Thursday, May 14, 2009



Opini

Ambiguitas Partai Islam
Koran Tempo, Kamis, 14 Mei 2009

A. Bakir Ihsan

Problem laten partai Islam di Indonesia adalah minimnya perolehan suara di tengah Islam sebagai agama mayoritas. Data mutakhir dari penghitungan manual KPU untuk pemilu legislatif lalu perolehan suara partai berasas/berbasis Islam tidak ada yang masuk tiga besar. Bahkan 5 partai lainnya; PBB, PBR, PKNU, PPNUI, dan PMB, tak mampu memenuhi batas minimal parliamentary treshold. Fakta ini sering menjadi tanda tanya karena adanya asumsi korelasi antara keberagamaan dengan pilihan politik. Eksistensi partai Islam diyakini sebagai muara seluruh suara umat Islam.

Dan asumsi inilah yang merawat imajinasi elite politik muslim untuk mempertahankan partai Islam di tengah realitas perolehan suara yang tak pernah menggembirakan. Waham mayoritarianisme Islam masih begitu kuat, sehingga melalaikan fakta politik muslim yang mengalami transformasi orientasi. Ini sekaligus membantah tesis para pengamat muslim yang menganggap tingkat partisipasi muslim cenderung kuat apabila terkait dengan Islam. Sebagaimana dalam beberapa survei, pilihan politik umat Islam tidak sepenuhnya berdasarkan ikatan emosional keagamaan. Bahkan kecenderungan tersebut terus menurun seiring menguatnya kesadaran (orientasi) sekularistik di kalangan umat Islam yang merelatifkan relasi Islam dan politik.

Kenyataan tersebut merupakan efek domino dari perdebatan panjang relasi Islam dan politik yang sedikit banyak memberi pilihan-pilihan paradigmatik alternatif di kalangan umat Islam. Lebih-lebih hal tersebut diinstitusionalisasi oleh orde baru dalam bentuk depolitisasi (deideologisasi) Islam. Karena itu, era reformasi menjadi masa tuai deideologisasi Islam yang merelatifkan Islam politik. Wajar bila mayoritas warga Muslim pasca orde baru tak merasa “asing” dengan Pancasila, konstitusi, dan demokrasi.

Ranah ambiguitas
Problem partai Islam sebenarnya merupakan bagian dari problem besar sistem kepartaian kita terkait pola rekrutmen, kaderisasi, dan platform yang kabur. Di dalam diri partai Islam terdapat cermin retak (ambiguitas) dalam tiga ranah. Pertama, ranah ideologi. Partai berasas Islam sejatinya memiliki kekhasan platform yang diperjuangkan dan disosialisasikan secara konsisten. Kekhasan platform tersebut terimplementasi dalam program dan agenda partai yang “menguntungkan” bagi kepentingan umat Islam. Namun yang terjadi, partai Islam setali tiga uang dengan partai sekuler. Akibatnya agenda-agenda yang ditawarkan mengaburkan identitasnya sebagai partainya umat Islam.

Kedua, ranah teologi. Islam yang diyakini sebagai pemersatu tak mampu diwujudkan oleh partai Islam. Kuatnya kepentingan kelompok lebih mengemuka dibandingkan mempersandingkan kesatuan ideologis sebagai manifestasi dari misi teologis yang mengedepankan kesatuan (tauhid). Alih-alih membangun koalisi (poros Islam), partai politik Islam berjalan sendiri-sendiri dan melepaskan identintas asas kepartaiannya demi pilihan pragmatis politisnya. Wajar apabila partai Islam lebih memilih mendorong SBY dan berkoalisi dengan Partai Demokrat daripada mengajukan capresnya sendiri. Padahal secara kalkulasi suara, mereka punya peluang mengajukan calon sendiri apabila mau bersama.

Ketiga, ranah kultural. Ideologisasi Islam merupakan wajah lain dari homogenisasi kultural. Dalam masyarakat majemuk secara budaya, nilai, dan pemahaman homogenisasi tersebut merupakan problem besar. Ragam pemahaman keagamaan internal umat Islam tidak bisa diseragamkan. Apalagi menyangkut keragaman agama. Polarisasi pemahaman Islam tidak jarang teraktualisasi dalam kontradisi-kontradiksi yang bila ditarik pada ranah politik bisa meruncing menjadi konflik horisontal.

Melihat ketiga problem tersebut, eksistensi partai politik Islam saat ini tak lebih simbolisasi (formlisasi) Islam tanpa akar. Keberadaannya hanya melanjutkan imajinasi keislaman yang diyakini serba mencakup (kaffah) tanpa konstruksi yang pasti bagi aspirasi umat Islam. Dan bila ini dipertahankan tak akan banyak merevitalisasi eksistensi partai Islam kecuali sekadar untuk hidup secara subsisten.

Dua pilihan
Kecenderungan longgarnya ikatan warga terhadap partai politik menunjukkan modal sosial parpol yang semakin lemah. Dari hasil survei (LSI, 2006), hanya 13 persen yang mengaku merasa dekat dengan parpol sekuler. Dan masing-masing hanya 5 persen yang mengaku dekat dengan parpol berbasis ormas Islam atau berplatform Islam. Fakta ini sejatinya mendorong langkah reformulasi parpol agar terbangun ikatan warga yang kuat terhadap parpolnya.

Dalam konteks ini, ada dua pilihan bagi partai berasaskan Islam. Pertama, memperkuat segmentasi corak keberagamaan. Penguatan segmentasi ini terkait dengan optimalisasi kaderisasi melalui komunikasi, agregasi, dan artikulasi partai Islam terhadap aspirasi umat Islam. Keberhasilan Partai Keadilan Sejahtera menaikkan perolehan suara dari 7,20% atau 8,18% kursi pada 2004 menjadi 7,88% suara atau 10,54% kursi pada 2009 sedikit banyak dipengaruhi oleh segmentasi melalui kaderisasi yang intensif. Sesama partai Islam, PKS menjadi paling fenomenal karena mampu menaikkan suaranya di tengah partai Islam lainnya menurun.

Kedua, meleburkan diri menjadi partai terbuka tanpa basis massa yang segmented. Ia harus melepaskan secara total identitas keberagamaannya sehingga identifikasi partai Islam tidak menjadi pembatas bagi warga lain untuk mendukungnya. Hal ini tampaknya yang hendak dilakukan PAN dengan membuka komunikasi dan rekrutmen lintas ormas dan profesi. Namun langkah ini akan efektif apabila diiringi terobosan-terobosan apresiatif dan respon konstruktif terhadap isu-isu yang muncul di tengah masyarakat. Dan hal ini belum dilakukan PAN.

Kedua pilihan tersebut tentu mengandung kekurangan dan kelebihannya. Pilihan pertama akan melahirkan partai dengan kader yang solid, namun dengan massa “terbatas”. Sebaliknya pilihan kedua akan memunculkan partai terbuka dengan kemungkinan banyak massa tapi sangat longgar, seperti yang dialami oleh Golkar dan PDIP. Namun sebagai upaya penguatan sistem kepartaian, pilihan-pilihan tersebut harus diambil dengan pertimbangan yang matang, bukan pertimbangan pragmatis yang justru mengaburkan identitas kepartaian.

Dalam konteks yang lebih luas, kedua pilihan tersebut dapat mengerucut menjadi dua kubu koalisi dalam sistem kepartaian kita ke depan. Sehingga tak perlu politik zigzag akibat pragmatisme seperti yang kita saksikan saat ini. Semoga.*

Tuesday, May 05, 2009


Opini

Merawat Pemilu Kita
Seputar Indonesia, Selasa, 5 Mei 2009

A. Bakir Ihsan

Sehari pasca hari pencontrengan 9 April lalu gugatan terhadap kecurangan pemilu begitu menggema. Bahkan gugatan itu begitu dramatis dan cenderung bombastis. Dramatis karena pernyataan tersebut telah menyedot perhatian banyak kalangan. Tak kurang Presiden SBY meresponnya sebagai gugatan (pernyataan) yang menyakitkan.

Bombastis karena sampai saat ini indikator terburuk itu belum bisa dibuktikan secara hukum. Pemantik wacana itu adalah Kelompok Teuku Umar yang dimotori PDIP, Hanura, dan Gerindra.

Ada implikasi yang begitu menghujam dari pernyataan tersebut. Pertama, penilaian pemilu 2009 sebagai pemilu terburuk secara tak langsung mengabaikan tetesan keringat rakyat yang mendatangi 500 ribuan lebih TPS di seluruh Indonesia. Dan 100 jutaan lebih pemilih yang menggunakan hak pilihnya seakan menjadi tak bermakna.

Kedua, pada level tertentu pernyataan tersebut memprovokasi pemilu yang berlangsung damai menjadi gaduh. Fenomenanya terlihat dari munculnya tindakan-tindakan intimidatif oleh beberapa oknum caleg dan tim sukses sebagai ekspresi ketidakpuasan atas hasil yang didapatkan.

Tak menutup kemungkinan intimidasi tersebut terlegitimasi oleh pernyataan pemilu terburuk itu. Tuntutan beberapa kelompok untuk menganulir pemilu bahkan memboikot pemilu presiden mendatang merupakan implikasi lebih jauh dari pernyataan tersebut.

Seburuk itukah pemilu 9 April lalu sehingga melahirkan efek domino yang sejatinya tak perlu? Pertanyaan ini penting untuk melihat secara jernih dan komprehensif problem yang melanda pemilu ketiga di era reformasi ini.

Sudut pandang yang diperlukan bukan sekadar kemampuan mengkalkulasi pelanggaran, juga kecerdasan mengungkap potensi-potensi yang menyebabkan pelanggaran itu ada. Pemilu tak hanya dilihat pada aspek kuantifikasi jumlah pemilih dan segala pelanggarannya. Ia terkait motivasi yang melandasi kehendak untuk berpartisipasi. Ini perlu dilihat karena pemilu sebagai perangkat demokrasi melibatkan kepercayaan antar sesama warga (interpersonal trust).

Kepercayaan ini terekpresikan dalam bentuk dukungan dan koreksi secara kolektif untuk mencari penyelesaian terbaik. Dari sini akan terjawab apakah pemilu terburuk itu akibat problem teknis atau bahkan rekayasa sistematis (problem struktural), sebagaimana dituduhkan, atau sebuah kemestian akibat problem kultural masyarakat dalam memandang (bepersepsi atas) pemilu.

Hegemoni negara
Tuduhan kecurangan pemilu secara sistematis yang menyebabkan puluhan juta rakyat kehilangan hak pilihnya mengarah pada adanya intervensi dan rekayasa pemerintah (negara). Tuduhan ini seakan mendapatkan pembenarannya dengan kemenangan 300 kali lipat Partai Demokrat sebagai partai utama pemerintah.

Tuduhan ini secara eksplisit menempatkan pemerintah sebagai kekuatan eksesif dan hegemonik. Pemerintah dengan semua kaki tangannya bekerja secara sistematis dan membuat yang lain (the others) tak berdaya.

Ini mengingatkan kembali pada negara orde baru yang ditopang oleh sistem kepartaian tunggal (single majority) yang dimainkan Golkar saat itu. Dengan didukung oleh kekuasaan otoritarianisme birokratik, bureaucratic-authoritarian state, (Guillermo O’Donnell, 1973), Golkar bisa menang sebelum pemilu dilangsungkan.

Namun dalam sistem multi partai dan dalam sistem yang semakin terbuka serta kontrol masyarakat yang semakin kuat, ruang hegemoni negara semakin sempit. Lebih-lebih dalam pemerintahan yang dibangun berdasarkan koalisi banyak partai seperti saat ini.

Kalaupun mereka sepakat untuk melakukan rekayasa, maka sejatinya semua partai koalisi pemerintah mendapatkan suara signifikan. Namun pada kenyataannya tak demikian. Hanya Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang mengalami kenaikan suara, selebihnya justru mengalami penurunan.

Apalagi melihat proses penyusunan DPT melibatkan pemerintah daerah. Maka sejatinya partai yang punya banyak kader (kepala) daerah lah, seperti PDIP dan Golkar, yang punya banyak peluang mengontrol dan memenangkan partainya dengan beragam cara.

Namun kedua partai tersebut justru mengalami penurunan. Pada titik ini wacana kecurangan pemilu menjadi simulakra yang mengaburkan subyek dan obyek, penuduh dan tertuduh, pelaku dan korban. Karena itu, wajar bila Presiden SBY merasa terzalimi ketika PDIP, Hanura, dan Gerindera mengarahkan karut marut dan kecurangan pemilu pada pemerintah dan KPU.

Di sinilah pentingnya pembuktian pelanggaran pemilu melalui prosedur legal yang tersedia agar terlihat jelas batas-batas antara intervensi dan kemestian keterlibatan negara dalam pemilu. Bila tidak, maka masalah pelanggaran dan kecurangan tak lebih wacana politis yang dapat mengabaikan substansi persoalan pemilu itu sendiri.

Kekitaan
Wacana pemilu terburuk dan gugatan pelanggaran itu, kini, nyaris tak terdengar seiring kesibukan partai berkoalisi. Komitmen dan konsistensi mengawal hak-hak suara warga dalam pemilu seakan menjadi angin lalu.

Karenanya wacana pemilu terburuk bisa dipersepsi sekadar komoditas politik. Padahal sebagai bagian dari pilar demokrasi, masalah pelanggaran dalam pemilu harus diselesaikan bila memang dapat dibuktikan. Tidak saja pada aspek pelanggaran hukum, tapi substansi dari pelanggaran itu sendiri akan menentukan kualitas pemilu.

Karena itu, ada dua agenda mendesak bagi berlangsungnya pemilu yang berkualitas. Pertama, untuk jangka pendek, upaya minimalisasi pelanggaran dan kecurangan harus dilakukan dengan penegakan mekanisme sesuai undang-undang.

Penegakan ini tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, juga konsistensi partai politik untuk mengawal pemilu sebagai agenda bersama demi bangsa. Bukan agenda kelompok atau sekumpulan partai untuk meraih kepentingannya.

Kedua, dalam jangka panjang perlu membongkar akar (substansi) pelanggaran yang cenderung menjadi laten dan seakan menjadi keniscayaan sejarah (historical inevitability) pemilu kita. Dalam konteks ini pelanggaran merupakan sikap menyimpang (distorsi) dari kehendak kolektif. Yaitu kehendak baik yang terbangun dari rasa saling percaya antar sesama warga sebagai modal sosial (Robert Putnam, 2002).

Pelanggaran dalam pemilu berarti ancaman terhadap modal sosial (kekitaan) yang merupakan landasan bagi konsolidasi demokrasi. Hampanya kepercayaan antar warga, menguatnya egosentrisme baik individu maupun kelompok merupakan kendala utama menguatnya akar kekitaan. Dan itu pula yang menyebabkan maraknya pelanggaran dalam pemilu.

Apalagi dengan penerapan suara terbanyak. Aspek kekitaan sebagai landasan utama kolektivitas warga negara menjadi sangat longgar. Persaingan internal partai menjadi alasan untuk menodai kekitaan. Yang muncul adalah egosentrisme yang mengedepankan ke-aku-an (intern partai), dan ke-kami-an atau ke-mereka-an (antar partai).

Secara kultural akar kekitaan kita sebenarnya masih kuat. Terbukti dalam kerja-kerja sosial, kolektivitas masih terlihat jelas. Karena itu, modal sosial ini jangan sampai ternodai oleh kepetingan segelintir elite. Inilah yang diwanti-wanti dalam mendorong tercapainya konsolidasi demokrasi. Demokrasi akan tumbuh apabila kepentingan sektoral itu tersubordinasi di bawah komitmen kekitaan (bersama).

Kekitaan merupakan kesadaran yang sejatinya menjadi penggerak kompetisi. Kursi legislatif atau presiden hanyalah ”tujuan antara” demi menguatnya kekitaan dalam koridor kebangsaan. Karena itu, pemilu sebagai proses inheren dalam demokrasi sejatinya menjadi agenda kita bersama. Bukan justru membangun dikotomi antagonisme; kita dan mereka, yang dapat merapuhkan kesalingpercayaan antar warga negara. Dan dalam jangka panjang, modal sosial inilah yang akan mengawal sekaligus merawat demokrasi menemukan ranah konsolidasinya.*

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/235660/