Thursday, February 16, 2006

Opini

TNI dan Reformasi Kaum Sipil
Investor Daily, Kamis 16 Februari 2006

A. Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ushuluddin & Filsafat, UIN Jakarta

Akhirnya pancalonan Marsekal Djoko Suyanto sebagai Panglima TNI disetujui DPR. Melihat proses persetujuan DPR melalui fit and proper test yang begitu panjang, menarik kiranya untuk disikapi dan dianalisis secara kritis guna perbaikan relasi sipil dan militer pada masa yang akan datang. Ada beberapa catatan atas prosesi fit and proper test yang selama ini diklaim sebagai penentu paling absah atas layak tidaknya seorang calon untuk menempati posisi di ranah kekuasaan.
Pertama, DPR telah menunjukkan fungsinya sebagai lembaga yang ikut menentukan calon panglima TNI sesuai UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 secara luar biasa. Dengan 300 pertanyaan yang diajukan pada seorang calon panglima dan memakan waktu 15 jam, mungkin inilah prosesi fit and proper test terlama yang diadakan oleh DPR. Padahal dalam UU TNI juga disebutkan bahwa panglima TNI merupakan hak prerogatif presiden
Kedua, dengan fit and proper test yang begitu melelahkan tersebut terlihat dengan jelas bahwa DPR telah menempatkan panglima TNI sebagai jabatan politik yang sangat strategis, bahkan mungkin lebih strategis dari seorang calon presiden yang tidak pernah menjalani fit and proper test. Saking semangatnya beberapa pertanyaan anggota dewan yang terhormat melampaui wewenang panglima TNI (out of context).
Ketiga, fit and proper test dipahami sebagai penentu paling absah untuk menilai kualitas dan integritas seorang calon panglima, sehingga semua persoalan diajukan kepada seorang panglima TNI yang tugas utama hanyalah alat pertahanan negara. Dan fit and proper test hanya pintu kecil untuk memotret terhadap kualitas seseorang. Fit and proper test tidak akan mampu melihat secara utuh dan komprehensif terhadap sosok calon panglima. Justru melalui track record dan jejak rekam perjalanan karir, DPR bisa melihat kemampuan calon panglima secara lebih komprehensif.
Dari ketiga catatan tersebut kita bisa mengevaluasi apakah pelaksanaan fit and proper test di atas merupakan kerangka ideal bagi reformasi yang hendak kita bangun, khususnya bagi kepentingan tegaknya supremasi sipil atau sekadar basa-basi yang justru memperkuat kepentingan politik DPR?

Politisasi
Pelaksanaan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) seharusnya menjadi ajang yang efektif untuk memotret kualitas calon panglima TNI. Dan efektivitas tersebut ditentukan oleh paralelitas antara input yang diberikan dengan output yang dihasilkan. Berdasarkan standar ini, maka proses fit and proper test yang memakan waktu 15 jam dengan hasil yang tidak maksimal, paling tidak ada beberapa pendalaman jawaban yang belum tersampaikan, bisa dianggap kurang efektif. Salah satu penyebabnya adalah penataan waktu yang tidak maksimal akibat “nafsu” DPR untuk menuntaskan masalah TNI yang begitu luar biasa dalam acara fit and proper test semata. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan anggota DPR yang tidak terkait langsung dengan tugas seorang panglima (out of context). Misalnya kasus Tanjung Priok, Trisaksi, dan kasus-kasus lainnya yang sudah ditangani oleh pengadilan yang dengan sendirinya telah menjadi wilayah hukum, bukan ranah TNI yang khusus menangani masalah pertahanan. Dengan melibatkan TNI terhadap proses hukum yang ada, maka dengan sengaja telah menarik TNI untuk mengintervensi hukum.
Masalah lain adalah gugatan atau pertanyaan atas kebijakan presiden memilih Djoko Suyanto sebagai calon panglima TNI. Pertanyaan ini lebih pantas diajukan pada presiden daripada calon panglima yang notabene penerima dan pelaksana tugas. PDIP, misalnya dari awal menyatakan bahwa keputusan presiden SBY mencalonkan Marsekal Djoko Suyanto sebagai pelanggaran terhadap tata dan etika kenegaraan, karena telah menganulir terhadap kesepakatan Komisi I yang sepakat mengangkat Ryamizad Ryacudu sebagai panglima TNI. Secara tidak langsung PDIP telah membuat peta kompli antara Ryamizard dengan Djoko Suyanto yang notabene dari angkatan yang berbeda dan diangkat oleh presiden yang berbeda. Padahal keduanya (Ryamizard dan Djoko) merupakan anggota TNI yang harus siap diangkat dan tidak diangkat menjadi panglima.
Dari kenyataan ini terlihat bahwa ada nuansa politisasi calon panglima TNI dalam prosesi fit and proper test yang dilaksanakan oleh Komisi I. Konsekuensinya acara tersebut tidak efektif; memakan waktu yang begitu banyak dengan capaian yang tidak maksimal. Dalam hitung-hitungan bisnis, prosesi ini merupakan pekerjaan yang rugi.

Normatif
Jawaban Djoko Suyanto yang selalu berusaha berpijak pada undang-undang dan peraturan sering dituduh sebagai jawaban yang normatif dan tidak reformis. Tuduhan ini menunjukkan bahwa undang-undang tidak lagi menjadi standar reformasi bagi tegaknya civil society. Undang-undang hanya dijadikan pijakan pada saat diperlukan, bahkan mungkin hanya dijadikan pajangan reformasi. Di sinilah problem reformasi sipil terjadi. Semangat reformasi yang diwujudkan dalam bentuk produksi dan reproduksi undang-undang tidak lagi dihiraukan malah dianggap tabu, normatif, dan konservatif. Kenyataan ini tentu membingungkan bagi seorang calon panglima TNI yang mencoba untuk konsisten berada dalam jalur undang-undang, sementara sipil (DPR) menuntut penafsiran personal terhadap undang-undang yang bisa jadi sangat politis dan sarat kepentingan.
Di satu sisi, TNI diharapkan tetap berjalan dalam koridor reformasi yang telah terumuskan dalam UU TNI, tetapi di sisi lain TNI diminta untuk bisa menafsirkan atas UU tersebut. Inilah paradoksalitas reformasi yang dikawal oleh sipil. Anggota DPR secara tidak langsung memberikan peluang bagi TNI untuk bermuka; profesional di satu sisi, dan politis di sisi yang lain. Dan inilah yang terjadi dalam pilkada yang melibatkan anggota TNI aktif. Dan anehnya ketika TNI memilih untuk mengikuti UU Pilkada, sipil, dalam hal ini anggota DPR, menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap komitmen reformasi TNI.
Persoalan reformasi TNI selalu diserahkan sepenuhnya pada TNI. Anggota DPR tidak sadar bahwa TNI merupakan bagian dari supremasi sipil. Dengan kata lain, reformis tidaknya TNI juga tergantung pada politisi (pemerintahan) sipil dalam mengatur dan mengawal reformasi yang telah diciptakannya sendiri yang tercermin dalam peraturan dan perundang-undangan.
Sungguh ironis, satu sisi TNI diharapkan reformis, tapi di sisi lain sipil tidak memperlihatkan sikapnya yang reformis, bahkan cenderung menafsirkan dan memperlakukan reformasi secara liar. Ketika TNI berusaha berada dalam real konstitusi yang diproduksi oleh DPR sendiri, ia dianggap konservatif dan normatif. Sebuah tuduhan yang sarat dengan ambiguitas dan paradoksalitas.
Begitu juga terhadap kebijakan penerapan Komando Teritorial (Koter) yang menurut calon Panglima TNI Djoko Suyanto masih relevan diterapkan. Tugas dan fungsi Koter ini sebenarnya merupakan wilayah sipil dan diserahkan sepenuhnya pada pemerintah daerah. Namun selama pemerintah tidak melaksanakan fungsi tersebut, maka ia menjadi otoritas TNI. Dengan kata lain, seandainya sipil mau dan mampu menjalankan tugas Koter tersebut, maka tidak ada alasan TNI memperlakukan Koter. Sekali lagi, pada titik ini keputusan dan komitmen ada di tangan sipil.
Keseriusan reformasi TNI yang sering digugat oleh sipil terlihat juga dalam restrukturisasi bisnis TNI yang saat ini sudah diverifikasi. Kesulitan Tim Supervisi Transformasi Bisnis TNI dalam menverifikasi bisnis TNI lebih disebabkan oleh begitu berurat akarnya persoalan bisnis di tubuh TNI. Kalau dilacak secara historis, keterkaitan TNI dengan bisnis sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan, yaitu sejak proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan pasca kemerdekaan. Namun demikian, tidak ada alasan untuk membiarkan bisnis TNI terus berlanjut tanpa kontrol dari negara.
Berdasarkan realitas keseriusan TNI untuk mereformasi dirinya baik secara politik maupun bisnis, maka ketakutan-ketakutan terhadap sepak terjang politik dan binis TNI sebagaimana yang terjadi pada masa lalu menjadi tak berdasar lagi. Bisa jadi kekhawatiran tersebut lebih sebagai apologi dan ketakutan sipil pada kualitas dirinya sendiri untuk mengontrol secara serius seluruh perjalanan tata kenegaraan, termasuk reformasi TNI.
Dengan adanya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 dan semakin meningkatnya kontrol masyarakat, termasuk kalangan LSM dan media massa, maka kemungkinan TNI menjadi alat kekuasaan jauh panggang dari api. Dari dulu, kalau kita telisik secara historis, TNI merupakan alat, bukan sebagai pemain utama. Oleh sebab itu, kemampuan dan konsistensi untuk memperlakukan TNI sebagai alat pertahanan semata akan menentukan terhadap nasib reformasi TNI dan sipil ke depan. Nah pertanyaannya sekarang, mampukan sipil menempatkan TNI sebagai alat pertahanan? Pertanyaan ini patut diajukan karena nuansa politisisasi TNI masih belum punah, bahkan mungkin saja semakin mengental karena pada Pemilu 2009 anggota TNI dapat menggunakan hak pilihnya. Inilah pertanyaan yang seharusnya dijawab oleh politisi sipil, termasuk anggota DPR dan partai politik yang paling bertanggungjawab atas pemberdayaan politik bangsa. Apakah kita masih konsisten untuk merayakan reformasi sesuai dengan aturan main yang telah kita buat atau menjadikan reformasi sebagai makhluk liar demi kepentingan politik sesaat.*

No comments: