Tuesday, February 14, 2006

Opini

SBY, TNI, dan Konsolidasi Demokrasi
Republika
, Sabtu, 7 Januari 2006

A. Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Belakangan ini masalah TNI kembali mencuat. Hal ini terkait dengan rencana pergantian Panglima TNI yang telah lama dinanti-nanti. Adanya pergulatan wacana menjelang pergantian Panglima TNI ini menunjukkan bahwa sampai saat ini TNI masih menjadi ikon yang strategis bagi ranah politik di negeri ini. Ada beberapa fenomena menarik terkait dengan pergantian Panglima TNI. Pertama, SBY merupakan sosok yang berlatar belakang militer. Ia sangat mengerti peta bumi TNI sehingga dalam penentuan Panglima TNI akan berdasarkan pertimbangan maksimal. Kedua, apresiasi positif yang diberikan oleh negara maju, seperti Amerika, terhadap reformasi TNI akan semakin menaikkan pamor TNI setelah sekian lama terpuruk karena dosa-dosa historisnya. Ketiga, agenda reformasi yang disuarakan oleh berbagai kalangan termasuk TNI akan menjadi pertaruhan bagi Panglima TNI untuk mereformasi diri.
Kalau dilihat secara de jure, disahkannya RUU TNI dan adanya komitmen yang kuat baik dari TNI maupun SBY, untuk bersungguh-sunguh menegakkan reformasi merupakan modal kuat bagi kepentingan konsolidasi demokrasi. Namun harus disadari bahwa UU dan komitmen tersebut tidaklah cukup, karena secara faktual dalam proses kehidupan bernegara, seringkali muncul anasir-anasir tak terduga yang mengubah arah reformasi menjadi realitas tanpa makna dan memaksa terjadinya deviasi dan distorsi terhadap upaya reformasi itu sendiri.
Anasir-anasir tersebut bisa diidentifikasi di antaranya adalah pertama, belum mapannya integritas politik sipil, sehingga peluang negosiasi dan kolusi antara sipil dan militer masih sangat terbuka. Paling tidak perebutan kekuasaan dengan segala cara yang diperlihatkan oleh politisi sipil saat ini memperlihatkan rapuhnya integritas politisi sipil. Kedua, adanya hak pilih bagi militer pada Pemilu 2009 dengan sendirinya akan membuka peluang terjadinya “kolusi” dengan sipil. Ketiga, dalam konstelasi global saat ini, militer menjadi kekuatan yang cukup signifikan di tengah ancaman dunia baik atas nama terorisme atau lainnya. Hal ini memberi peluang bagi militer untuk menyusun strategi secara lebih signifikan atas nama globalisasi. Potensi-potensi tersebut akan teraktualisasi apabila para politisi sipil menyediakan lahan subur yang memungkinkan TNI bermain kembali di ranah politik.

Dua Domain
Di tengah semakin tidak pedulinya masyarakat akan segmentasi sipil-militer, keberhasilan militer untuk mereformasi diri bisa semakin memperkuat eksistensinya dalam konstelasi politik nasional. Apalagi kalau SBY, sebagai ikon militer, berhasil meruntuhkan kekhawatiran-kekhawatiran terhadap latar belakang dirinya sebagai militer yang sering ditengarai akan mengarah pada sikap otoriter dan militeristik.
Bagi SBY, sipil dan militer merupakan dua domain yang berbeda. Pandangan ini membawa konsekuensi pada dua hal. Pertama, bahwa ada wilayah yang menjadi “kekuasaan” sipil dan ada wilayah yang menjadi garapan militer. Satu sama lain berbeda, sehingga tidak boleh saling mengintervensi. Kedua, bahwa ada kesejajaran peran dan posisi (partnership) antara sipil dan militer. Hal ini berbeda dengan pemahaman sebagian pengamat yang meletakkan militer sebagai subordinat sipil.
Dengan memposisikan sipil dan militer sebagai dua domain yang berbeda, maka diperlukan kekuatan yang netral dan mampu menempatkan keduanya secara profesional dalam koridor demokrasi dan reformasi. Di sinilah peran SBY sebagai sosok yang dipilih langsung oleh rakyat sangat menentukan. Sebagai ikon dari puncak kepercayaan masyarakat, SBY menjadi sentral yang akan banyak menentukan terhadap laju tidaknya agenda reformasi dan tegaknya civil society.

Civil Society
Hak pilih yang dimiliki militer pada pemilu 2009 satu sisi bisa memberi peluang bagi proses pembelajaran sekaligus pemerataan hak politik bagi warga negara. Tetapi di sisi lain, ia bisa membuka peluang terjadinya politisasi TNI. Di samping ia bisa menjadi komoditas politik, juga bisa dijadikan lumbung bagi kepentingan mobilisasi.
Namun demikian, kondisi tersebut bisa dieliminir apabila tercipta atmosfir yang mendorong tumbuhnya civil society, yaitu keberdayaan seluruh komponen masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya. Dengan penguatan civil society, maka partisipasi masyarakat dalam pemilu 2009, bukan lagi didorong oleh kepentingan kelompok, tetapi oleh keinginan untuk berkompetisi secara bebas dan berkualitas demi masa depan yang lebih baik.
Dalam konteks relasi sipil dan militer, maka penguatan civil society dan konsolidasi demokrasi bisa terjadi karena beberapa faktor. Pertama, pemantapan visi dan misi yang berpijak pada pluralisme. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri khususnya bagi TNI, karena TNI belum terbiasa dengan pluralisme. Sistem komando telah menyebabkan TNI lebih terinspirasi pada penyeragaman. Mereka lebih terbiasa dengan logika biner (dua pilihan), yaitu lawan atau kawan, hitam atau putih, membunuh atau dibunuh.
Kedua, kemampuan SBY untuk menempatkan dirinya sebagai milik semua anak bangsa, tanpa terjebak pada kelompok tertentu. Dan ini bisa muncul, apabila SBY berhasil mempertahankan konsistensinya untuk membangun relasi partnership antara sipil dan militer, sehingga tercipta ruang partisipasi dan kontribusi masyarakat secara luas dan merata yang bermuara pada terciptanya civil society.
Ketiga, adanya politisi sipil yang berjiwa negarawan yang betul-betul berorientasi pada nilai-nilai kerakyatan dan mengabdikan dirinya untuk rakyat. Bentuk paling sederhana dari pengabdian tersebut adalah dengan meminimalisir tindak penyimpangan dan penyelewengan terhadap amanah rakyat yang diembannya, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Apabila ketiga agenda di atas bisa diaktualisasikan, maka pergantian Panglima TNI akan menjadi reguler dan berkelanjutan tanpa harus memeras wacana yang tidak perlu. Lebih dari itu, proses pergantian Panglima TNI bisa menjadi cerminan dari proses konsolidasi demokrasi yang semakin matang.*

No comments: