Tuesday, February 14, 2006

Opini

Pemerintah Tak Pernah Kalah
Catatan Pasca MoU RI-GAM
Republika, 1 Oktober 2005

A. Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ushuluddin & Filsafat, UIN Jakarta

Tulisan ini bukan hendak mengungkit luka yang mulai terobati oleh nota kesepahaman yang ditandatangani pemerintah RI dan GAM di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus lalu. Penulis terusik oleh komentar beberapa pakar dan tokoh yang melihat perjanjian Helsinki sebagai bentuk konkret kekalahan pemerintah dari GAM yang selama ini menjadi pemberontak. Soetardjo Soerjogoeritno, Wakil Ketua DPR RI, misalnya mengatakan bahwa kewenangan Aceh untuk menentukan tingkat suku bunga yang berbeda dengan BI berarti pemerintah mengakui adanya negara dalam negara. Begitu juga Agung Laksono, Ketua DPR RI, menilai adanya hak penggunaan simbol-simbol termasuk bendera bagi Aceh, sebagai sesuatu “di luar konteks NKRI.” Terakhir mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid menganggap perundingan RI-GAM sebagai suatu yang tidak terhormat yang berpotensi membahayakan keutuhan NKRI. Bahkan belakangan Forum Perjuangan Pelurusan UUD 1945 yang diusung oleh Ali Sadikin, Abdul Madjid, dkk, secara gigih, dengan mengirim surat kepada Presiden SBY yang ditembuskan ke lembaga tinggi negara lainnya, menyatakan menolak dan menganggap MoU RI-GAM batal demi hukum.
Banyak pula yang menilai hasil perundingan RI-GAM sebagai metamorfose sistem federalisme, sebuah konsep yang ditolak mentah-mentah karena dianggap bertentangan dengan NKRI. Atas nama NKRI, federalisme ditasbih sebagai anak haram yang harus dieliminasi dari ranah republik ini. Komentar-komentar terhadap nota kesepahaman RI-GAM di atas didasarkan pada klausul-klausul yang memberi wewenang sangat luas bagi rakyat Aceh yang tidak dimiliki oleh rakyat di wilayah lainnya.

State Vs Civil Society
MoU Helsinki memperlihatkan adanya dua kekuatan yang saling berseteru, yaitu antara pemerintah dengan GAM yang notabene berada dalam wilayah kedaulatan Indonesia. Dengan kata lain, pemerintah sedang berhadapan dengan rakyatnya sendiri bagi penyelesaian masalah yang tak kunjung usai. Oleh sebab itu, tuduhan bahwa kewenangan dan fasilitas yang diberikan pemerintah terhadap Aceh dan GAM sebagai bentuk kekalahan diplomasi pemerintah dengan sendirinya tidak beralasan dan terbantahkan.
Dalam konteks negara bangsa (nation state) sudah seharusnya pemerintah memperhatikan dan memberikan kewenangan terhadap setiap warganya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki demi kepentingan bersama. Pemerintah hanya fasilitator yang bertanggung jawab untuk memanage sirkulasi kehidupan masyarakat yang plural. Kedaulatan sepenuhnya tetap pada rakyat. Sistem pemilihan langsung baik pada pemilu maupun Pilkada sesungguhya merupakan pintu masuk bagi pemberdayaan civil society. Persoalannya kemudian sejauhmana kewenangan dan fasilitas yang harus diterima oleh warga negara?
Pertanyaan ini menjadi penting karena dalam realitasnya, kekayaan alam, pendapatan daerah, dan kualitas sumberdaya manusia di negeri ini sangatlah beragam dan berbeda-beda, sehingga kalau dibiarkan akan terjadi kesenjangan dan kecemburuan antar wilayah. Lebih dari itu, nota kesepahaman RI-GAM sedikit banyak akan menyadarkan daerah lain untuk mendapatkan hak yang sama sebagai bagian dari republik ini. Di sinilah peran negara menjadi signifikan dalam upaya penataan kehidupan yang harmonis dan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh warga negara tanpa membedakan wilayah.
Dalam klausul MoU Helsinki disebutkan beberapa point penting, khususnya menyangkut hak politik dan ekonomi Aceh. Secara politik keberadaan partai lokal sudah tidak dapat ditolak lagi dan merupakan kehendak demokrasi. Pelaksanaan Pilkada secara langsung yang tidak banyak menimbulkan masalah sesungguhnya dapat menjadi acuan bagi pembentukan partai lokal. Bahkan dalam konteks yang lebih kecil, sudah sejak lama pemilihan kepala desa memakai bendera sendiri-sendiri, tanpa terkait dengan partai-partai nasional. Oleh sebab itu, dengan MoU tersebut Aceh dapat menjadi monumen berdirinya partai-partai lokal setelah terpendam sejak diberlakukannya demokrasi terpimpin pada masa Orde Lama sampai saat ini.
Secara ekonomi, Aceh berhak menguasai 70 persen dari hasil semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan yang akan datang. Konsesi-konsesi politik dan ekonomi tersebut sebetulnya tidak terlalu krusial apabila diletakkan dalam konteks pemberdayaan potensi-potensi daerah yang selama ini tersedot ke pusat.
Langkah yang tergolong istimewa dibandingkan dengan daerah lainnya ini, kiranya dapat menjadi renungan bagi pemerintah dan elit politik, bahwa sesungguhnya pemberdayaan lokal jauh lebih penting dan lebih realistis bagi kepentingan tegaknya negara kesatuan daripada doktrinasi tentang nasionalisme apalagi melalui pendekatan senjata.
Penghargaan terhadap potensi-potensi lokal sudah waktunya dimulai tidak hanya dalam konteks politik seperti melalui Pilkada langsung, atau ekonomi melalui pembagian keuangan pusat dan daerah, maupun hukum melalui pelimpahan kewenangan terhadap lembaga hukum daerah. Tetapi lebih dari itu, penghargaan terhadap realitas lokal lainnya yang selama ini terabaikan, termasuk khazanah sosial budaya yang sungguh sangat beragam dan cenderung mati di tengah nafsu homogenisasi politik yang terbangun di antara elit politik.
Namun yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa kesediaan pemerintah untuk memberdayakan potensi-potensi lokal tersebut tidak harus menunggu hadirnya para pemberontak atau separatis seperti yang ditunjukkan oleh GAM dengan korban darah dan nyawa. Hal ini menjadi penting karena masih terdapat beberapa daerah seperti Papua dan Maluku yang mulai bergolak menuntut perhatian lebih dari pemerintah. Pemerintah sudah waktunya mengedepankan kearifan lokal daripada kehendak untuk menunjukkan hegemoni seperti yang dipertontonkan oleh elit politik demi kekuasaannya di tingkat daerah.
Kearifan tidak memerlukan darah dan air mata seperti yang terjadi di Aceh, Papua, Maluku, maupun daerah lainnya untuk menuntun warga negara ke dalam pangkuan NKRI. Justru kearifan menawarkan kesadaran baru tentang pentingnya hidup bersama dalam kedamaian. Dan ini bisa tumbuh ketika negara “membiarkan” warganya untuk berkreasi dan mengembangkan potensi daerahnya serta dapat menikmati hak-haknya. Tinggal bagaimana negara mengelola dan memfasilitasinya demi kepentingan bersama. Sekali lagi pemerintah tidak pernah kalah dalam rangka memberikan kedaulatan dan kewenangan pada rakyatnya untuk mengelola wilayahnya. Justru martabat kebangsaan tercabik ketika pemerintah memaksakan kehendaknya untuk kepentingan kekuasaannya.*

No comments: