanya menjadi kewajiban TNI semata, tetapi juga pihak sipil. Tetapi sayangnya proses ini sering kali dijadikan titik awal bagi political bargaining antara militer dengan sipil. Kita bisa melihat dengan kasat mata, bagaimana kepentingan-kepentingan politik telah menciptakan sebuah gelanggang bagi ajang pelacuran di antara elite sipil dengan militer untuk kepentingan status quo.
Dalam rekonstruksi budaya juga diperlukan reorientasi di dalam diri militer untuk meletakkan dirinya tidak sekadar sebagai sebuah kekuatan yang establish secara struktural (institusional), tetapi juga sebagai kekuatan yang mampu menyerap dan mengejawantahkan nilai-nilai profesional (occupational military). Nilai minimal dari occupational military ini adalah kesadaran untuk memosisikan dirinya sejajar dengan kekuatan sosial lainnya di dalam sebuah negara bangsa yang memiliki peran secara fungsional.
Pada akhirnya, kesadaran (budaya) politik TNI akan terlihat dari kemampuan reflektif dan responsif TNI dalam menghadapi persoalan kenegaraan. Karena dalam refleksi dan responsi itulah orientasi budaya akan terbaca.
Bagaimana TNI menafsirkan negara dalam keadaan bahaya, bagaimana TNI menawarkan conflict resolution, dan bagaimana TNI menempatkan diri di antara kepentingan kekuasaan dan negara. Jawaban atas pertanyaan ini akan jadi barometer sejauh mana reformasi budaya berlangsung di dalam tubuh TNI.
Hal ini juga terkait dengan kesiapan masyarakat sipil untuk menempatkan dirinya sebagai pelopor demokrasi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Kepeloporan yang dibutuhkan adalah kepeloporan budaya. Karena dalam konteks konstitusi, demokrasi sudah menjadi rohnya.
Roh demokrasi yang terkandung dalam konstitusi tersebut harus dipijakkan di atas ranah kehidupan sehari-hari melalui tubuh budaya. Dengan demikian akan lahir sebuah interaksi politik yang sehat, baik di lingkungan sipil maupun militer. Pembusukan politik (political decay) akan terjadi ketika kehendak-kehendak demokratis tidak lagi mendapatkan tempat yang wajar dalam budaya.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/23/opini/563605.htm
Opini

Puasa dan Agama Ramah Budaya
Kompas, Jumát, 29 Oktober 2004

A. Bakir Ihsan

Selama ini penyelenggaraan ritual keagamaan, seperti puasa dan hari raya Idul Fitri dan Natal hanya menghadirkan kegembiraan subyektif atau sektoral. Puasa dan Idul Fitri hanya menjadi kebanggaan umat Islam, Natal menjadi milik umat Nasrani, dan begitu seterusnya. Kenyataan ini merupakan akibat dari pemahaman keagamaan yang teosentris. Agama hanya dipahami sebagai persembahan untuk Tuhan yang diyakini memiliki wilayah dan personifikasi berbeda antar agama. Pada titik ini Tuhan dibingkai sesuai dengan keyakinan masing-masing. Padahal Tuhan “memproklamirkan” dirinya sebagai penebar cinta kasih untuk semua umat manusia dalam keragaman budaya tanpa merendahkan satu budaya dan mengagungkan budaya lainnya. Tulisan ini berusaha menawarkan wacana untuk mengembalikan agama pada misi awalnya yang universal (spiritual) sekaligus segmental (multikultural). Yaitu agama yang lintas budaya tanpa membedakan ragam budaya, lintas etnik tanpa mengagungkan etnik tertentu, dan lintas gender tanpa memuliakan jenis kelamin tertentu. Semua agama harus menjadi kebanggaan bersama umat manusia. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu nilai yang perlu dikembangkan adalah sikap inklusif untuk menghargai secara sejajar terhadap semua corak budaya. Di sinilah perlunya ditumbuhkan multikulturalisme keagamaan atau agama yang ramah budaya.
Dalam multikulturalisme tidak ada dominasi budaya mayoritas dan tirani budaya minoritas. Semuanya tumbuh bersama dan memiliki peluang yang sama untuk menggapai kesejahteraan bersama. Masing-masing budaya memiliki kesempatan yang sama untuk menampakkan eksistensinya tanpa diskriminasi. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya pemberdayaan terhadap seluruh potensi yang ada dalam masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama maupun sosial-budaya.
Dimensi multikulturalisme ini sebenarnya tersirat kuat dalam Islam dengan pernyataan bahwa Islam adalah penebar kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Pengejawantahan dari pernyataan tersebut tidak hanya dalam konteks teologis, tetapi sosial budaya. Islam, seperti yang tercermin dalam sikap Rasulullah, sangat menghargai terhadap eksistensi pluralitas budaya dan agama. Salah satu ajaran yang memperlihatkan adanya kesamaan nilai dalam keragaman budaya adalah puasa. Ia merupakan ajaran agama yang diwariskan dari agama-agama sebelumnya.

Tafsir Multikultural
Agama merupakan formulasi dari idealisasi-idealisasi (firman) Tuhan tentang kehidupan. Deskripsi-deskripsi (tafsir) budaya terhadap firman Tuhan tersebut telah melahirkan warna-warni agama sesuai dengan keragaman budaya. Inilah tafsir multikultural agama yang lahir dari perbedaan sudut pandang budaya. Oleh sebab itu, tidak ada alasan sedikit pun untuk menegasikan satu bentuk agama karena dianggap minoritas atau mengagungkan agama lain karena dianut oleh mayoritas, karena masing-masing berangkat dari satu nilai yang sama, yaitu firman Tuhan. Dalam konteks budaya, maka tidak ada satu pun budaya yang berhak mengeliminer budaya lain, karena di dalamnya terkandung satu nilai yang sama, yaitu nilai kemanusiaan.
Problem multikulturalisme dalam konteks agama terkendala tidak saja oleh keberadaan agama lain, tetapi juga di dalam agama itu sendiri. Hal ini biasanya bermula dari model penafsiran terhadap firman Tuhan secara ekstrem. Secara umum pola tafsir atas firman Tuhan cenderung “terjebak” pada dua model yang diametral, yaitu antara tafsir tekstual dengan tafsir kontekstual atau antara tafsir formal dengan tafsir substansial. Antara wahyu sebagai realitas yang statis dan wahyu sebagai realitas progresif.
Penafsiran pertama lebih mengedepankan faktor personal-emosional, yaitu agama sebagai milik kelompoknya saja, sementara penafsiran kedua (kontekstual dan substansial) mengedepankan faktor sosial-rasional. Dua sisi ini sebenarnya bukan hal yang terpisah. Dalam kacamata multikulturalisme, kedua model penafsiran tersebut mendapat jawaban sintesis dalam konteks pengamalan puasa yang tidak hanya menjadi tradisi agama tertentu, tetapi menjadi ruh yang berlaku bagi seluruh agama dengan ajaran yang berbeda. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran (QS 2:183) bahwa puasa merupakan ajaran yang sudah diperintahkan pada kaum sebelum Islam. Puasa telah menjadi bagian dari budaya masyarakat sebelum Tuhan menurunkan wahyu kepada Muhammad. Pengakuan ini paling tidak menunjukkan dua hal. Pertama, legitimasi teologis (tekstual). Yaitu bahwa puasa merupakan ajaran Tuhan yang diturunkan untuk peningkatan kualitas diri. Kedua, legitimasi budaya (kontekstual). Yaitu bahwa puasa merupakan nilai luhur yang sudah membudaya dalam masyarakat sebelum Islam yang perlu terus dilestarikan.
Adanya legitimasi teologis dan budaya ini akan menyebabkan puasa berdampak pada wilayah sosial sekaligus spiritual. Dua sisi yang sering dipahami secara dikotomis dan segmented oleh sebagian umat Islam. Sebagian orang lebih mementingkan sisi sosial dan mengambangkan sisi spiritual. Sebagian orang bangga dengan beramal sosial sebanyak-banyaknya pada bulan Ramadhan, sebagian lagi merasa puas karena berhasil melaksanakan puasa sebulan penuh. Konsekuensinya semua amal baik dan cinta kasih hanya tertumpah ruah di kala Ramadhan, setelah itu selesai.

Langkah Reflektif
Multikulturalisme mengandaikan adanya kesadaran internal yang inklusif dan mengejawantah dalam prilaku sosial. Ritual puasa, idealnya mengantarkan para pelakunya menemukan kesadaran hati nurani (soulconsciousness) yang bersifat universal sehingga memiliki daya pandang egaliter terhadap sesama. Sebuah kesadaran yang mengikat kecerdasan emosi seorang hamba dengan Tuhannya dan menjadi landasan bagi terbangunnya kecerdasan relasi-rasional antar sesama.
Dalam konteks pelaksanaan ibadah puasa ini, maka refleksi-esoteris dan kesadaran-eksoteris harus tumbuh sebagai manifestasi dari proses internalisasi nilai-nilai ketuhanan (God consciousness atau rabbaniyah) yang berlangsung selama Ramadhan. Inilah sebuah proses yang oleh filosof Denmark Soren Kierkegaard (1813-1855) disebut sebagai proses dari aesthetic stage menuju religious stage. Puasa bukan sekadar firman (perintah) yang bersifat personal, tetapi juga amal (aktualisasi) yang bersifat sosial.
Puasa sebagai tradisi agama-agama yang memiliki makna universal harus dijadikan energi positif bagi menguatnya pemahaman multikultural yang disemangati oleh nilai-nilai ketuhanan (rabbaniyah) dan kemanusiaan (insaniyah). Transformasi spiritual dan semangat multikultural yang dicapai lewat puasa idealnya bisa dinikmati dan dirasakan oleh seluruh umat manusia tanpa terjebak oleh sekat-sekat budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun teologis, apalagi politis.
Dalam rangka itu, maka pemahaman terhadap agama-agama harus dilakukan dalam konteks kesamaan misi universal kemanusiaan. Universalitas ini tidak akan mematikan potensi-potensi khas yang ada dalam agama maupun budaya yang beragam. Justru potensi-potensi tersebut bisa tumbuh bersama dalam keragaman (multikultural). Dan ini hanya akan terselenggara apabila ada komitmen dan kesungguhan semua komunitas atau jamaah budaya dan agama baik sebagai mayoritas maupun minoritas untuk bersikap inklusif dan toleran secara setara untuk kepentingan bersama. Inilah semangat yang terkandung dalam pelaksanaan puasa, yaitu sebuah semangat keagamaan yang ramah terhadap ragam budaya. Dengan demikian, agama bisa tampil sebagai milik semua untuk bersama.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/29/opini/1352956.htm
Opini

Militer Disayang, RUU TNI Digoyang
Kompas, Jumat, 03 September 2004

A Bakir Ihsan

RUU TNI seperti petir di siang bolong yang mengagetkan para pengamat dunia militer. Berturut-turut harian ini mengupas secara panjang lebar dari berbagai narasumber untuk merespons RUU TNI tersebut. Konklusi dari sajian tersebut menganggap bahwa RUU TNI sangat memberi peluang bagi langkah politik praktis TNI. Bahkan sebagian pengamat melihat RUU TNI bisa mengancam proses demokrasi dan upaya penegakan supremasi sipil yang sedang dibangun oleh bangsa Indonesia.
Paling tidak ada dua tulisan menarik di harian ini yang mengupas tentang TNI. Pertama, tulisan Juwono Sudarsono, "Supremasi Sipil dan Peran Politik Militer" (2/8/2004). Kedua, tulisan J Kristiadi, "Masih Sekitar RUU TNI" (6/8/2004). Kedua tulisan ini berangkat dari tema yang sama dengan konklusi yang berbeda.
Juwono lebih menyoroti upaya penegakan supremasi sipil di negara maju dan membandingkannya dengan negara berkembang. Di negara maju, menurut Juwono, supremasi sipil bukan sekadar "dongeng" dan "fantasi", tetapi telah berurat akar dalam budaya masyarakatnya. Sementara di negara berkembang, supremasi sipil masih menjadi dongeng dan fantasi sampai saat ini.
Sementara J Kristiadi dengan melihat kasus RUU TNI lebih menyorot persoalan militer pada sisi legalitas formalistik. Dengan rumusan RUU TNI yang ada saat ini, Kristiadi khawatir munculnya legalisasi langkah politik militer terhadap wilayah politik yang menjadi ranah kekuasaan sipil. Kekhawatiran Kristiadi lebih didasarkan pada pengalaman masa lalu yang telah mengantarkan militer menjadi kekuatan yang mengendalikan seluruh napas kehidupan anak bangsa. Nah, RUU TNI dicurigai bisa melegalkan langkah politik praktis TNI pada masa mendatang.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk mencari keunggulan atau kelemahan dari kedua tulisan tersebut. Namun, ada hal yang sering menjebak kita untuk berpikir secara dikotomi antara persoalan budaya dengan sistem, antara persoalan militer dengan sipil, antara realitas historis dan konteks kekinian. Kita sering memperlihatkan realitas secara diferensial, sehingga perdebatan yang muncul tidak mengarah pada munculnya sinergi sebagai jalan keluar dari persoalan tersebut. Ini semua disebabkan oleh adanya perbedaan penafsiran terhadap realitas sosial-politik, perbedaan paradigma dan tafsir atas sejarah militer itu sendiri.

RUU sebagai cermin
Kritik terhadap RUU TNI yang dilontarkan oleh beberapa kalangan hanya berpijak pada materi, tanpa melihat setting dan latar belakang historis RUU itu sendiri. RUU TNI merupakan sebuah produk yang lahir dari setting sosial-politik yang dirasakan dan dialami oleh militer. RUU TNI-yang dinilai bisa menarik militer pada ranah politik sipil-ini tidak mungkin hadir pada saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkuasa. Dengan daya represi yang dimiliki Gus Dur pada saat itu, militer betul-betul "terpuruk".
Megawati tampaknya memiliki cara lain dalam memosisikan militer. TNI dibiarkan (ditoleransi) merangkai langkah-langkahnya sendiri sesuai dengan pemahaman dan atmosfer yang dirasakannya. Dan, salah satu hasil dari toleransi yang begitu longgar tersebut adalah lahirnya RUU TNI yang mengundang polemik. Toleransi sipil terhadap militer selama ini telah mendorong TNI untuk merapikan posisi dirinya sesuai dengan paradigma yang terbentuk dari realitas sosial-politik saat ini, yang kemudian hendak dilegalkan melalui RUU tersebut.
Kalau mau jujur, keberadaan RUU TNI sebenarnya "merugikan" dan membatasi ruang gerak militer yang selama ini telah mereka rasakan. Tanpa RUU TNI, militer justru merasakan keleluasaan dan toleransi atas langkah-langkah militeristik yang diambilnya. Pemberlakuan darurat militer di Aceh, pembelian perlengkapan senjata dan alat pertahanan, toleransi bisnis militer, dan konsesi-konsesi politik yang dinikmatinya merupakan bukti konkret bagaimana toleransi militeristik diberikan oleh sipil saat ini. Dari sinilah militer merefleksikan pengalamannya dan kehendak-kehendak sampingannya dalam bentuk RUU TNI yang mereka tawarkan saat ini.

Perbedaan paradigma
Selain faktor perlakuan sipil yang begitu toleran terhadap "hasrat" militer, terjadinya kontroversi RUU TNI disebabkan juga oleh perbedaan paradigma dalam melihat relasi sipil dan militer, sehingga semua asumsi dasar dari RUU TNI tersebut menjadi terbantahkan dan dengan sendirinya pasal-pasal yang menyertainya menjadi mentah.
Kelompok yang tidak setuju terhadap RUU TNI berangkat dari paradigma yang melihat TNI-meminjam analisis Morris Janowitz (1977)-sebagai kompetitif-demokratis (democratic-competitive). Mereka melihat TNI sebagai kekuatan yang langkah-langkahnya sepenuhnya ditentukan oleh sipil. Inilah yang mereka pahami sebagai supremasi sipil. Sehingga militer harus betul-betul menjadi kekuatan yang berada di bawah kontrol sipil dengan segala konsekuensinya.
Sementara RUU TNI yang diajukan oleh pemerintah berangkat dari paradigma koalisi sipil-militer (civil-military coalition). RUU TNI menempatkan militer sebagai kekuatan yang memiliki domain yang sejajar dengan sipil, sehingga memungkinkan adanya kerja sama antara sipil dan militer dalam menjalankan roda kenegaraan. Militer mendukung kekuasaan sipil, dan sipil membantu militer dalam menjalankan tugas kemiliterannya.
Perbedaan paradigma tersebut merupakan rangkaian dari perbedaan penafsiran terhadap realitas historis militer. Realitas historis militer melahirkan dua wajah yang diferensial. Satu sisi, sejarah telah menunjukkan keberhasilan kemanunggalan sipil-militer dalam menumpas penjajah dan ancaman terhadap negara kesatuan, dan inilah yang kemudian dijadikan legitimasi historis atas keterlibatan militer dalam politik. Namun, di sisi lain, sipil telah disodori oleh sejarah kelam militer selama Orde Baru. Tampaknya landasan historis yang dipegang oleh mereka yang kontra terhadap RUU TNI adalah sejarah kelam militer pada masa Orde Baru. Sementara militer dengan RUU TNI-nya tetap mengacu pada sejarah primordial mereka atas keberhasilan meraih kemerdekaan republik ini berkat kerja sama (equality) dengan sipil.
Patut kiranya kita menyikapi secara kritis terhadap perkembangan pembahasan RUU TNI agar kita tidak terpuruk dalam luka sejarah yang banyak disebabkan oleh peran TNI dan ketakberdayaan sipil karena ulahnya sendiri. Dan, yang tidak kalah pentingnya lagi dalam proses penegakan supremasi sipil adalah pembentukan sudut pandang TNI tentang supremasi sipil. Perlu adanya penanaman pemahaman dan rekonstruksi kesadaran TNI bahwa mereka hanyalah alat negara yang tunduk atas kekuasaan sipil. Inilah yang oleh Samuel P Huntington disebut sebagai the military mind. Yaitu, sebuah ideologi yang berisi pengakuan militer terhadap supremasi sipil karena adanya kontrol sipil yang obyektif terhadap militer. Sipil secara obyektif harus menempatkan militer sesuai dengan misi tradisionalnya sebagai kekuatan pertahanan, bukan sebagai mitra untuk mempertahankan status quo. Begitu juga militer tidak membiarkan dirinya terseret oleh kepentingan politik penguasa.
Perbedaan tafsir atas sosial-politik, paradigma, dan tafsir historis tersebut merupakan problem kebangsaan yang selama ini berlangsung, khususnya yang terkait dengan peran militer. Dan, hal ini tidak akan pernah berakhir tanpa adanya komitmen dan political will untuk mencari sinergi dan titik temu, khususnya dalam perumusan RUU TNI.
Ironis kiranya apabila kita bersikap kritis terhadap RUU TNI, tetapi di balik itu, masih muncul harapan-harapan koalisi dan pancingan-pancingan yang merangsang TNI untuk bermain di ranah politik.

A Bakir Ihsan Pengamat Militer dan Pengajar Fakultas Ushuluddin dan Ilmu-ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Opini

Militer antara Kegamangan Budaya dan Kekuasaan
Kompas, Jumat, 12 Januari 2001

A Bakir Ihsan

REPOSISI dan reformasi TNI merupakan agenda yang sangat kompleks. Ini tidak lepas dari sejarah panjang yang dilalui oleh TNI dari sebagai anak buah bangsa menjadi anak buah penguasa. Inilah otokritik yang dilontarkan Saurip Kadi dalam tulisannya di harian ini 6 Desember 2000. Wacana yang diproduksi oleh Saurip sebagai seorang jenderal aktif sungguh menarik di tengah kegamangan reformasi di dalam tubuh TNI saat ini.
Selama ini kritik terhadap reposisi dan reformasi di dalam tubuh militer lebih ditujukan pada persoalan struktural (sistem) yang dikendalikan oleh kekuasaan. Militer selalu diletakkan sebagai kuda troya penguasa. Ketika militer disingkirkan dari lingkaran kekuasaan, maka militer menumpahkan hasrat dan kepentingannya dalam wilayah politik sipil. Kritik tersebut seakan menjadi absah apabila dikaitkan dengan dominasi militer selama hampir 32 tahun. Namun demikian, kritik tersebut telah mengabaikan esensi dan substansi dari gerak dan perilaku militer. Jarang dikupas mengupas kemungkinan rekonstruksi internal militer menyangkut nilai-nilai dasar (Sapta Marga) yang diserap oleh para prajurit seperti yang dilontarkan Saurip.
Perlu ditelaah lebih jauh beberapa kemungkinan yang bisa dilakukan untuk mendorong gerbong reformasi yang sedang dirancang oleh bangsa Indonesia, khususnya menyangkut TNI. Hal ini menjadi penting untuk diperbincangkan, karena persoalan yang berkaitan dengan militer tidak hanya terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Di negara maju sekalipun relasi sipil-militer tetap menjadi problem laten yang mengguncang labilitas hubungan di antara keduanya.

Persoalan laten sipil-militer
Persoalan laten relasi sipil-militer tidak lepas dari kegamangan militer menghadapi perubahan yang begitu cepat. Penyelesaian berbagai konflik di belahan dunia tidak lagi mengandalkan pendekatan represif dan militeristik.
Secara de facto persoalan tersebut muncul bersamaan dengan berakhirnya Perang Dingin. Berakhirnya Perang Dingin merupakan momentum bagi runtuhnya perseturuan sejarah kekerasan dengan senjata antara blok komunis (Uni Soviet) dengan blok kapitalis (Amerika). Konsekuensinya militer di negara yang tergabung dalam kedua blok tersebut menjadi pengangguran. "Pemanjaan" dan peran yang mereka terima selama Perang Dingin, otomatis terkurangi. Di sinilah militer di negara-negara maju mulai mencari peluang peran baru bagi eksistensi dirinya.
Kenyataan ini menjadi agenda tersendiri bagi pemerintahan sipil di negara maju. Bahkan ada kecenderungan pengalihan peran primordial militer, sebagai kekuatan perang melawan musuh dari luar, kepada persoalan internal negara.
Dalam kondisi masyarakat yang sudah mapan, peran politik militer masih dalam koridor yang bisa dimaklumi, karena eksistensi sipil begitu kuat. Hal ini berbeda dengan negara yang sedang bertransisi menuju demokrasi, seperti Indonesia. Di Indonesia militer masih memiliki kemungkinan bermain di luar lingkup konstitusi yang telah disepakati. Kemungkinan ini bisa terjadi karena sipil belum menentukan dan menunjukkan pijakan yang kokoh bagi eksistensi dirinya dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kenyataan di atas menunjukkan adanya persoalan laten dalam relasi sipil-militer. Intervensi di antara keduanya tetap menjadi sebuah keniscayaan di atas panggung politik negara-bangsa. Oleh sebab itu, dalam rangka mendorong reposisi dan reformasi di dalam tubuh TNI, persoalannya bukan hanya bagaimana merekonstruksi dan mengaktualisasikan (revitalisasi) doktrin militer seperti yang ditawarkan Saurip, atau sebaliknya merekonstruksi posisi sipil yang selama 32 tahun tersubordinasi di bawah dominasi militer. Ada benang merah yang sulit dilepaskan dari berbagai faktor yang berlangsung baik pada tingkat lokal (nasional) maupun global (internasional) yang berpengaruh terhadap usaha reposisi dan reformasi di tubuh militer.

Kegamangan kultural
Usaha untuk meletakkan TNI tidak sekadar sebagai bagian dari sistem mekanistik, tetapi lebih sebagai sistem nilai atau seperangkat tata nilai seperti yang dilontarkan Saurip layak diapresiasi. Sapta Marga, sebagai aspek moralitas ksatria, harus disejajarkan dengan kemampuan fisik para prajurit.
Sebagai platform utama nilai-nilai yang diinternalisir oleh TNI, Sapta Marga bagi prajurit layaknya sebuah ideologi. Namun sayangnya, sebagai sebuah ideologi, ia mengalami sakralisasi dan eksklusivitas yang menyebabkan lahirnya sebuah jarak antara nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi dengan realitas sehari-hari. Ideologi hanya bisa dipahami dan ditafsirkan oleh penguasa.
Dalam proses penafsiran seperti ini secara otomatis akan terkandung bias kekuasaan. Ia menjadi sebuah kultus yang eksklusif dan diyakini, bukan dipahami, secara ekstrem. Wacana yang berkembang pun adalah wacana yang di dalamnya terkandung jaring-jaring kekuasaan yang sentralistik. Konsekuensinya ia tidak terefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Ada jarak antara prinsip moral yang mulia dengan perilaku sehari-hari. Di sinilah kegamangan budaya berlangsung di kalangan militer. Nilai-nilai luhur bergantung di kepala, sementara tangan dan kakinya sering kali tidak mencerminkan hal itu. Proses yang sama terjadi pada Pancasila. Ia menjadi paradigma nilai yang tercampakkan oleh arogansi kekuasaan.
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa militer bukanlah realitas yang bebas nilai dan hadir di ruang hampa. Ia lahir dari sejarah dan berperan sesuai dengan tuntutan sejarah. Ketika Orde Baru berkuasa militer hadir dengan agenda politik yang begitu dominan, karena ia merasa paling bertanggung jawab terhadap kelangsungan negara di tengah carut marut kekuasaan sipil selama masa Orde Lama.
Sejarah Orde Baru adalah sejarah militer. Wacana historis yang berkembang selama Orde Baru harus sejalan dengan misi yang dikehendaki oleh militer. Sejarah Malari, Tanjung Priok, Kasus 27 Juli, dan penculikan adalah sejarah militer. Realitas ini menunjukkan bahwa pertama, militer bukanlah realitas yang bebas nilai. Ia memiliki hasrat dan kepentingan untuk mempertahankan eksistensinya. Kedua, kepentingan tersebut mengharuskan militer melakukan interaksi dengan kelompok sipil atau meminjam istilah Martin Edmonds (1988) sebuah interaksi antara militer dengan berbagai lapisan sosial (interactions between the armed forces (as institutions) and sectors of the society in which they are embedded). Pada titik inilah akan muncul banyak kemungkinan model hubungan di antara keduanya.
Menurut Morris Janowitz dalam bukunya Military Institutions and Coercion in the Developing Nations (1977) ada lima model hubungan sipil-militer di negara berkembang. Pertama, kontrol personal otoriter (authoritarian-personal control). Dalam sistem ini militer berada di bawah kendali seorang pemimpin sipil. Keberadaan militer tidak lebih hanya sebagai tanda kedaulatan yang dikeluarkan dari politik domestik. Kedua, partai massa otoriter (authoritarian-mass party). Model ini menempatkan sipil sebagai imbangan yang cukup kuat terhadap militer yang masih kecil dan belum berekspansi. Ketiga, kompetisi-demokratis (democratic-competitive). Dalam sistem ini sipil membatasi (menentukan) langkah-langkah militer. Ada supremasi sipil terhadap militer. Keempat, koalisi sipil-militer (civil-military coalition). Ada kerja sama antara sipil dan militer dalam menjalankan roda kenegaraan. Militer mendukung terhadap kekuasaan sipil, dan sipil membantu militer dalam menjalankan tugas kemiliterannya. Kelima, oligarki militer (military oligarchy). Dalam sistem ini militer menjadi pengendali kekuasaan yang merepresi terhadap keberadaan sipil.
Janowitz memasukkan hubungan sipil-militer di Indonesia dalam model yang keempat, yaitu koalisi antara sipil dan militer. Pada awal kemerdekaan dan pasca G-30-S/PKI, asumsi Janowitz memang benar bahwa ada koalisi sipil-militer. Tetapi, dalam perkembangannya militer lebih dominan dan berhasil menciptakan sebuah hegemoni baik pada tataran wacana (teori) maupun praktik. Realitas tersebut juga menunjukkan bahwa hubungan sipil-militer di Indonesia tidak berlangsung linear. Ia mengalami pasang surut dan labilitas hubungan.
Hal ini memperkuat asumsi di atas, bahwa militer bukanlah realitas statis dan homogen. Militer tetap memiliki sensitivitasnya khususnya menyangkut kepentingan eksistensinya. Oleh sebab itu, militer tidak akan membiarkan terhadap perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Militer bukanlah realitas statis yang hanya digerakkan oleh spirit dogma-dogma normatif yang kemudian merefleksikan perilaku, seperti yang diasumsikan oleh kelompok modernis atau sebagai realitas statis yang sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungannya, seperti diasumsikan oleh kelompok behavioralis. Di sisi lain, militer bukanlah realitas yang bisa menempatkan dirinya sebagai kekuatan tunggal yang mengendalikan seluruh sendi kehidupan rakyat sipil sebagaimana dipersepsikan oleh teori korporatisme negara. Militer tetap membutuhkan partner (sipil) dalam menjalankan tugasnya dengan tingkat eksistensi yang setara.
Pendekatan holistik
Dengan berpijak pada kenyataan tersebut, maka dalam rangka mereposisi dan mereformasi militer (TNI) dibutuhkan beberapa jalan keluar (pendekatan) yang merupakan rangkaian tak terpisahkan (holistik).
Pertama, dari sisi kultural, diperlukan sebuah rekonstruksi terhadap internalisasi nilai-nilai yang selama ini menjadi doktrin yang menyimpang yang diserap oleh TNI. Misalnya tentang perang semesta yang telah menyebabkan militer selalu memposisikan negara selalu berada dalam bahaya. Hal ini menjadi legitimasi TNI untuk terlibat secara intensif dalam seluruh persoalan bangsa.
Bahkan Peter Britton (1996) mencatat bahwa nilai-nilai yang diajarkan dalam dunia TNI adalah nilai-nilai kejawen yang tidak berakar secara universal bagi bangsa Indonesia. Jawanisasi berlangsung di dalam tubuh militer. TNI, dalam hal ini Angkatan Darat, memposisikan dirinya sebagai lembaga yang lebih tinggi dari lembaga lainnya, dan para perwiranya merupakan perwujudan dari moralitas yang agung. Di sinilah perlu sebuah rekonstruksi terhadap paradigma TNI dan lebih lagi perlu sebuah kesadaran untuk melakukan otokritik.
Kedua, political will dari pemerintah untuk menempatkan militer sebagai mitra sejajar yang fungsional dan profesional. Pemerintah tidak bisa menjadikan militer sebagai kekuatan yang dikendalikan, sehingga mudah dijadikan kuda troya kekuasaan, seperti yang terjadi pada Orde Baru. Atau sebaliknya militer dibiarkan membangun kembali hegemoninya dan mengoyak-ngoyak wilayah sipil. Sampai saat ini militer belum bisa melepaskan diri secara total untuk tidak bermain mata dengan penguasa atau melepaskan sepenuhnya dari jaring-jaring kekuasaan.
Ketiga, adanya kesamaan pandangan masyarakat sipil terhadap usaha reposisi militer. Sipil harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses tersebut dengan mencoba menciptakan profesionalisme dalam kerja kenegaraan. Yang terjadi sampai saat ini adalah adanya perbedaan pandangan di kalangan politisi sipil untuk memposisikan militer secara profesional. Ada kegamangan di kalangan sipil dalam menyikapi peran militer. Satu kelompok menginginkan militer betul-betul menunjukkan dirinya sebagai tentara profesional, tetapi di sisi lain ada kelompok yang menginginkan militer tetap dalam fungsinya saat ini sebagai kekuatan dwifungsi. Tarik menarik di kalangan sipil ini telah menyebabkan usaha reposisi di dalam tubuh militer menjadi involutif.
Keempat, pada tingkat global, perubahan peran militer terkait dengan perubahan yang terjadi di pentas internasional. Ketertarikan militer untuk menentang kebijakan sipil, seperti yang terjadi di Amerika juga akan berpengaruh terhadap konstelasi politik militer di Indonesia. Embargo kerja sama di dalam bidang militer yang diberlakukan Amerika terhadap Indonesia juga akan ikut mempengaruhi terhadap peran militer di Indonesia. Untuk itu, perlu adanya antisipasi terhadap kemungkinan berlangsungnya reposisi dan langkah yang akan dimainkan oleh militer dalam konstelasi politik nasional. Pada intinya TNI saat ini berada dalam dunia yang gamang dan anomalis. Keberadaannya sebagai kekuatan yang strategis dan profesional masih sebatas bayang-bayang, sementara eksistensinya sebagai alat kekerasan negara belum juga beranjak. Ia masih berada di antara dua pilihan peran antara abdi penguasa dengan abdi bangsa.

* A Bakir Ihsan, pemerhati masalah sosial politik keamanan.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0101/12/opini/mili04.htm

Monday, February 13, 2006

Opini

SBY dan Citra Politik Internasional
Bisnis Indonesia, 10 Februari 2006

A. Bakir Ihsan

Walaupun kita didera berbagai derita, mulai gempa bumi, longsor, banjir, dan rasa aman yang belum maksimal, namun secara umum kondisi ekonomi, politik, dan hukum di Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Indikatornya bisa dilihat dari adanya stabilitas ekonomi, penegakan hukum, dan ruang publik politik yang semakin terbuka saat ini. Namun hal tersebut belum diikuti oleh langkah-langkah konstruktif lainnya yang tidak kalah pentingnya bagi eksistensi negara Indonesia, khususnya di mata internasional.
Memasuki tahun 2006 ini ada beberapa peristiwa penting yang seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah dan DPR, bagi kepentingan citra Indonesia di mata internasional. Pertama, laporan Komisi Penerimaan Kebenaran dan Rekonsiliasi atau Commissao de Acolhimento e Reconciliacao (CAVR) tentang pelanggaran HAM oleh Indonesia yang disampaikan Xanana Gusmao ke PBB. Menurut laporan ini operasi militer yang dijalankan Indonesia sejak 1975-1999 telah memakan korban sedikitnya 183.000 orang.
Kedua, tuntutan suaka politik 43 warga Papua ke Australia dan rencana pencarian suaka jamaah Ahmadiyah karena merasa terancam di Indonesia. Kedua kasus ini merupakan puncak gunung es dari persoalan yang bisa menjadi bumerang bagi citra Indonesia di mata internasional. Selain kasus Ahmadiyah, kedua kasus lainnya tidak saja menyeret eksistensi negara, tapi juga mendiskreditkan lembaga TNI yang mulai pulih citranya di mata dunia internasional. Isu yang mereka hembuskan sedikti banyak akan menjadi pertimbangan dunia internasional dalam menyikapi Indonesia.

Hegemoni Wacana
Walaupun secara politik Presiden SBY telah mengambil sikap terhadap langkah Xanana dengan menggagalkan pertemuannya dengan Xanana, namun tanpa respon serius dan seimbang dari pemerintah, sedikit banyak masalah Papua dan Timor Leste dapat mempengaruhi citra Indonesia di mata internasional. Apa pun motif laporan yang diberikan Xanana kepada PBB tentang masa lalu sejarah Indonesia di Timor Timur tetap akan membasuh luka lama yang mulai mengering.
Fenomena Xanana adalah kerikil kecil yang dapat menghambat perjalanan diplomasi Indonesia. Begitu juga dengan Papua dan wilayah lainnya yang berusaha menarik perhatian internasional melalui manuver-manuver politik yang melibatkan negara lain. Pendekatan hegemoni wacana yang dilakukan kaum separatis maupun negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia dapat menjadi sangat ampuh dan strategis di era informasi dan komunikasi ini.
Di abad informasi ini, separatisme telah masuk melalui penguatan jaringan informasi, termasuk menciptakan simulakra yang dapat mempengaruhi diplomasi internasional. Oleh sebab itu, pendekatan kaum separatis ini harus diimbangi oleh kecanggihan negara membangun image internasional tersebut, sambil membangun basis budaya yang bisa mengikat dan memperkuat rasa kebangsaan masyarakat khususnya yang ada di daerah perbatasan dengan negara lain.
Bukti kuatnya pengaruh pendekatan diplomasi di abad informasi ini adalah persepsi dunia internasional tentang penembakan 3 WNI di perbatasan Timor Leste yang menurut mereka adalah penyusup sehingga sah untuk ditembak. Seperti disampaikan oleh Sekjen PBB, Kofi Annan bahwa penembakan terhadap 3 WNI karena mereka adalah penyusup. Asumsi tersebut tentu melahirkan stigma negatif bagi Indonesia. Paling tidak Indonesia dianggap sebagai negara yang telah dengan sengaja memakai rakyat sebagai martil untuk menyusup secara illegal ke negara tetangga yang notabene bekas wilayahnya sendiri. Kenyataan ini membuktikan bahwa diplomasi yang dilakukan oleh Timor Leste telah menjadi kekuatan hegemonik yang mempengaruhi PBB sebagai badan internasional. Wacana ini sungguh berbeda dengan opini yang muncul di dalam negeri yang justru menyalahkan Timor Leste karena melakukan penembakan terhadap warga yang masih ada di wilayahnya.
Stigmatisasi tersebut patut ditanggapi karena bila dibiarkan akan menjadi blunder dan simulakra yang akan menjatuhkan kualitas diplomasi dan citra Indonesia di mata internasional. Begitu juga dengan kasus pencarian suaka yang dilakukan oleh warga Papua. Di abad informasi ini, setiap wacana yang berasal dari manapun, bahkan dari rumor sekalipun akan menjadi simulakra yang akan menyulap segala kata menjadi nyata. Walaupun alasan pencarian suaka dianggap tak berdasar, tetapi karena ia telah menjadi bagian dari dunia simulakra, dengan sendirinya ia seakan benar adanya.

Membangun Citra
Walaupun SBY banyak dihadapkan pada agenda dalam negeri yang begitu luar biasa, tetapi tidak ada salahnya apabila juga dilakukan upaya-upaya penguatan diplomasi yang dapat mengubah stigma negatif internasional menjadi citra positif bagi Indonesia. Paling tidak dari citra positif tersebut dapat mendorong pihak luar untuk membantu menyelesaikan persoalan yang melilit dalam negeri, khususunya di bidang investasi dan penguatan kesejahteraan yang belum beranjak bagus.
Sebaliknya apabila kasus-kasus kecil yang mempengaruhi politik internasional dibiarkan atau tidak mendapat respon yang maksimal, dikhawatirkan dapat menyurutkan simpati dunia internasional terhadap Indonesia.
Setiap masalah selalu memiliki akar historis. Begitu juga dengan Timor Leste ia mengandung bara persoalan yang mengalir sejak lama, bahkan sebelum bergabung dengan Indonesia. Ketika Portugis dan Belanda berkuasa, wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste telah menjadi ajang perebutan dan pencurian di antara kedua belah pihak. Ketika Timor Timor bergabung dengan Indonesia hal tersebut tidak terjadi lagi, karena berada dalam satu wilayah. Saat ini, ketika kedua wilayah berada dalam otoritas yang berbeda, maka saling mengambil hasil bumi di antara penduduk kedua wilayah tersebut terjadi lagi. Masalah ini tidak bisa diselesaikan melalui pendekatan keamanan karena sudah menyangkut otoritas antar negara. Kita tidak perlu terpancing untuk menembak warga Timor Leste untuk membalas dendam. Begitu juga menghadapi potensi-potensi separatisme di wilayah lainnya, seperti di Papua, Maluku, atau lainnya. Di sinilah pemerintahan SBY-JK ditantang untuk mengambil langkah-langkah yang lebih bermartabat dengan membangun pendekatan budaya terhadap masyarakat dan terus memproduksi wacana di tingkat internasional tentang langkah-langkah konstruktif yang dilakukan Indonesia terhadap persoalan dalam negeri. Dalam konteks Timor Leste dan wilayah perbatasan lainnya, pemerintah perlu membangun demarkasi yang tegas dan mengembangkan masyarakat Indonesia di wilayah perbatasan secara maksimal, sehingga tidak mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan pelanggaran. Indonesia jangan sampai tercemar oleh ulah segelintir orang yang bisa jadi memang sengaja memancing di air keruh. Inilah agenda politik internasional yang harus terus dikembangkan oleh SBY-JK di tengah pertempuran wacana yang diproduksi oleh beragam kepentingan di abad informasi ini. Semoga.