Tuesday, February 14, 2006

Opini

Militer Disayang, RUU TNI Digoyang
Kompas, Jumat, 03 September 2004

A Bakir Ihsan

RUU TNI seperti petir di siang bolong yang mengagetkan para pengamat dunia militer. Berturut-turut harian ini mengupas secara panjang lebar dari berbagai narasumber untuk merespons RUU TNI tersebut. Konklusi dari sajian tersebut menganggap bahwa RUU TNI sangat memberi peluang bagi langkah politik praktis TNI. Bahkan sebagian pengamat melihat RUU TNI bisa mengancam proses demokrasi dan upaya penegakan supremasi sipil yang sedang dibangun oleh bangsa Indonesia.
Paling tidak ada dua tulisan menarik di harian ini yang mengupas tentang TNI. Pertama, tulisan Juwono Sudarsono, "Supremasi Sipil dan Peran Politik Militer" (2/8/2004). Kedua, tulisan J Kristiadi, "Masih Sekitar RUU TNI" (6/8/2004). Kedua tulisan ini berangkat dari tema yang sama dengan konklusi yang berbeda.
Juwono lebih menyoroti upaya penegakan supremasi sipil di negara maju dan membandingkannya dengan negara berkembang. Di negara maju, menurut Juwono, supremasi sipil bukan sekadar "dongeng" dan "fantasi", tetapi telah berurat akar dalam budaya masyarakatnya. Sementara di negara berkembang, supremasi sipil masih menjadi dongeng dan fantasi sampai saat ini.
Sementara J Kristiadi dengan melihat kasus RUU TNI lebih menyorot persoalan militer pada sisi legalitas formalistik. Dengan rumusan RUU TNI yang ada saat ini, Kristiadi khawatir munculnya legalisasi langkah politik militer terhadap wilayah politik yang menjadi ranah kekuasaan sipil. Kekhawatiran Kristiadi lebih didasarkan pada pengalaman masa lalu yang telah mengantarkan militer menjadi kekuatan yang mengendalikan seluruh napas kehidupan anak bangsa. Nah, RUU TNI dicurigai bisa melegalkan langkah politik praktis TNI pada masa mendatang.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk mencari keunggulan atau kelemahan dari kedua tulisan tersebut. Namun, ada hal yang sering menjebak kita untuk berpikir secara dikotomi antara persoalan budaya dengan sistem, antara persoalan militer dengan sipil, antara realitas historis dan konteks kekinian. Kita sering memperlihatkan realitas secara diferensial, sehingga perdebatan yang muncul tidak mengarah pada munculnya sinergi sebagai jalan keluar dari persoalan tersebut. Ini semua disebabkan oleh adanya perbedaan penafsiran terhadap realitas sosial-politik, perbedaan paradigma dan tafsir atas sejarah militer itu sendiri.

RUU sebagai cermin
Kritik terhadap RUU TNI yang dilontarkan oleh beberapa kalangan hanya berpijak pada materi, tanpa melihat setting dan latar belakang historis RUU itu sendiri. RUU TNI merupakan sebuah produk yang lahir dari setting sosial-politik yang dirasakan dan dialami oleh militer. RUU TNI-yang dinilai bisa menarik militer pada ranah politik sipil-ini tidak mungkin hadir pada saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkuasa. Dengan daya represi yang dimiliki Gus Dur pada saat itu, militer betul-betul "terpuruk".
Megawati tampaknya memiliki cara lain dalam memosisikan militer. TNI dibiarkan (ditoleransi) merangkai langkah-langkahnya sendiri sesuai dengan pemahaman dan atmosfer yang dirasakannya. Dan, salah satu hasil dari toleransi yang begitu longgar tersebut adalah lahirnya RUU TNI yang mengundang polemik. Toleransi sipil terhadap militer selama ini telah mendorong TNI untuk merapikan posisi dirinya sesuai dengan paradigma yang terbentuk dari realitas sosial-politik saat ini, yang kemudian hendak dilegalkan melalui RUU tersebut.
Kalau mau jujur, keberadaan RUU TNI sebenarnya "merugikan" dan membatasi ruang gerak militer yang selama ini telah mereka rasakan. Tanpa RUU TNI, militer justru merasakan keleluasaan dan toleransi atas langkah-langkah militeristik yang diambilnya. Pemberlakuan darurat militer di Aceh, pembelian perlengkapan senjata dan alat pertahanan, toleransi bisnis militer, dan konsesi-konsesi politik yang dinikmatinya merupakan bukti konkret bagaimana toleransi militeristik diberikan oleh sipil saat ini. Dari sinilah militer merefleksikan pengalamannya dan kehendak-kehendak sampingannya dalam bentuk RUU TNI yang mereka tawarkan saat ini.

Perbedaan paradigma
Selain faktor perlakuan sipil yang begitu toleran terhadap "hasrat" militer, terjadinya kontroversi RUU TNI disebabkan juga oleh perbedaan paradigma dalam melihat relasi sipil dan militer, sehingga semua asumsi dasar dari RUU TNI tersebut menjadi terbantahkan dan dengan sendirinya pasal-pasal yang menyertainya menjadi mentah.
Kelompok yang tidak setuju terhadap RUU TNI berangkat dari paradigma yang melihat TNI-meminjam analisis Morris Janowitz (1977)-sebagai kompetitif-demokratis (democratic-competitive). Mereka melihat TNI sebagai kekuatan yang langkah-langkahnya sepenuhnya ditentukan oleh sipil. Inilah yang mereka pahami sebagai supremasi sipil. Sehingga militer harus betul-betul menjadi kekuatan yang berada di bawah kontrol sipil dengan segala konsekuensinya.
Sementara RUU TNI yang diajukan oleh pemerintah berangkat dari paradigma koalisi sipil-militer (civil-military coalition). RUU TNI menempatkan militer sebagai kekuatan yang memiliki domain yang sejajar dengan sipil, sehingga memungkinkan adanya kerja sama antara sipil dan militer dalam menjalankan roda kenegaraan. Militer mendukung kekuasaan sipil, dan sipil membantu militer dalam menjalankan tugas kemiliterannya.
Perbedaan paradigma tersebut merupakan rangkaian dari perbedaan penafsiran terhadap realitas historis militer. Realitas historis militer melahirkan dua wajah yang diferensial. Satu sisi, sejarah telah menunjukkan keberhasilan kemanunggalan sipil-militer dalam menumpas penjajah dan ancaman terhadap negara kesatuan, dan inilah yang kemudian dijadikan legitimasi historis atas keterlibatan militer dalam politik. Namun, di sisi lain, sipil telah disodori oleh sejarah kelam militer selama Orde Baru. Tampaknya landasan historis yang dipegang oleh mereka yang kontra terhadap RUU TNI adalah sejarah kelam militer pada masa Orde Baru. Sementara militer dengan RUU TNI-nya tetap mengacu pada sejarah primordial mereka atas keberhasilan meraih kemerdekaan republik ini berkat kerja sama (equality) dengan sipil.
Patut kiranya kita menyikapi secara kritis terhadap perkembangan pembahasan RUU TNI agar kita tidak terpuruk dalam luka sejarah yang banyak disebabkan oleh peran TNI dan ketakberdayaan sipil karena ulahnya sendiri. Dan, yang tidak kalah pentingnya lagi dalam proses penegakan supremasi sipil adalah pembentukan sudut pandang TNI tentang supremasi sipil. Perlu adanya penanaman pemahaman dan rekonstruksi kesadaran TNI bahwa mereka hanyalah alat negara yang tunduk atas kekuasaan sipil. Inilah yang oleh Samuel P Huntington disebut sebagai the military mind. Yaitu, sebuah ideologi yang berisi pengakuan militer terhadap supremasi sipil karena adanya kontrol sipil yang obyektif terhadap militer. Sipil secara obyektif harus menempatkan militer sesuai dengan misi tradisionalnya sebagai kekuatan pertahanan, bukan sebagai mitra untuk mempertahankan status quo. Begitu juga militer tidak membiarkan dirinya terseret oleh kepentingan politik penguasa.
Perbedaan tafsir atas sosial-politik, paradigma, dan tafsir historis tersebut merupakan problem kebangsaan yang selama ini berlangsung, khususnya yang terkait dengan peran militer. Dan, hal ini tidak akan pernah berakhir tanpa adanya komitmen dan political will untuk mencari sinergi dan titik temu, khususnya dalam perumusan RUU TNI.
Ironis kiranya apabila kita bersikap kritis terhadap RUU TNI, tetapi di balik itu, masih muncul harapan-harapan koalisi dan pancingan-pancingan yang merangsang TNI untuk bermain di ranah politik.

A Bakir Ihsan Pengamat Militer dan Pengajar Fakultas Ushuluddin dan Ilmu-ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

No comments: