Tuesday, February 21, 2006

Opini

Reformasi TNI dan Tantangan Sipil
Suara Karya, Selasa 21 Februari 2006

A. Bakir Ihsan

Sebagai antitesa dari rezim otoriter yang dikendalikan oleh militer, maka era reformasi ini seharusnya menjadi ranah sipil untuk mewujudkan reformasi sejati. Namun bagaimana kenyataannya?
Beberapa agenda reformasi sudah dilaksanakan oleh sipil dengan cukup baik. Bahkan dalam hal-hal tertentu Barat menganggap Indonesia sebagai negara yang berhasil membangun demokrasi politiknya di tengah masyarakatnya yang plural. Indikator keberhasilan tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan pemilihan langsung baik pada Pilpres 2004 maupun dalam Pilkada yang sedang dilaksanakan di berbagai wilayah tanpa gejolak yang berarti. Penguatan wilayah melalui kebijakan otonomi daerah juga menjadi indikator pemberdayaan politik masyarakat lokal yang pada masa sebelumnya sangat sentralistik dan monolitik.
Namun di balik itu semua, masih ada beberapa kendala yang justru bisa menyebabkan reformasi mati suri, atau bahkan bisa mengarah pada involusi reformasi karena sipil kehilangan orientasi. Dalam UU Pilkada Nomor 32 Tahun 2004, misalnya, ternyata sipil masih memberi peluang bagi TNI untuk ikut terlibat dalam politik praktis melalui Pilkada. Ini merupakan salah satu kecerobohan sipil dalam menegakkan reformasinya di tengah TNI, paling tidak melalui UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, berusaha mengambil jarak dengan politik.

Reformasi TNI
Sejak awal reformasi yang paling banyak mendapat hujatan adalah TNI, karena dianggap sebagai biang segala masalah. Bahkan saat itu, TNI seperti, dalam cerita detektif Sherlock Holmes, the dog that did not bark. Namun tampaknya hujatan tersebut tidak membangkitkan post power syndrom di kalangan TNI, sehingga tidak memunculkan gerakan-gerakan yang dapat mengancam kebebasan sipil. Justru mereka menata diri dengan segala daya yang dimilikinya untuk bersama-sama sipil mewujudkan reformasi.
Walaupun dalam perjalanannya, muncul beberapa kendala, baik secara internal maupun eksternal, namun dengan langkah pasti TNI mencoba menyesuaikan diri dengan dunia reformasi yang mengedepankan supremasi sipil.
Dalam dunia militer Indonesia, tak pernah sedikitpun tercecer warisan tentang supremasi sipil. Militer Indonesia tak pernah diajari tentang bagaimana harus tunduk pada pemerintahan yang dikendalikan oleh sipil. Justru sejarah mengajarkan mereka, bagaimana berdiri sejajar dengan sipil atau bahkan mengendalikan dan menguasai sipil. Pada masa Orde Lama, militer berdiri sejajar dengan sipil dan pada Orde Baru militer menguasai sipil. Semua ini terjadi karena militer menjadi kuda troya kekuasaan.
Namun dalam waktu singkat, yaitu sejak reformasi bergulir, militer tiba-tiba dihadapkan pada sebuah dunia yang sama sekali baru yang mengedepankan supremasi sipil, yaitu pengakuan terhadap kekuasaan sipil yang pada masa sebelumnya justru di bawah kendalinya. Kita tidak bisa membayangkan seandainya militer menolak atas upaya penegakan supremasi sipil tersebut. Tentara dengan senjata yang dimilikinya bisa saja mbalelo atau melakukan rekayasa chaostik sehingga dirinya bisa bermain dan masyarakat membutuhkan bantuannya. Namun TNI tidak melakukan itu semua. Justru mereka menunggu dengan sabar langkah-langkah yang diberikan sipil kepada dirinya.
Lahirnya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 dianggap sebagai momentum yuridis bagi langkah reformasi TNI. UU tersebut menjadi rambu yang membatasi gerak politik TNI. Dan TNI berusaha sepenuh hati untuk melaksanakan undang-undang tersebut dalam pelaksanaan tugasnya. Namun sayangnya ketika UU tersebut dibuat, ada UU lain yang memungkinkan keterlibatan militer dalam politik, yaitu adanya UU Pilkada atau pemerintahan daerah yang memungkinkan TNI terlibat di dalamnya.
Ini merupakan cacat reformasi yang diciptakan sendiri oleh sipil sebagai penanggung jawab paling depan bagi pelaksanaan reformasi. Dari sini terlihat bahwa sipil belum sepenuhnya menempatkan TNI sebagai kekuatan profesional yang semata-mata mengurusi masalah pertahanan. Dan selama UU Pilkada belum direvisi, maka sepanjang itu pula TNI punya peluang untuk terjun ke politik praktis. Hal ini harus menjadi perhatian serius dari politisi sipil, apalagi menjelang Pemilu 2009 nanti yang memberikan hak bagi anggota TNI untuk memilih.
Keseriusan TNI untuk tidak berpolitik praktis juga dapat dilihat dari penarikan fraksi TNI dari lembaga legislatif yang lebih awal (2004) dari jadwal semula (2009).
Bahkan kalau kita mengembalikan sosok SBY sebagai mantan militer, dialah presiden yang berhasil melengkapi rotasi panglima TNI secara bergiliran. Ketika Abdurrahman Wahid berkuasa, ia memunculkan calon dari angkatan laut untuk meretas dominasi angkatan darat. Tapi waktu itu, angkatan laut memang berada di atas angin dan mendapat dukungan sangat kuat dari masyarakat karena dianggap pro gerakan reformasi yang digalang mahasiswa. Sementara Megawati kembali melanggengkan dominasi angkatan darat. Presiden SBY mampu meretas kebekuan kesempatan bagi seluruh angkatan untuk memangku jabatan panglima dengan mengangkat Marsekal Djoko Suyanto yang nota bene dari angkatan udara.

Memperkuat Reformasi
Melihat langkah tertib reformasi yang dilakukan TNI, maka sipil seharusnya lebih maju dari itu semua, bukan malah memancing TNI untuk bersikap mengambang dalam persoalan politik. Hal ini merupakan tantangan reformasi yang harus ditegakkan oleh sipil, apalagi memasuki Pemilu 2009 nanti yang memberi hak memilih bagi anggota TNI. Sekali sipil salah mengambil langkah dalam upaya depolitisasi TNI, maka secara perlahan sipil menggali kuburnya sendiri.
Untuk itu, diperlukan langkah-langkah konstruktif bagi penguatan reformasi sipil, terutama para politisi di DPR yang punya tanggung jawab legislasi dan kontrol terhadap kekuasaan, termasuk terhadap TNI. Langkah konstruktif tersebut berupa konsistensi sikap sipil untuk memperlakukan TNI sebagai alat pertahanan semata sambil memberi kesempatan pada TNI untuk mengaktualisasikan fungsinya. DPR tidak perlu khawatir TNI dapat dipergunakan oleh kepentingan kekuasaan Presiden, karena DPR memiliki peran kontrol.
Di samping itu, perlu komunikasi politik yang intensif antara para politisi dengan masyarakat, sehingga masyarakat tidak bergerak sendiri dan mencari perlindungan pada TNI. Anggota DPR harus mengurangi keasyikan berwacana berdasarkan isu-isu nasional, tanpa terjun dan mendengarkan langsung persoalan sosial yang melanda masyarakat bawah.
Dengan demikian, diharapkan sipil bisa memimpin reformasi ini secara lebih terarah, tertib, reguler, dan bermartabat. Agenda ini tidak mudah untuk diwujudkan, apabila sipil masih mengedepankan kritisismenya pada lembaga lain, seperti TNI, tapi melupakan dirinya. Banyaknya kritik yang dilontarkan pada TNI telah menjadi pemantik reformasi di dalam diri TNI. Sipil pasti lebih bisa melakukannya, karena sipil lah pengendali reformasi ini. Semoga


Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ushuluddin & Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

No comments: