Tuesday, February 14, 2006

Opini

Militer antara Kegamangan Budaya dan Kekuasaan
Kompas, Jumat, 12 Januari 2001

A Bakir Ihsan

REPOSISI dan reformasi TNI merupakan agenda yang sangat kompleks. Ini tidak lepas dari sejarah panjang yang dilalui oleh TNI dari sebagai anak buah bangsa menjadi anak buah penguasa. Inilah otokritik yang dilontarkan Saurip Kadi dalam tulisannya di harian ini 6 Desember 2000. Wacana yang diproduksi oleh Saurip sebagai seorang jenderal aktif sungguh menarik di tengah kegamangan reformasi di dalam tubuh TNI saat ini.
Selama ini kritik terhadap reposisi dan reformasi di dalam tubuh militer lebih ditujukan pada persoalan struktural (sistem) yang dikendalikan oleh kekuasaan. Militer selalu diletakkan sebagai kuda troya penguasa. Ketika militer disingkirkan dari lingkaran kekuasaan, maka militer menumpahkan hasrat dan kepentingannya dalam wilayah politik sipil. Kritik tersebut seakan menjadi absah apabila dikaitkan dengan dominasi militer selama hampir 32 tahun. Namun demikian, kritik tersebut telah mengabaikan esensi dan substansi dari gerak dan perilaku militer. Jarang dikupas mengupas kemungkinan rekonstruksi internal militer menyangkut nilai-nilai dasar (Sapta Marga) yang diserap oleh para prajurit seperti yang dilontarkan Saurip.
Perlu ditelaah lebih jauh beberapa kemungkinan yang bisa dilakukan untuk mendorong gerbong reformasi yang sedang dirancang oleh bangsa Indonesia, khususnya menyangkut TNI. Hal ini menjadi penting untuk diperbincangkan, karena persoalan yang berkaitan dengan militer tidak hanya terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Di negara maju sekalipun relasi sipil-militer tetap menjadi problem laten yang mengguncang labilitas hubungan di antara keduanya.

Persoalan laten sipil-militer
Persoalan laten relasi sipil-militer tidak lepas dari kegamangan militer menghadapi perubahan yang begitu cepat. Penyelesaian berbagai konflik di belahan dunia tidak lagi mengandalkan pendekatan represif dan militeristik.
Secara de facto persoalan tersebut muncul bersamaan dengan berakhirnya Perang Dingin. Berakhirnya Perang Dingin merupakan momentum bagi runtuhnya perseturuan sejarah kekerasan dengan senjata antara blok komunis (Uni Soviet) dengan blok kapitalis (Amerika). Konsekuensinya militer di negara yang tergabung dalam kedua blok tersebut menjadi pengangguran. "Pemanjaan" dan peran yang mereka terima selama Perang Dingin, otomatis terkurangi. Di sinilah militer di negara-negara maju mulai mencari peluang peran baru bagi eksistensi dirinya.
Kenyataan ini menjadi agenda tersendiri bagi pemerintahan sipil di negara maju. Bahkan ada kecenderungan pengalihan peran primordial militer, sebagai kekuatan perang melawan musuh dari luar, kepada persoalan internal negara.
Dalam kondisi masyarakat yang sudah mapan, peran politik militer masih dalam koridor yang bisa dimaklumi, karena eksistensi sipil begitu kuat. Hal ini berbeda dengan negara yang sedang bertransisi menuju demokrasi, seperti Indonesia. Di Indonesia militer masih memiliki kemungkinan bermain di luar lingkup konstitusi yang telah disepakati. Kemungkinan ini bisa terjadi karena sipil belum menentukan dan menunjukkan pijakan yang kokoh bagi eksistensi dirinya dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kenyataan di atas menunjukkan adanya persoalan laten dalam relasi sipil-militer. Intervensi di antara keduanya tetap menjadi sebuah keniscayaan di atas panggung politik negara-bangsa. Oleh sebab itu, dalam rangka mendorong reposisi dan reformasi di dalam tubuh TNI, persoalannya bukan hanya bagaimana merekonstruksi dan mengaktualisasikan (revitalisasi) doktrin militer seperti yang ditawarkan Saurip, atau sebaliknya merekonstruksi posisi sipil yang selama 32 tahun tersubordinasi di bawah dominasi militer. Ada benang merah yang sulit dilepaskan dari berbagai faktor yang berlangsung baik pada tingkat lokal (nasional) maupun global (internasional) yang berpengaruh terhadap usaha reposisi dan reformasi di tubuh militer.

Kegamangan kultural
Usaha untuk meletakkan TNI tidak sekadar sebagai bagian dari sistem mekanistik, tetapi lebih sebagai sistem nilai atau seperangkat tata nilai seperti yang dilontarkan Saurip layak diapresiasi. Sapta Marga, sebagai aspek moralitas ksatria, harus disejajarkan dengan kemampuan fisik para prajurit.
Sebagai platform utama nilai-nilai yang diinternalisir oleh TNI, Sapta Marga bagi prajurit layaknya sebuah ideologi. Namun sayangnya, sebagai sebuah ideologi, ia mengalami sakralisasi dan eksklusivitas yang menyebabkan lahirnya sebuah jarak antara nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi dengan realitas sehari-hari. Ideologi hanya bisa dipahami dan ditafsirkan oleh penguasa.
Dalam proses penafsiran seperti ini secara otomatis akan terkandung bias kekuasaan. Ia menjadi sebuah kultus yang eksklusif dan diyakini, bukan dipahami, secara ekstrem. Wacana yang berkembang pun adalah wacana yang di dalamnya terkandung jaring-jaring kekuasaan yang sentralistik. Konsekuensinya ia tidak terefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Ada jarak antara prinsip moral yang mulia dengan perilaku sehari-hari. Di sinilah kegamangan budaya berlangsung di kalangan militer. Nilai-nilai luhur bergantung di kepala, sementara tangan dan kakinya sering kali tidak mencerminkan hal itu. Proses yang sama terjadi pada Pancasila. Ia menjadi paradigma nilai yang tercampakkan oleh arogansi kekuasaan.
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa militer bukanlah realitas yang bebas nilai dan hadir di ruang hampa. Ia lahir dari sejarah dan berperan sesuai dengan tuntutan sejarah. Ketika Orde Baru berkuasa militer hadir dengan agenda politik yang begitu dominan, karena ia merasa paling bertanggung jawab terhadap kelangsungan negara di tengah carut marut kekuasaan sipil selama masa Orde Lama.
Sejarah Orde Baru adalah sejarah militer. Wacana historis yang berkembang selama Orde Baru harus sejalan dengan misi yang dikehendaki oleh militer. Sejarah Malari, Tanjung Priok, Kasus 27 Juli, dan penculikan adalah sejarah militer. Realitas ini menunjukkan bahwa pertama, militer bukanlah realitas yang bebas nilai. Ia memiliki hasrat dan kepentingan untuk mempertahankan eksistensinya. Kedua, kepentingan tersebut mengharuskan militer melakukan interaksi dengan kelompok sipil atau meminjam istilah Martin Edmonds (1988) sebuah interaksi antara militer dengan berbagai lapisan sosial (interactions between the armed forces (as institutions) and sectors of the society in which they are embedded). Pada titik inilah akan muncul banyak kemungkinan model hubungan di antara keduanya.
Menurut Morris Janowitz dalam bukunya Military Institutions and Coercion in the Developing Nations (1977) ada lima model hubungan sipil-militer di negara berkembang. Pertama, kontrol personal otoriter (authoritarian-personal control). Dalam sistem ini militer berada di bawah kendali seorang pemimpin sipil. Keberadaan militer tidak lebih hanya sebagai tanda kedaulatan yang dikeluarkan dari politik domestik. Kedua, partai massa otoriter (authoritarian-mass party). Model ini menempatkan sipil sebagai imbangan yang cukup kuat terhadap militer yang masih kecil dan belum berekspansi. Ketiga, kompetisi-demokratis (democratic-competitive). Dalam sistem ini sipil membatasi (menentukan) langkah-langkah militer. Ada supremasi sipil terhadap militer. Keempat, koalisi sipil-militer (civil-military coalition). Ada kerja sama antara sipil dan militer dalam menjalankan roda kenegaraan. Militer mendukung terhadap kekuasaan sipil, dan sipil membantu militer dalam menjalankan tugas kemiliterannya. Kelima, oligarki militer (military oligarchy). Dalam sistem ini militer menjadi pengendali kekuasaan yang merepresi terhadap keberadaan sipil.
Janowitz memasukkan hubungan sipil-militer di Indonesia dalam model yang keempat, yaitu koalisi antara sipil dan militer. Pada awal kemerdekaan dan pasca G-30-S/PKI, asumsi Janowitz memang benar bahwa ada koalisi sipil-militer. Tetapi, dalam perkembangannya militer lebih dominan dan berhasil menciptakan sebuah hegemoni baik pada tataran wacana (teori) maupun praktik. Realitas tersebut juga menunjukkan bahwa hubungan sipil-militer di Indonesia tidak berlangsung linear. Ia mengalami pasang surut dan labilitas hubungan.
Hal ini memperkuat asumsi di atas, bahwa militer bukanlah realitas statis dan homogen. Militer tetap memiliki sensitivitasnya khususnya menyangkut kepentingan eksistensinya. Oleh sebab itu, militer tidak akan membiarkan terhadap perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Militer bukanlah realitas statis yang hanya digerakkan oleh spirit dogma-dogma normatif yang kemudian merefleksikan perilaku, seperti yang diasumsikan oleh kelompok modernis atau sebagai realitas statis yang sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungannya, seperti diasumsikan oleh kelompok behavioralis. Di sisi lain, militer bukanlah realitas yang bisa menempatkan dirinya sebagai kekuatan tunggal yang mengendalikan seluruh sendi kehidupan rakyat sipil sebagaimana dipersepsikan oleh teori korporatisme negara. Militer tetap membutuhkan partner (sipil) dalam menjalankan tugasnya dengan tingkat eksistensi yang setara.
Pendekatan holistik
Dengan berpijak pada kenyataan tersebut, maka dalam rangka mereposisi dan mereformasi militer (TNI) dibutuhkan beberapa jalan keluar (pendekatan) yang merupakan rangkaian tak terpisahkan (holistik).
Pertama, dari sisi kultural, diperlukan sebuah rekonstruksi terhadap internalisasi nilai-nilai yang selama ini menjadi doktrin yang menyimpang yang diserap oleh TNI. Misalnya tentang perang semesta yang telah menyebabkan militer selalu memposisikan negara selalu berada dalam bahaya. Hal ini menjadi legitimasi TNI untuk terlibat secara intensif dalam seluruh persoalan bangsa.
Bahkan Peter Britton (1996) mencatat bahwa nilai-nilai yang diajarkan dalam dunia TNI adalah nilai-nilai kejawen yang tidak berakar secara universal bagi bangsa Indonesia. Jawanisasi berlangsung di dalam tubuh militer. TNI, dalam hal ini Angkatan Darat, memposisikan dirinya sebagai lembaga yang lebih tinggi dari lembaga lainnya, dan para perwiranya merupakan perwujudan dari moralitas yang agung. Di sinilah perlu sebuah rekonstruksi terhadap paradigma TNI dan lebih lagi perlu sebuah kesadaran untuk melakukan otokritik.
Kedua, political will dari pemerintah untuk menempatkan militer sebagai mitra sejajar yang fungsional dan profesional. Pemerintah tidak bisa menjadikan militer sebagai kekuatan yang dikendalikan, sehingga mudah dijadikan kuda troya kekuasaan, seperti yang terjadi pada Orde Baru. Atau sebaliknya militer dibiarkan membangun kembali hegemoninya dan mengoyak-ngoyak wilayah sipil. Sampai saat ini militer belum bisa melepaskan diri secara total untuk tidak bermain mata dengan penguasa atau melepaskan sepenuhnya dari jaring-jaring kekuasaan.
Ketiga, adanya kesamaan pandangan masyarakat sipil terhadap usaha reposisi militer. Sipil harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses tersebut dengan mencoba menciptakan profesionalisme dalam kerja kenegaraan. Yang terjadi sampai saat ini adalah adanya perbedaan pandangan di kalangan politisi sipil untuk memposisikan militer secara profesional. Ada kegamangan di kalangan sipil dalam menyikapi peran militer. Satu kelompok menginginkan militer betul-betul menunjukkan dirinya sebagai tentara profesional, tetapi di sisi lain ada kelompok yang menginginkan militer tetap dalam fungsinya saat ini sebagai kekuatan dwifungsi. Tarik menarik di kalangan sipil ini telah menyebabkan usaha reposisi di dalam tubuh militer menjadi involutif.
Keempat, pada tingkat global, perubahan peran militer terkait dengan perubahan yang terjadi di pentas internasional. Ketertarikan militer untuk menentang kebijakan sipil, seperti yang terjadi di Amerika juga akan berpengaruh terhadap konstelasi politik militer di Indonesia. Embargo kerja sama di dalam bidang militer yang diberlakukan Amerika terhadap Indonesia juga akan ikut mempengaruhi terhadap peran militer di Indonesia. Untuk itu, perlu adanya antisipasi terhadap kemungkinan berlangsungnya reposisi dan langkah yang akan dimainkan oleh militer dalam konstelasi politik nasional. Pada intinya TNI saat ini berada dalam dunia yang gamang dan anomalis. Keberadaannya sebagai kekuatan yang strategis dan profesional masih sebatas bayang-bayang, sementara eksistensinya sebagai alat kekerasan negara belum juga beranjak. Ia masih berada di antara dua pilihan peran antara abdi penguasa dengan abdi bangsa.

* A Bakir Ihsan, pemerhati masalah sosial politik keamanan.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0101/12/opini/mili04.htm

No comments: