Thursday, February 09, 2006

Opini

Ilusi Kuasa SBY-JK
Suara Pembaruan, 1 Februari 2006

A. Bakir Ihsan

Menjelang tutup tahun 2005 berbagai analisa terhadap kinerja SBY-JK selama satu tahun dilansir oleh berbagai media massa. Secara umum berbagai analisa tersebut memperlihatkan adanya paradoksalitas potret kekuasaan SBY-JK. Satu sisi para analis melihat adanya penurunan performa kinerja SBY-JK, di sisi lain terjadi penguatan hegemoni kekuasaan SBY-JK.
Indikator penurunan performa kinerja SBY-JK biasanya dikaitkan dengan adanya kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, seperti kenaikan BBM dan adanya jumlah pengangguran yang semakin tinggi. Sementara indikator hegemoni kekuasaan SBY-JK dikaitkan dengan terkoptasinya partai politik sehingga tidak kritis, pemanjaan terhadap pengusaha, dan terakomodirnya para aktivis ke dalam jaring kekuasaan. Fenomena tersebut kemudian disimpulkan bahwa kekuasaan SBY-JK sedang mengarah pada otoritarianisme baru yang dapat memicu terjadinya people power.
Sebagai sebuah analisa, hal tersebut sah-sah saja. Paling tidak ia dapat menjadi warning bagi pemerintah agar tidak terjebak dalam kekhawatiran-kekhawatiran tersebut. Namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana mengoptimalkan kuasa SBY-JK ini bagi upaya pelanjutan reformasi bangsa yang masih tersendat dan cenderung involutif ini.

Kecenderungan Otoritarianisme
Kecenderungan otoritarianisme merupakan potensi setiap kekuasaan. Dan hal ini akan teraktualisasi ketika mendapatkan lahan subur berupa pertama, lemahnya parpol. Parpol merupakan alat yang paling ampuh bagi kepentingan hegemoni kekuasaan karena ia memiliki basis struktural dan kultural sekaligus. Secara struktural ia memiliki bargaining yang kuat dengan seluruh kekuatan sosial. Secara kultural ia memiliki legitimasi massa. Kedua, lemahnya kontrol sosial. Masyarakat yang tidak memiliki basis budaya yang baik dengan mudah dapat diperdaya oleh kekuasaan. Lemahnya basis budaya ini bisa disebabkan oleh sistem hegemonik yang sengaja diciptakan oleh penguasa. Ketiga, lemahnya lembaga-lembaga kontrol dan pengawas, seperti DPR, lembaga yudikatif, maupun lainnya.
Namun kondisi-kondisi tersebut tidak tersedia saat ini. Bahkan sebaliknya parpol saat ini sangat kuat dan menjadi pengendali yang sangat menentukan haru biru kekuasaan. Logika bahwa parpol berhasil dikuasai SBY sangatlah simplistik dan merendahkan “martabat” parpol. Mereka dengan berbekal suara dan kursi yang didapatnya di lembaga legislatif menjadi modal ampuh untuk mengontrol kekuasaan. Bahkan dalam hal-hal tertentu, khususnya menyangkut kenaikan gaji, mereka tak terkendali.
Di sisi lain, sejak reformasi bergulir, wilayah publik (public sphere) semakin terbuka dan sedikit demi sedikit basis kesadaran masyarakat semakin terkuak. Begitu juga kegairahan kontrol yang dilakukan oleh masing-masing lembaga mulai terasa. Pengungkapan kasus korupsi dan langkah-langkah hukum lainnya mulai terlihat. Tidak berlebihan apabila Jusuf Kalla dalam peluncuran buku di BEJ (2/1/06) menyatakan bahwa presiden dan wapres saat ini tidak punya otoritas apa-apa berhadapan dengan hukum. Pernyataan Jusuf Kalla ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa masyarakat semakin kritis dan kuat mengontrol kekuasaan, sehingga setiap penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat dapat mengancam eksistensinya. Kedua, bahwa ada keseriusan SBY-JK untuk menegakkan supremasi hukum di tanah air.
Di tengah “ketidakberdayaan” tersebut, SBY-JK dihadapkan pada realitas kemiskinan, bencana alam, pengangguran, konflik, kriminalitas dan potensi-potensi yang dapat memicu kekacauan dan integrasi sosial. Inilah dilema demokrasi di tengah problem sosial yang komplek. Satu sisi demokrasi menuntut adanya toleransi-toleransi, sementara problem sosial yang complicated dan emergency membutuhkan ketegasan dan kepastian secara cepat dan tepat.

Kekuasaan untuk rakyat
Kemenangan SBY-JK pada pemilu 2004 melalui pemilihan langsung merupakan modal yang sangat legitimited untuk mengambil kebijakan yang dianggap strategis bagi penyelesaian problem sosial. Bahkan dibandingkan dengan lembaga lain yang juga dipilih rakyat, seperti DPR atau DPD, eksistensi SBY-JK lebih akuntabel karena dipilih oleh lebih 60% rakyat secara nasional. Namun demikian, modal legitimasi tersebut tidak cukup menjadi godam untuk membuat kebijakan dengan semena-mena, karena ia tetap terikat dengan konstitusi dan kontrol baik oleh DPR maupun oleh masyarakat secara langsung. Kontrol terhadap kekuasaan tidak hanya bersifat vertikal (kontrol dari masyarakat), tetapi juga secara horizontal, yaitu dari lembaga legislatif dan yudikatif.
Kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya otoritarianisme pada kekuasaan SBY-JK, seperti ditulis oleh beberapa pengamat, lebih disebabkan oleh paradigma elit yang meletakkan penguasa sebagai penentu segalanya. SBY-JK diletakkan sebagai kunci dari seluruh persoalan. Paradigma ini mengalami bias dan distorsi di tengah masyarakat yang secara politik sedang menjalankan demokrasi, seperti di Indonesia. Dalam alam demokrasi, masyarakat dapat menjadi kontrol efektif bagi kekuasaan.
Harapan berlebihan terhadap SBY-JK semata akan berbuah kekecewaan. Dari sinilah kita bisa memahami mengapa SBY sempat “mengeluh” tentang sulitnya memberantas korupsi. Bahkan ia khawatir tidak mampu menghadapi tembok korupsi yang begitu sistemik dan berjamaah. Sementara ia harus berhitung dengan berbagai aturan yang bisa jadi menjebak langkah-langkahnya sendiri.
Harapan besar terhadap SBY-JK tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan yang diraihnya dalam pilpres 2004 lalu. Saat itu SBY-JK diletakkan sebagai pasangan paling sempurna (ideal) karena latar belakangnya yang dianggap representatif dan mewakili beragam kepentingan dan latar belakang sosial. SBY dianggap sebagai representasi dari militer-reformis-intelek dan JK sebagai sipil-pengusaha-santri. Secara geografis, SBY-JK dianggap sebagai representasi Jawa-luar Jawa. Namun idealisasi tersebut menjadi tidak signifikan ketika dihadapkan pada problem kebangsaan yang lintas status sosial dan lintas geografis. Bencana tidak lagi memandang Jawa-luar Jawa, kemiskinan tidak lagi menjadi monopoli sipil, dan konflik-konflik berlangsung merata.
Melihat realitas tersebut, maka diperlukan rekonstruksi paradigmatik terhadap kekuasaan yang selama ini dianggap sebagai penentu (sentral) segalanya. Rekonstruksi tersebut tentu harus dibarengi dengan keberdayaan masyarakat secara keseluruhan, sehingga dapat meretas tingkat ketergantungan yang berlebihan terhadap kekuasaan. Dengan tingkat ketergantungan yang semakin berkurang tersebut, masyarakat dengan sendirinya dapat mengontrol kekuasaan. Semangat ini perlu ditekankan seiring dengan semangat otonomisasi yang sedang berlangsung di negeri ini.
Dalam konteks kenegaraan, tampaknya SBY-JK memulai langkah tersebut dengan memberdayakan seluruh potensi lembaga-lembaga yang ada di bawah komandonya untuk bekerja maksimal sesuai tanggung jawab masing-masing. Dan langkah tersebut mulai menaui hasil. Penangkapan koruptor kelas kakap, terbongkarnya mafia peradilan, dan geliat perekonomian yang semakin positif, merupakan langkah awal yang menjanjikan bagi optimalisasi kinerja dan tatanan kehidupan bernegara. Dan langkah awal yang baik ini akan terus berlanjut apabila semua komponen bangsa bergerak bersama sesuai tanggung jawab masing-masing. Tanpa kepedulian dan komitmen semua pihak untuk mendorong terwujudnya good and clean governance, eksistensi SBY-JK tidak akan bermakna apa-apa. Karena kuasa SBY-JK adalah kuasa rakyat, maka tanpa dukungan dan partisipasi rakyat, kuasa keduanya hanya ilusi belaka.*

Penulis adalah dosen Ilmu Politik, Fakultas Ushuluddin & Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

No comments: