Tuesday, February 14, 2006

Opini

TNI, Demokrasi, dan Involusi Budaya
(Catatan Tambahan untuk Abdurrahman Wahid)
Kompas, Rabu, 24 September 2003

A Bakir Ihsan

BEBERAPA hari yang lalu Kompas (Jumat, 29 Agustus 2003) menurunkan tulisan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengulas eksistensi TNI bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Dalam tulisan yang berjudul "TNI dan Demokratisasi" tersebut, terkandung optimisme bagi keberlanjutan demokrasi dengan catatan TNI dan sipil tetap berada dalam mainstream demokrasi itu sendiri.
Secara apik Gus Dur memaparkan tentang realitas historis militer yang menunjukkan bahwa penyimpangan yang terjadi di tubuh militer lebih disebabkan oleh adanya kepentingan pribadi (vested interest). Intrik-intrik politik militer itu dilakukan oleh pribadi-pribadi, bukan oleh institusi TNI itu sendiri.
Optimisme Gus Dur terutama didasarkan pada realitas konstitusional di mana Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai institusi telah menerima dihapusnya Fraksi TNI-Polri dari DPR pada 2004 dan dari MPR tahun 2009. Di samping itu, TNI harus tunduk pada UUD 1945 yang berarti pula tunduk pada proses demokratisasi.
Namun, ada satu hal yang tidak dieksplorasi lebih jauh oleh Gus Dur ketika ia secara eksplisit menyatakan bahwa secara struktural, TNI sulit dilibatkan secara langsung sebagai pemain utama bagi tegaknya demokrasi karena memiliki struktur dan hierarki yang bertopang atas ketundukan mutlak kepada atasan, sementara demokrasi sebaliknya. Ini menunjukkan bahwa ada realitas struktural di dalam tubuh TNI yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam ketundukan yang penuh pada atasan tersebut, dengan sendirinya akan memudahkan terjadinya transformasi kehendak-kehendak pribadi (elite militer) menjadi kehendak lembaga. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kasus, termasuk kasus ketika TNI secara kasat mata "berhadapan" dengan Gus Dur. Bagaimana para elite TNI yang kecewa atas langkah-langkah "destruktif" Gus Dur terhadap lembaga TNI, mendukung secara malu-malu terhadap langkah-langkah "penyingkiran" Gus Dur. Apakah dalam konteks ini Gus Dur akan tetap menyatakan bahwa itu merupakan kepentingan pribadi-pribadi dalam tubuh militer? Dalam fakta sosial, kepentingan-kepentingan pribadi bisa mengkristal menjadi kepentingan kolektif.

Rekonstruksi struktural: "distortion of meaning"
Selama ini kerja-kerja reformasi, baik di lingkungan sipil maupun militer, lebih banyak diarahkan pada rekonstruksi struktur atau sistem. Berbagai undang-undang diciptakan dan beberapa lembaga direstrukturisasi atas nama reformasi. Sementara pada tataran budaya tidak banyak mendapat perhatian bahkan cenderung dibiarkan mengalir begitu saja.
Konsekuensinya, sistem atau struktur yang telah direkonstruksi tidak bisa bergerak dalam frame reformasi karena tidak didukung oleh pijakan nilai yang jelas dan kuat di dalam masyarakat. Tak heran bila terjadi involusi struktural di dalam proses reformasi yang sedang dirayakan oleh bangsa Indonesia. Bahkan, tidak jarang pula memunculkan gejolak-gejolak baru di beberapa wilayah baik yang bersifat horizontal (antara masyarakat) maupun vertikal (antara pusat dan daerah atau antara elite dan rakyat).
Begitu pun yang terjadi di dalam tubuh TNI. Upaya reformasi di dalam tubuh TNI sampai saat ini lebih banyak berkutat pada dua tataran, yaitu pertama, perubahan pada tataran struktural dengan cara merombak atau sekadar "merenovasi" bangunan dari tubuh TNI. Sejak reformasi beberapa langkah struktural sudah dilakukan seperti kebijakan penghapusan lembaga Bakortanas, penghilangan lembaga litsus, atau penghapusan jabatan Kassospol. Langkah perubahan struktural ini dilakukan karena dilandasi oleh suatu keyakinan bahwa perubahan akan banyak ditentukan oleh struktur atau sistem.
Kedua, maksimalisasi ruang gerak politik sipil dengan harapan bisa mempersempit secara rasional dan profesional terhadap ruang gerak politik (will to power) militer. Salah satunya adalah dengan cara mengurangi aktivitas TNI di lembaga-lembaga politik, misalnya di lembaga legislatif. Upaya minimalisasi peran militer ini juga terlihat dari adanya desakan sebagian kalangan agar sipil tidak terlibat dalam konflik yang bisa membuka peluang bagi intervensi militer atau paling tidak memberi kesempatan bagi political bargaining dan repositioning militer vis a vis sipil. Terakhir adalah perdebatan tentang hak memilih dan dipilih bagi anggota TNI/ Polri merupakan rangkaian dari upaya depolitisasi TNI secara struktural.
Rekonstruksi struktural yang berlangsung di tubuh militer-begitu juga di kalangan sipil-selama ini hanya melahirkan kesadaran semu (false consciousness). Ia hanya berhasil mengurangi represifitas penguasa atas rakyat secara kuantitatif, tetapi secara kualitatif mereka masih belum beranjak jauh dari mainstream masa lalunya. Dengan kata lain proses reformasi telah melahirkan kesenjangan antara realitas struktural sebagai true signified dengan makna (kultural) yang terkandung di dalam kesadaran masyarakat. Inilah yang dalam khazanah budaya kontemporer disebut sebagai distortion of meaning.
Perubahan struktural sebagai upaya perwujudan dari cita-cita reformasi tidak berjalin-kelindan dengan nilai-nilai budaya (mental attitude) yang dipijaknya. Perubahan yang berlangsung secara legal-formal tidak mampu menggerakkan perilaku reformis. Mereka hanya bernafsu untuk membangun landasan (konstitusi) reformasi, tetapi tidak pernah terangsang untuk mewujudkannya.
Reformasi hanya berhenti pada kuantitas produk, bukan pada kualitas. Bahkan sebagian orang mencari celah di antara lemahnya penegakan konstitusi itu sendiri. Premanisme politik, money politics, korupsi yang semakin "merakyat" dan pemaksaan kehendak menjadi warna yang mengiringi gerak kehidupan masyarakat sampai saat ini.
Di sinilah involusi budaya berlangsung. Demokrasi yang mengedepankan hak-hak sipil berhasil diwujudkan, tetapi tidak dibarengi oleh kualitas perilaku yang memadai sehingga yang muncul hanyalah sebuah eforia tanpa makna.

Kepeloporan budaya
Realitas di atas semakin memperkuat tesis bahwa persoalan yang mendesak untuk segera diselesaikan adalah rekonstruksi kultural. Salah satu problem kultur dalam tubuh militer adalah pola pandang yang menitikberatkan pada oposisi biner (binary opposition), yaitu pola pandang yang melihat persoalan secara hitam-putih; mengalahkan atau dikalahkan. Pola pandang seperti ini dengan sendirinya menafikan adanya kemungkinan sintesa atau pilihan-pilihan alternatif bagi penyelesaian persoalan yang sangat kompleks. Militer lebih terbiasa menawarkan dua pilihan tertutup yang harus dipilih salah satunya. Ini menjadi fatal karena hadir di tengah keragaman persoalan dan hibrida budaya bangsa. Padahal, militer sendiri merupakan bagian dari a dialectic of power and structure, as a web of possibilities for agents (Steven Lukes, 1977). Ia tidak bisa dipisahkan dari kenyataan politik (struktur) yang saat ini dikendalikan oleh sipil serta rangkaian tata sosial yang tercipta baik saat ini maupun masa lalu (historis), lokal maupun global.
Persoalan budaya dalam tubuh TNI ini tidak bisa diselesaikan secara struktural semata. Ia harus dibarengi oleh transformasi kultural secara holistik dalam seluruh relung kesadaran anak bangsa untuk menempatkan TNI sebagai komponen sosial yang sama. Rekonstruksi budaya menuntut adanya cerminan perilaku dan komitmen TNI sendiri untuk beranjak dari superioritas diri.
Dengan rekonstruksi budaya, diharapkan terjadi perubahan paradigma serta kesadaran di kalangan militer, dan kemudian mengedepankan dialog daripada pendekatan senjata, serta membiasakan diri membongkar akar persoalan daripada menebang pohonnya.
Memang sulit dimungkiri bahwa perubahan pada tataran kultural TNI menuntut tersedianya suprastruktur politik yang mapan. Ia menuntut terciptanya suasana kondusif bagi internalisasi nilai-nilai yang mengacu pada agenda reformasi. Syarat ini tidak hanya menjadi kewajiban TNI semata, tetapi juga pihak sipil. Tetapi sayangnya proses ini sering kali dijadikan titik awal bagi political bargaining antara militer dengan sipil. Kita bisa melihat dengan kasat mata, bagaimana kepentingan-kepentingan politik telah menciptakan sebuah gelanggang bagi ajang pelacuran di antara elite sipil dengan militer untuk kepentingan status quo.
Dalam rekonstruksi budaya juga diperlukan reorientasi di dalam diri militer untuk meletakkan dirinya tidak sekadar sebagai sebuah kekuatan yang establish secara struktural (institusional), tetapi juga sebagai kekuatan yang mampu menyerap dan mengejawantahkan nilai-nilai profesional (occupational military). Nilai minimal dari occupational military ini adalah kesadaran untuk memosisikan dirinya sejajar dengan kekuatan sosial lainnya di dalam sebuah negara bangsa yang memiliki peran secara fungsional.
Pada akhirnya, kesadaran (budaya) politik TNI akan terlihat dari kemampuan reflektif dan responsif TNI dalam menghadapi persoalan kenegaraan. Karena dalam refleksi dan responsi itulah orientasi budaya akan terbaca.
Bagaimana TNI menafsirkan negara dalam keadaan bahaya, bagaimana TNI menawarkan conflict resolution, dan bagaimana TNI menempatkan diri di antara kepentingan kekuasaan dan negara. Jawaban atas pertanyaan ini akan jadi barometer sejauh mana reformasi budaya berlangsung di dalam tubuh TNI.
Hal ini juga terkait dengan kesiapan masyarakat sipil untuk menempatkan dirinya sebagai pelopor demokrasi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Kepeloporan yang dibutuhkan adalah kepeloporan budaya. Karena dalam konteks konstitusi, demokrasi sudah menjadi rohnya.
Roh demokrasi yang terkandung dalam konstitusi tersebut harus dipijakkan di atas ranah kehidupan sehari-hari melalui tubuh budaya. Dengan demikian akan lahir sebuah interaksi politik yang sehat, baik di lingkungan sipil maupun militer. Pembusukan politik (political decay) akan terjadi ketika kehendak-kehendak demokratis tidak lagi mendapatkan tempat yang wajar dalam budaya.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/23/opini/563605.htm

No comments: