Monday, January 15, 2007

Opini

SBY & Wacana Tebar Pesona
Seputar Indonesia, Sabtu, 13 Januari 2007

A. Bakir Ihsan

Tampaknya ruang-ruang politik kita tak pernah kering dari pertarungan wacana. Dari sekadar opini sampai stigmatisasi. Semua ini merupakan sebuah simulakra politik yang bisa membalikkan fakta-fakta. Dalam minggu-minggu ini paling tidak muncul dua wacana terkait kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam HUT 34 PDIP, Megawati Soekarnoputri mencitrakan SBY sebagai sosok yang hanya tebar pesona. Di hari yang sama (Rabu, 10/1) dalam acara pertemuan di Universitas Atmajaya, Frans Seda menyebut SBY sebagai jenderal salon.

Dalam kacamata postmodern, wacana tersebut sarat dengan kuasa. Di dalamnya terkandung kepentingan dan hasrat dari para penyampainya. Dalam konteks semiotika politik, wacana tersebut merupakan bagian politik pencitraan (politics of image) untuk meraih citra politik (political image). Inilah yang terjadi di tengah arus teknologi informasi; politik lebih mengarah pada proses pencitraan yang di dalamnya penuh distorsi, simplifikasi, bahkan deviasi. Dan ini bisa memanipulasi dan membodohi rakyat.

Untuk menghindari distorsi dan simplifikasi tersebut diperlukan alat ukur yang obyektif untuk menilai langkah-langkah politik yang dijalankan oleh sebuah rezim. Alat ukur ini berfungsi tidak hanya untuk menilai secara detail persoalan yang dihadapi dan solusi yang ditawarkan dan diwujudkan. Namun juga sebagai bahan komparasi secara historis dengan rezim-rezim sebelumnya. Langkah ini bisa dilakukan melalui paradigma yang meletakkan sejarah sebagai sebuah kesinambungan (historical continuity). Yaitu sebuah paradigma yang melihat wajah realitas saat ini sebagai rangkaian dari gerak masa lalu. Dari sini diharapkan adanya responsibilitas bersama atas nasib yang melanda sebuah negara-bangsa.

Mengukur kinerja
Berdasarkan paradigma historical continuity di atas, maka eksistensi sebuah rezim tidak bisa dilepaskan dari rezim sebelumnya. Eksistensi sebuah rezim akan mewarisi problem yang belum diselesaikan oleh rezim sebelumnya. Begitu pun selanjutnya. Oleh sebab itu, klaim-klaim kebenaran tidak bisa dimiliki secara eksklusif sebagaimana kesalahan tidak bisa ditimpakan secara eksklusif (sepihak) pula. Di sinilah perlunya kearifan sejarah untuk mengurai kembali persoalan-persoalan yang ada untuk kemudian diselesaikan secara bersama-sama.

Untuk itu, mengukur keberhasilan atau kegagalan SBY tidak bisa semata diukur berdasarkan langkah-langkah yang dilakukan SBY, namun juga dibandingkan dengan rezim sebelumnya dengan segala warisan masalahnya. Menurut catatan penulis, sejak awal kekuasaannya, SBY telah mengantongi paling tidak sebelas warisan masalah yang mengalir dari rezim Megawati. Mulai persoalan APBN yang tidak sehat sampai persoalan Aceh dan Papua yang tetap bergejolak. Dari rangkaian masalah Blok Cepu, Dipasena, Cemex, Texmaco, Kahara Bodas, PTDI, sampai persoalan HAM Timor Leste dan embargo militer yang tak juga selesai.

APBN yang tidak sehat disebabkan oleh subsidi BBM yang tinggi. Subsidi ini menjadi penyenyak tidur tapi mengancam nyawa negara. Subsidi layaknya obat nyamuk bakar yang membuat nyenyak tidur tapi penuh racun. Dan SBY menghentikan proses yang tidak sehat ini dengan kebijakan yang sangat tidak populer, yaitu menaikkan harga BBM di atas seratus persen. Kenyataan ini pula dapat membantah bahwa SBY menebar pesona untuk membangun citra. Kalau mau bermain pada tataran citra demi pesona, SBY bisa terus mempertahankan subsidi atau bahkan menambah subsidi agar BBM bertambah murah dan SBY akan disanjung. Namun hal ini tidak dilakukan demi penyehatan APBN yang akhirnya juga mengalir pada masyarakat melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT), pendidikan gratis untuk SD, obat murah, dan pengobatan gratis di rumah sakit kelas 3.

Persoalan lain yang tak kalah pentingnya adalah embargo militer oleh Amerika, Inggris, dan Uni Eropa. Embargo ini telah membuat tentara seperti anjing yang tak mampu menggonggong. Namun berkat diplomasi dan relasi yang intens dengan negara-negara tersebut, akhirnya embargo tersebut dilepas.

Begitu juga penyelesaian Aceh yang selama puluhan tahun berkubang dalam darah dan nyawa, akhirnya bisa diselesaikan dengan damai tanpa senjata. Tentang Aceh sebenarnya kita pernah dibuat terharu ketika Megawati pada saat kampanye 1999 ingin menyelesaikan Aceh dan menyebut dirinya sebagai Cut Nyak. Namun sampai akhir kekuasaannya Aceh tetap bergolak. Pun Papua yang akhirnya pada masa SBY bisa membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) setelah sekian lama terkatung dan Timor Leste melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) atau Commission of Truth and Friendship sebagai monumen perdamaian RI-Timor Leste.

Dalam bidang ekonomi, khususnya terkait dengan kontrak kerja baik dengan pihak asing maupun perusahaan nasional, pemerintahan SBY juga mewarisi persoalan yang tak kalah rumitnya. Masalah Dipasena, Cemex, Blok Cepu, Karaha Bodas, PTDI, dan Texmaco merupakan agenda persoalan yang belum dirampungkan oleh rezim sebelumnya. Kecuali Texmaco, semua warisan persoalan tersebut berhasil diselesaikan selama dua periode kepemimpinan SBY.

Walaupun dalam beberapa kasus penyelesaian persoalan-persoalan tersebut melahirkan perdebatan, kritik, bahkan resistensi, namun SBY sebagai kepala negara harus mengambil langkah tegas untuk memutus ketidakjelasan yang justru merugikan masyarakat. Langkah tegas ini sekaligus membantah stigma jenderal salon yang disematkan pada SBY.

Kerja belum selesai
Keberhasilan penyelesaian warisan persoalan rezim sebelumnya beriringan dengan problem-problem baru yang tak terduga. Bahkan sejak awal, pemerintahan SBY dihadapkan pada problem yang menyedot seluruh potensi baik finansial maupun moral, yaitu bencana. Mulai tsunami, gempa, longsor, sampai banjir lumpur merupakan problem-problem baru yang muncul di luar rencana. Problem ini dengan sendirinya memperlambat proses penyelesaian agenda lain yang tak kalah pentingnya, seperti kemiskinan dan pengangguran.

Walaupun secara kuantitas terjadi penurunan jumlah pengangguran dari 11 juta pada 2005 menjadi 10 juta pada 2006, namun jumlah tersebut masih tergolong tinggi, sehingga tidak banyak berpengaruh pada penurunan angka kemiskinan. Berangkat dari kenyataan tersebut SBY menawarkan rekonstruksi paradigmatik dalam pembangunan ekonomi untuk meretas kesenjangan antara pertumbuhan dan pemerataan sekaligus mengikis kemiskinan.

Tawaran rekonstruksi paradigma pembangunan yang dilontarkan SBY dalam Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) (8/12/06) sejatinya menjadi dasar dari seluruh gerak pertumbuhan ekonomi. Rekonstruksi paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan telah melahirkan ekses negatif berupa kesenjangan ekstrem. Urgensi rekonstruksi paradigma yang dilontarkan SBY lebih mengacu pada pertumbuhan yang berdiri sejajar dengan pemerataan.

Dari sini, terlihat bahwa muara akhir dari seluruh proses kehidupan bernegara baik di bidang ekonomi, politik, hukum maupun lainnya diorientasikan bagi kesejahteraan rakyat dan pengentasan kemiskinan yang menjadi warisan abadi dari zaman ke zaman. Karena menurut SBY pertumbuhan ekonomi tak banyak memberi makna bila kemiskinan tetap menganga. Dan ini semua dapat terwujud apabila seluruh komponen warga bangsa mau bekerjasama demi terwujudnya hidup sejahtera.

Kita tidak bisa berharap banyak apabila seluruh problem kebangsaan ditimpakan pada seorang presiden, siapapun dia. Apakah jenderal lapangan, jenderal salon, atau pembela wong cilik, tidak akan kuasa tanpa kerjasama. Tanpa dukungan dan peran serta seluruh komponen masyarakat, semua rencana dan kebijakan yang dibuat Presiden SBY tidak akan banyak bermakna. Dan inilah substansi dari demokrasi. Yaitu bersama mengoreksi dan bersama pula mencari solusi demi ketenteraman dan kesejahteraan seluruh anak bangsa.

Kejujuran untuk mengakui bahwa problem hari ini merupakan bagian dari problem masa lalu yang belum terselesaikan, seharusnya memicu kita untuk bergandeng tangan menebar kerja sesuai posisi kita masing-masing. Dalam bahasa yang sedikit melankolis, kita berharap jangan ada dusta di antara para pemimpin untuk mengakui secara jujur apa yang telah diperbuat saat memimpin dan apa yang belum diselesaikan. Kesadaran ini sekaligus akan mendorong para pemimpin negeri ini untuk bersama merampungkan kerja yang belum selesai. Tanpa kerjasama, tuduhan tebar pesona hanyalah wacana untuk mendapatkan pesona.*
Opini

Agenda Diplomasi RI di Tengah Tata Dunia Baru
Investor Daily, Sabtu, 13 Januari 2007

A. Bakir Ihsan

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean kembali digelar. Agenda penting yang dibahas pada KTT Asean ke-12 ini adalah pembentukan Piagam Asean yang nantinya mengubah organisasi menjadi entitas hukum yang mengikat semua anggotanya. Ia tidak lagi berdasarkan konsensus yang longgar dan multiinterpretable. Kehadiran SBY dalam KTT ini menjadi penting untuk mengukuhkan kembali peran politik internasional Indonesia di tengah peta politik global yang multipolar dan terus bergerak melampaui batas-batas ideologi.

Dalam konteks politik global, kita disuguhi oleh beragam fenomena yang menghentak kesadaran. Di penghujung 2006, misalnya, kita menyaksikan sebuah antiklimak politik Irak. Saddam Hussein yang menjadi target utama Amerika Serikat akhirnya meregang nyawa di tiang gantungan. Walaupun kasusnya lebih bersifat internal Irak, namun sulit melepaskan seluruh proses kehidupan politik Irak dari peran Amerika dan sekutunya. Konflik dan ketegangan antara faksi di Irak meledak seiring invasi Amerika. Pemilu yang diyakini sebagai ajang manifestasi dan agregasi beragam kepentingan tak mampu meredam konflik.

Banyak reaksi bermunculan atas hukuman mati tersebut. PM Italia, Romano Prodi, Presiden Prancis, Jacques Chirac, dan Menteri Luar Negeri Finlandia Erkki Tuomioja yang juga ketua periodik Uni Eropa mengutuk eksekusi Saddam. Bahkan Vatikan pun mengutuk hukuman mati, karena tidak sesuai dengan kodrat kemanusiaan.

Fenomena tersebut sedikit banyak menjadi catatan sekaligus peta baru diplomasi internasional. Semakin jelas bahwa diplomasi dunia kini tidak lagi bersifat bipolar atau unipolar, tapi multipolar. Kekuasaan semakin mencair dan efektivitas sebuah diplomasi tidak lagi ditentukan oleh kemampuan berkoalisi dengan negara adikuasa, tapi pada kemampuan menempatkan dan membaca peta diplomasi tersebut.

Dalam konteks politik global dengan segala kompleksitas problemnya, komunikasi dan diplomasi internasional memiliki implikasi yang sangat strategis. Apalagi di tengah nilai-nilai kemanusiaan tercampakkan oleh nafsu hegemoni global dengan segala caranya.

Kekuatan baru
Sejak runtuhnya Uni Soviet, dunia seakan berada dalam satu genggaman kapitalisme global. Bahkan jauh sebelumnya, para endist telah mengumandangkan akhir ideologi (the end of ideology) sebagai simbol kematian musuh kapitalisme. Namun dalam perkembangannya, muncul resistensi dan upaya diametral yang dimainkan oleh beberapa negara untuk melawan hegemoni tunggal yang dimotori Amerika. Iran, Korea Utara, Cina, Rusia, Kuba, dan beberapa negara Amerika Latin lainnya berdiri kokoh berhadapan dengan upaya hegemonik Amerika.

Di sisi lain, negara-negara muslim menjadi “kekuatan” tersendiri di tengah ancaman terorisme. Paling tidak negara-negara yang berpenduduk muslim mendapat “perhatian khusus” dari dunia Barat untuk membantu meminimalisir gerakan-gerakan yang secara faktual dilakukan oleh sebagian kelompok muslim. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan ketakberdayaan Barat berhadapan dengan kompleksitas global yang juga disebabkan oleh ulah dirinya.

Dalam kondisi demikian, politik bebas aktif yang “dipasarkan” Presiden SBY idealnya tampil sebagai upaya sinergis untuk merangkai beragam ideologi dan kepentingan antar negara. Itulah sebabnya politik bebas aktif tetap mendapat relevansi dan urgensinya, bahkan perlu direvitalisasi setelah sekian lama terdistorsi. Sebagaimana diketahui, dari tiga kali pergantian rezim di republik ini politik luar negeri yang bebas aktif ditampilkan dalam beragam wajah yang sama sekali tidak mencerminkan netralitasnya sebagai esensi dari “politik bebas aktif”. Ia tercerabut dari esensinya sebagai media untuk memperlakukan semua negara secara sama untuk kedamaian dunia.

Tiga kecenderungan
Di tengah pergolakan global, ada tiga kecenderungan besar yang patut mendapat perhatian serius dalam proses revitalisasi politik bebas aktif. Hal ini terkait dengan ikatan historis yang sulit dilepaskan dalam langgam diplomasi Indonesia.

Pertama, negara Amerika dan sekutunya, seperti Inggris dan Australia. Amerika dan sekutunya tampil sebagai kekuatan fenomenal seiring dengan aksi terorisme. Dengan kekuatan persenjataan dan hegemoninya, mereka bersekutu memborbardir negara-negara yang dicurigai menjadi sarang teroris, seperti Afghanistan dan Irak. Indonesia tidak bisa mengabaikan eksistensi kelompok ini. Secara historis Indonesia memiliki kaitan dengan kelompok Amerika cs ini. Dalam bidang ekonomi, tampilnya mafia Berkeley yang mewariskan ekonomi pro pasar merupakan bukti konkret kedekatan Indonesia dengan Amerika dan sekutunya. Bahkan dalam beberapa peristiwa politik, seperti penggulingan Soekarno, Amerika (CIA) dianggap sebagai bagian yang bermain di balik layar. Kenyataan tersebut mempertegas bahwa peran Amerika dan sekutunya sulit dilepaskan dalam konteks diplomasi Indonesia.

Kedua, negara yang berdiri diametral atau memiliki orientasi politik berbeda dengan Amerika, seperti Rusia dan Cina. Peran kelompok ini cukup signifikan di tengah kecenderungan uniteralisme yang diterapkan Amerika. Kelompok ini menjadi kekuatan alternatif (penyeimbang) baik secara ideologis maupun sebagai bentuk perlawanan terhadap Amerika, seperti yang dilakukan negara-negara Amerika Latin, termasuk Iran dan Korea Utara. Dengan negara-negara kelompok ini, Indonesia memiliki akar historis melalui relasi politik, khususnya yang pernah dibangun oleh Soekarno. Hal ini yang coba dihidupkan kembali oleh Presiden SBY, salah satunya, melalui pengembangan kerjasama yang lebih erat dengan negara-negara komunis seperti Rusia dan Cina. Begitu juga dengan negara-negara yang tergabung dalam gerakan non-blok.

Ketiga, negara-negara muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Sebagai anggota OKI secara inheren Indonesia memiliki relasi yang tidak saja bersifat historis, namun organisatoris yang sejatinya dapat menjadi modal untuk merangkul berbagai kepentingan di antara negara-negara muslim. Hal ini penting dilakukan karena fragmentasi dalam tubuh OKI tersebut telah berdampak pada mandulnya bargaining position di tengah hegemoni diplomasi global. Berlarut-larutnya konflik di Timur Tengah merupakan potret disfungsi peran organisasi ini. Indonesia dengan posisi politiknya yang moderat (netral) bisa merevitalisasi fungsi organisasi ini. Paling tidak proposal tentang penyelesaian Irak yang didukung oleh Rusia, Jepang, dan beberapa negara Timur Tengah lainnya, bisa menjadi kunci untuk merevitalisasi fungsi organisasi ini sekaligus eksistensi politik bebas aktif yang mulai dimainkan oleh SBY.

Mencairkan dunia
Polarisasi peta politik global bisa mencair sesuai kepentingan dan arah yang dimainkan oleh masing-masing negara baik berdasarkan geopolitik, ekonomi, maupun sosial budaya. Kerjasama Indonesia dengan berbagai negara yang beragam ideologi dan kepentingannya cukup signifikan dan perlu direvitalisasi. Di samping dapat mempererat relasi global secara egaliter, juga dapat menepis stigma bahwa Indonesia menjadi antek negara tertentu. Stigmatisasi ini tentu menjadi beban tersendiri bagi SBY yang berusaha bersikap egaliter terhadap semua negara. Kerjasama lintas ideologi ini mengharuskan Indonesia membuka pintu selebar-lebarnya bagi semua negara untuk menjalin hubungan diplomasi dan kerjasama yang intensif bagi kepentingan dunia.

Kerjasama internasional tidak selamanya berdasarkan kepentingan ekonomi atau untung rugi secara finansial. Kalau pertimbangannya hanya kepentingan bisnis semata, tentu Amerika dan sekutunya lebih menguntungkan karena mereka saat ini menguasai pasar dunia, termasuk dalam hal persenjataan. Namun SBY mencoba mencari celah sekaligus sinergi di antara ragam kepentingan yang menyebabkan dunia terfragmentasi secara politik. SBY justru mempergunakan politik luar negerinya untuk mencairkan fragmentasi sekaligus stigmatisasi yang tidak produktif bahkan tidak jarang menyulut konflik.

Dari tawaran ini semakin jelas bahwa politik bebas aktif harus dilandaskan pada upaya mencairkan kecenderungan hegemonisasi sekelompok negara. Dengan kata lain, politik bebas aktif harus dioperasikan sebagai paradigma kesetaraan (equality) global yang mengedepankan diplomasi daripada invasi. Kalau tidak, politik bebas aktif hanya upaya membangun citra dikala bencana kemanusiaan menghantui dunia akibat obsesi negara adidaya.*

Tuesday, January 09, 2007

Opini

SBY dan Sandera Parpol
Seputar Indonesia
, Selasa, 9 Januari 2007

A. Bakir Ihsan

Aroma politik 2009 mulai memuai. Perlahan tapi pasti, masing-masing kekuatan mempersiapkan diri. Manuver-manuver politikpun bertebaran mulai konsolidasi internal partai sampai pendirian partai baru. Tujuan akhirnya adalah meraih simpati untuk berkuasa. Dalam bahasa Syafii Maarif, masing-masing menjadikan demokrasi sebagai matapencarian. Konsekuensinya kekuasaan menjadi target untuk diperjualbelikan dengan isu yang diputarbalikkan. Kenyataan ini tentu merisaukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pemegang tampuk kekuasaan yang hendak menyelesaikannya hingga 2009. Atas dasar itu, memasuki tahun ketiga kepemimpinannya Presiden SBY menegaskan komitmennya untuk lebih tegas dengan bahasa yang lebih jelas dalam menahkodai kapal NKRI ini.

Sulit dipungkiri bahwa dinamika kenegaraan baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun sosial budaya saat ini belum sampai pada titik kesempurnaan. Itulah sebabnya beragam ranah kehidupan bangsa perlu terus diwacanakan untuk menemukan celah penyempurnaan dan diperjuangkan untuk menutup kekurangannya. Upaya ini bisa diejawantahkan apabila gerak kekuasaan bisa lebih leluasa dan partai politik mengontrolnya, bukan mengekangnya.

Namun pada kenyataannya, eksistensi partai politik sangat dominan dalam menentukan arah kekuasaan. Bahkan sejak awal pemerintahan SBY, tarik menarik kepentingan partai politik terlihat jelas, khususnya dalam penyusunan kabinet. Realitas ini ternyata menjadi awal dari campur tangan partai terhadap wilayah prerogatif presiden khususnya dalam mengangkat para pembantunya.

Campur tangan ini secara tidak langsung merupakan sandera bagi hak politik eksekutif (presiden). Tampaknya sandera politik ini cukup efektif dioperasikan oleh partai besar, seperti partai Golkar. Terlihat jelas dari beberapa manuver yang dimainkan Golkar membuat istana kelabakan. Terakhir kasus UKP3R (Unit Kerja Presiden untuk Program Pengelolaan Reformasi) yang sempat membuat karut marut tata relasi partai politik (Golkar) dengan kekuasaan (Presiden SBY) menjadi bukti jelas manuver partai berhadapan dengan prerogatif presiden.

Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa eksistensi partai politik menjadi kekuatan yang memiliki bargaining position yang cukup kuat berhadapan dengan kekuasaan. Dan fenomena ini akan tetap mewarnai dunia perpolitikan di tahun 2007. Oleh sebab itu, memotret peta politik di masa yang akan datang tidak bisa dilepaskan dari sepak terjang partai politik yang memiliki kekuatan besar di parlemen. Dalam hal ini adalah partai Golkar.

Dari manuver ke manuver
Sebagai peraih kursi terbesar pada pemilu 2004, sejak awal Golkar telah memainkan manuvernya. Di bawah komando Akbar Tanjung, Golkar membangun koali kebangsaan untuk mengambil jarak dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK). Kader Golkar yang menerima tawaran menteri SBY-JK dipecat. Namun manuver tersebut tidak belangsung lama karena Akbar Tanjung harus mengakui keunggulan Jusuf Kalla (JK) dalam Munas VII Golkar di Bali (19/12/2004). Sejak itu peta politik Senayan pun berubah.

Namun bagi Golkar gerak politik tak pernah berakhir. Kemenangan JK yang juga wapres menjadi peluang untuk semakin mengendalikan kekuasaan melalui penguatan di kabinet. Dan Golkar pun menebar beragam wacana untuk mereformulasi komposisi warna-warni kabinet.
Tampaknya manuver ini cukup efektif. Paling tidak dalam reshuffle kabinet terbatas Desember 2005 Golkar berhasil menambah satu kursi, yaitu Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Keberhasilan ini ternyata semakin melambungkan hasrat Golkar untuk mendapatkan lebih. Taktik pun terus ditebar untuk mengembangkan sayap kekuasaannya. Beragam wacana pun ditebar mulai perlunya menteri muda sampai perdana menteri atau pendelegasian yang lebih besar pada Wapres yang juga ketua umum Golkar. Namun wacana ini tak bersambut sampai SBY membentuk UKP3R yang dijadikan sasaran empuk untuk “memaksa” SBY berpikir ulang tentang Golkar.

Walaupun Golkar menyatakan diri sebagai mitra pemerintah, namun ia tetap menyisakan harapan adanya perombakan kabinet. Dengan kata lain dukungan yang diberikan Golkar merupakan kemitraan bersyarat. Dan ini dipertegas oleh Jusuf Kalla dengan istilah keringat. Kemitraan (garansi) bersyarat ini secara tidak langsung menjadi kerangkeng bagi SBY yang sejatinya memiliki hak prerogatif untuk mereposisi para pembantunya. Apalagi harapan perombakan kabinet yang dilontarkan Golkar, konon disertai daftar nama-nama kader Golkar yang diusulkan untuk menjadi menteri dalam reshuffle yang akan datang.

Demokrasi angka
Secara konstitusi, presiden berhak mengabaikan suara-suara partai politik dalam mengevaluasi maupun merombak anggota kabinetnya. Namun dalam demokrasi yang masih mempertimbangkan kekuatan angka (kursi), sistem presidensial ini menjadi kurang efektif. Tetap saja presiden harus mempertimbangkan kalkulasi kepentingan politik partai. Kabijakan, bahkan konstitusi dalam demokrasi seperti ini tidak mengikat para elit. Justru sebaliknya, elit yang menentukan konstitusi. Inilah bukti bahwa demokrasi di negeri ini masih bercorak numerik (numeric democracy). Yaitu demokrasi yang lebih mempertimbangan kuantitas kursi daripada kualitas diri.

Secara logika, dalam sistem demokrasi numerik ini tuntutan proporsionalitas kursi yang diminta Golkar sah-sah saja sepanjang berada dalam koridor presidensialisme yang menjadi kesepakatan konstitusional. Yaitu tetap menghargai hak prerogatif presiden yang memperoleh mandat langsung dari rakyat.

Namun harapan tersebut tampaknya jauh panggang dari api. Golkar sebagai partai tertua dan terlama berkuasa, tetap menyisakan post power syndrom untuk meraih kekuasaan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi. Pada titik ini parpol belum bisa menunjukkan kualitas diri sebagai partai politik yang mencerdaskan, rasional, dan peduli pada problematika sosial. Orientasi kekuasaan melampaui kehendak bersama untuk menyelesaikan masalah bangsa. Terbukti mereka lebih mengedepankan emosionalitas kepartaiannya daripada melihat substansi agenda yang harus diimplementasikan bagi kepentingan negara-bangsa. Di sini semakin terlihat bahwa partai politik masih mendahulukan simbol-simbol kepartaiannya daripada simbol kebangsaan secara keseluruhan.

Reorientasi Partai Politik
Sepak terjang partai politik dan para kadernya di Senayan lebih banyak berkisar pada ranah formal kepentingan politik, bukan pada substansi kebijakan. Dalam hal Keppres tentang pembentukan UKP3R, misalnya, terlihat jelas bahwa persoalannya lebih pada konsesi politik pragmatis daripada substansi dan urgensi eksistensi institusi. Kenyataan ini semakin membuat jarak sekaligus mencerabut fungsi partai dari akarnya, yaitu rakyat. Partai lebih banyak bergantung ke atas (kekuasaan) tanpa akar yang kuat di masyarakat.

Sejatinya relasi partai dengan kekuasaan didasarkan pada kualitas relasi penguasa dengan rakyat. Ketika kebijakan dan langkah-langkah yang diambil penguasa berjarak dengan kepentingan rakyat, maka parpol menjadi media paling efektif untuk mengontrolnya. Begitu juga ketika kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berjalin berkelindan dengan kepentingan masyarakat, maka parpol bisa mendukungnya. Di sinilah fungsi parpol sebagai media agregasi aspirasi masyarakat sejatinya ditonjolkan. Ketika parpol lebih berorientasi pada kekuasaan an sich, maka akan terjadi dua kemungkinan, yaitu perselingkuhan legislatif-eksekutif atau perpecahan yang berdampak pada instabilitas politik.

Kalau kerangka konsesi politik pragmatis tetap menjadi paradigma partai politik, maka selama itu pula istana (presiden) akan tersandera dan rakyat akan menderita. Inilah sebuah sistem presidensial yang terpatri dalam konstitusi, namun terkunci untuk diaplikasi. Kenyataan ini merupakan rangkaian dari dilema konstitusi yang tak lagi mengikat elit, tapi elit mengendalikan, bukan mewujudkan, konstitusi. Di sinilah urgensi reorientasi paradigma partai politik yang sejatinya dikawal partai-parti besar, untuk kembali pada konstitusi. Selama hal ini dibiarkan, maka demokrasi akan mengalami involusi.*
Opini

Negara, Agama, dan Perempuan
Koran Tempo
, Senin, 8 Januari 2007

A. Bakir Ihsan

Isu poligami bukan hanya melahirkan sensasi. Ia telah menyeret kembali tarik menarik dua otoritas yang selalu berseteru sepanjang sejarah; negara dan agama. Dan yang menjadi objek dari dua otoritas tersebut adalah perempuan. Negara masih menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua dengan hak-hak politik yang terbatas, sementara agama memosisikan perempuan sebagai makhluk lemah yang harus dikasihi dan dilindungi. Pada titik ini terlihat jelas bahwa kedua otoritas tersebut masih bias jender dan perempuan menjadi terdakwa.

Sensasi poligami yang mencuat saat ini karena melibatkan figur publik yang bergulat dalam bidang agama (dai). Dalam masyarakat yang paternalistik, eksistensi tokoh agama dipahami sebagai sebuah entitas yang tak terpisahkan dari agama. Secara struktural ia diletakkan dalam strata yang tinggi karena dipersepsi sebagai wakil Tuhan di bumi dan secara kultural ia dianggap sebagai manusia yang seluruh gerak-geriknya cerminan dari gerak-gerik Tuhan. Bahkan dalam bentuk yang ekstrem terjadi kultus yang menyebabkan orang bertindak dan bersikap secara taqlid.

Dalam kondisi demikian, tidak berlebihan apabila muncul kekhawatiran langkah poligami sang idola (tokoh agama) menginspirasi umatnya untuk melakukan hal yang sama tanpa reserve. Kenyataan ini sekaligus merupakan problem kesadaran beragama yang sering melihat sosok (simbol) sebagai representasi keagamaan. Simbolisasi-simbolisasi menyebabkan kesadaran terjebak dalam ketakberdayaan untuk memilah secara jernih antara ajaran agama dan pengaruh budaya, termasuk dalam hal poligami.

Tiga kepentingan
Responsi atas praktik poligami dapat dipahami dalam tiga perspektif. Pertama, perspektif negara. Dalam perspektif negara, poligami merupakan bagian dari tata kehidupan sosial, sehingga layak untuk diatur agar tidak liar dan memunculkan ketidakstabilan sosial. Walaupun poligami merupakan masalah pribadi, namun karena sudah masuk di ruang publik dan arena sosial, maka negara tidak bisa membiarkannya. Itulah sebabnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa perlu memperketat sekaligus memperluas cakupan aturan poligami melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990. Menurut Presiden, revisi tersebut merupakan upaya revitalisasi atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa asas perkawinan di Indonesia adalah monogami (satu suami satu istri). Dan UU Perkawinan tersebut dengan sendirinya mengikat seluruh warga negara.

Kedua, perspektif (elit) agama. Elit agama melihat poligami sebagai sesuatu yang tidak dilarang oleh agama. Bahkan sebagian menganggapnya sebagai bagian dari ajaran agama (sunah Nabi) yang dilaksanakan apabila mampu. Paling tidak pandangan ini terepresentasi dari pernyataan dua pimpinan organisasi besar Islam, NU dan Muhammadiyah, Hasyim Muzadi dan Din Syamsuddin. Menurut keduanya masalah poligami merupakan masalah personal yang tidak perlu diatur oleh negara. Secara implisit pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa poligami sah adanya dan tergantung pada individu dalam memahami dan memilih untuk melakukan atau tidak.

Ketiga, perspektif masyarakat. Dalam perspektif masyarakat poligami dipahami sebagai tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Secara faktual hal tersebut bisa dilihat dari reaksi negatif atas tindakan poligami yang dilakukan Aa Gym. Reaksi tersebut mencerminkan adanya penolakan atas poligami. Penolakan ini tidak saja karena yang melakukan adalah publik figur, tapi juga karena poligami menjadi menumen superioritas maskulin dan subordinat feminin. Laki-laki ditempatkan sebagai pemilik kasih sayang yang berhak membagi sekaligus menerima dari lebih satu perempuan, sementara perempuan hanya bisa menerima dan berbagi kasih sayang pada satu laki-laki. Inti ketidakadailan bukan hanya pada pembagian kasih sayang yang timpang, tapi pada esensi kasih sayang yang sejatinya tak bisa dibagi.

Berbagi ranah otoritas
Dari ragam kepentingan dan penyikapan terhadap poligami tersebut, negara berfungsi untuk menatanya. Seluruh dinamika kehidupan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari peran negara, karena negara hadir sejatinya untuk itu. Dan di sinilah eksistensi negara dipertaruhkan. Bahkan menurut John Stuart Mill kemajuan peradaban negara bangsa akan tercipta ketika warga negaranya belajar untuk patuh. Dan kepatuhan itu muncul ketika negara mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat.

Problem krusial yang dihadapi negara adalah ketika harus berhadapan dengan otoritas-otoritas lain berdasarkan legitimasi supranatural dan universal, seperti otoritas yang dimiliki agama. Itulah sebabnya selama ini relasi agama dan negara berlangsung secara dialektis. Satu fakta menempatkan agama berada di bawah negara (demokrasi), dan fakta yang lain menempatkan agama di atas negara (teokrasi). Indonesia, melalui ideologi Pancasila, berusaha berdiri di antara kedua kecenderungan tersebut dengan menempatkan agama sebagai nilai-nilai yang mendorong bagi berlangsungnya transformasi sosial.

Namun dalam perkembangannya, upaya-upaya untuk menempatkan agama secara simbolik di atas landasan negara yang berpijak pada pluralitas warga tetap ada. Paling tidak, isu Piagam Jakarta yang sempat mencuat kembali seiring proses amandemen konstitusi dan penguatan perda-perda syariat Islam di beberapa wilayah merupakan potret simbolisasi agama atas negara. Negara dijadikan alat untuk menformalkan ajaran agama yang universal atas ranah sosial yang plural. Inilah muara perjuangan dari kelompok yang mengedepankan simbolisasi dan formalisasi agama.

Dalam konteks poligami tampaknya terjadi paradoks. Kelompok yang berobsesi dan mendukung terhadap merebaknya simbolisasi Islam melalui perda-perda syariat menolak intervensi negara dalam hal poligami. Negara dituduh ikut campur dalam ranah personal yang sepenuhnya menjadi tanggungjawab individu. Padahal kalau mau jujur, perda-perda syariat juga merupakan potret campurtangan terhadap ranah publik yang plural dan personal.

Paradoksalitas serupa juga terjadi di kalangan kelompok anti poligami yang cenderung mengagungkan otonomi individu, keseteraan gender, kebebasan, dan menolak otoritas negara yang serba mencakup. Namun dalam hal revisi dan revitalisasi UU Perkawinan No. 1/1974 yang ditawarkan pemerintah justru mereka mendorong dan mendukungnya.

Realitas di atas menunjukkan bahwa toleransi terhadap intervensi negara bersifat parsial dan subyektif. Selama kebijakan negara mendukung terhadap kepentingannya, maka intervensi negara absah. Begitu juga sebaliknya. Pada akhirnya skop intervensi negara tergantung pada sejauhmana kepentingan masing-masing kelompok terakomodasi dalam kebijakan negara.

Berangkat dari kenyataan tersebut, negara (Presiden Yudhoyono) harus mampu mentransendensikan dirinya di atas tarik menarik dua ektrem pro kontra poligami di atas. Salah satu caranya adalah dengan mengembalikan esensi persoalan (poligami) pada harkat dan hak warga bangsa yang harus diperlakukan secara adil. Eksistensi warga negara tidak diukur oleh perbedaan jenis kelamin, tapi oleh martabat kemanusiaan yang sama. Di sinilah negara harus memainkan dan memperkuat otoritasnya, khususnya dalam penataan kembali relasi laki-laki dan perempuan yang selama ini timpang dan diskriminatif.

Sementara dalam hal penafsiran dan pemahaman atas teks keagamaan, termasuk dalam hal poligami, dikembalikan pada otoritas kaum agamawan atau pemeluk agama masing-masing. Ketika pemahaman tersebut hendak diejawantahkan dan terkait dengan kehidupan sosial, maka negara berhak menatanya. Dengan demikian, masing-masing pemilik otoritas (negara, agamawan, dan masyarakat) dapat berbagi peran secara arif dan bijak untuk kepentingan bersama sebagai warga bangsa yang beragama. Semoga.*