Monday, January 15, 2007

Opini

SBY & Wacana Tebar Pesona
Seputar Indonesia, Sabtu, 13 Januari 2007

A. Bakir Ihsan

Tampaknya ruang-ruang politik kita tak pernah kering dari pertarungan wacana. Dari sekadar opini sampai stigmatisasi. Semua ini merupakan sebuah simulakra politik yang bisa membalikkan fakta-fakta. Dalam minggu-minggu ini paling tidak muncul dua wacana terkait kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam HUT 34 PDIP, Megawati Soekarnoputri mencitrakan SBY sebagai sosok yang hanya tebar pesona. Di hari yang sama (Rabu, 10/1) dalam acara pertemuan di Universitas Atmajaya, Frans Seda menyebut SBY sebagai jenderal salon.

Dalam kacamata postmodern, wacana tersebut sarat dengan kuasa. Di dalamnya terkandung kepentingan dan hasrat dari para penyampainya. Dalam konteks semiotika politik, wacana tersebut merupakan bagian politik pencitraan (politics of image) untuk meraih citra politik (political image). Inilah yang terjadi di tengah arus teknologi informasi; politik lebih mengarah pada proses pencitraan yang di dalamnya penuh distorsi, simplifikasi, bahkan deviasi. Dan ini bisa memanipulasi dan membodohi rakyat.

Untuk menghindari distorsi dan simplifikasi tersebut diperlukan alat ukur yang obyektif untuk menilai langkah-langkah politik yang dijalankan oleh sebuah rezim. Alat ukur ini berfungsi tidak hanya untuk menilai secara detail persoalan yang dihadapi dan solusi yang ditawarkan dan diwujudkan. Namun juga sebagai bahan komparasi secara historis dengan rezim-rezim sebelumnya. Langkah ini bisa dilakukan melalui paradigma yang meletakkan sejarah sebagai sebuah kesinambungan (historical continuity). Yaitu sebuah paradigma yang melihat wajah realitas saat ini sebagai rangkaian dari gerak masa lalu. Dari sini diharapkan adanya responsibilitas bersama atas nasib yang melanda sebuah negara-bangsa.

Mengukur kinerja
Berdasarkan paradigma historical continuity di atas, maka eksistensi sebuah rezim tidak bisa dilepaskan dari rezim sebelumnya. Eksistensi sebuah rezim akan mewarisi problem yang belum diselesaikan oleh rezim sebelumnya. Begitu pun selanjutnya. Oleh sebab itu, klaim-klaim kebenaran tidak bisa dimiliki secara eksklusif sebagaimana kesalahan tidak bisa ditimpakan secara eksklusif (sepihak) pula. Di sinilah perlunya kearifan sejarah untuk mengurai kembali persoalan-persoalan yang ada untuk kemudian diselesaikan secara bersama-sama.

Untuk itu, mengukur keberhasilan atau kegagalan SBY tidak bisa semata diukur berdasarkan langkah-langkah yang dilakukan SBY, namun juga dibandingkan dengan rezim sebelumnya dengan segala warisan masalahnya. Menurut catatan penulis, sejak awal kekuasaannya, SBY telah mengantongi paling tidak sebelas warisan masalah yang mengalir dari rezim Megawati. Mulai persoalan APBN yang tidak sehat sampai persoalan Aceh dan Papua yang tetap bergejolak. Dari rangkaian masalah Blok Cepu, Dipasena, Cemex, Texmaco, Kahara Bodas, PTDI, sampai persoalan HAM Timor Leste dan embargo militer yang tak juga selesai.

APBN yang tidak sehat disebabkan oleh subsidi BBM yang tinggi. Subsidi ini menjadi penyenyak tidur tapi mengancam nyawa negara. Subsidi layaknya obat nyamuk bakar yang membuat nyenyak tidur tapi penuh racun. Dan SBY menghentikan proses yang tidak sehat ini dengan kebijakan yang sangat tidak populer, yaitu menaikkan harga BBM di atas seratus persen. Kenyataan ini pula dapat membantah bahwa SBY menebar pesona untuk membangun citra. Kalau mau bermain pada tataran citra demi pesona, SBY bisa terus mempertahankan subsidi atau bahkan menambah subsidi agar BBM bertambah murah dan SBY akan disanjung. Namun hal ini tidak dilakukan demi penyehatan APBN yang akhirnya juga mengalir pada masyarakat melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT), pendidikan gratis untuk SD, obat murah, dan pengobatan gratis di rumah sakit kelas 3.

Persoalan lain yang tak kalah pentingnya adalah embargo militer oleh Amerika, Inggris, dan Uni Eropa. Embargo ini telah membuat tentara seperti anjing yang tak mampu menggonggong. Namun berkat diplomasi dan relasi yang intens dengan negara-negara tersebut, akhirnya embargo tersebut dilepas.

Begitu juga penyelesaian Aceh yang selama puluhan tahun berkubang dalam darah dan nyawa, akhirnya bisa diselesaikan dengan damai tanpa senjata. Tentang Aceh sebenarnya kita pernah dibuat terharu ketika Megawati pada saat kampanye 1999 ingin menyelesaikan Aceh dan menyebut dirinya sebagai Cut Nyak. Namun sampai akhir kekuasaannya Aceh tetap bergolak. Pun Papua yang akhirnya pada masa SBY bisa membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) setelah sekian lama terkatung dan Timor Leste melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) atau Commission of Truth and Friendship sebagai monumen perdamaian RI-Timor Leste.

Dalam bidang ekonomi, khususnya terkait dengan kontrak kerja baik dengan pihak asing maupun perusahaan nasional, pemerintahan SBY juga mewarisi persoalan yang tak kalah rumitnya. Masalah Dipasena, Cemex, Blok Cepu, Karaha Bodas, PTDI, dan Texmaco merupakan agenda persoalan yang belum dirampungkan oleh rezim sebelumnya. Kecuali Texmaco, semua warisan persoalan tersebut berhasil diselesaikan selama dua periode kepemimpinan SBY.

Walaupun dalam beberapa kasus penyelesaian persoalan-persoalan tersebut melahirkan perdebatan, kritik, bahkan resistensi, namun SBY sebagai kepala negara harus mengambil langkah tegas untuk memutus ketidakjelasan yang justru merugikan masyarakat. Langkah tegas ini sekaligus membantah stigma jenderal salon yang disematkan pada SBY.

Kerja belum selesai
Keberhasilan penyelesaian warisan persoalan rezim sebelumnya beriringan dengan problem-problem baru yang tak terduga. Bahkan sejak awal, pemerintahan SBY dihadapkan pada problem yang menyedot seluruh potensi baik finansial maupun moral, yaitu bencana. Mulai tsunami, gempa, longsor, sampai banjir lumpur merupakan problem-problem baru yang muncul di luar rencana. Problem ini dengan sendirinya memperlambat proses penyelesaian agenda lain yang tak kalah pentingnya, seperti kemiskinan dan pengangguran.

Walaupun secara kuantitas terjadi penurunan jumlah pengangguran dari 11 juta pada 2005 menjadi 10 juta pada 2006, namun jumlah tersebut masih tergolong tinggi, sehingga tidak banyak berpengaruh pada penurunan angka kemiskinan. Berangkat dari kenyataan tersebut SBY menawarkan rekonstruksi paradigmatik dalam pembangunan ekonomi untuk meretas kesenjangan antara pertumbuhan dan pemerataan sekaligus mengikis kemiskinan.

Tawaran rekonstruksi paradigma pembangunan yang dilontarkan SBY dalam Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) (8/12/06) sejatinya menjadi dasar dari seluruh gerak pertumbuhan ekonomi. Rekonstruksi paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan telah melahirkan ekses negatif berupa kesenjangan ekstrem. Urgensi rekonstruksi paradigma yang dilontarkan SBY lebih mengacu pada pertumbuhan yang berdiri sejajar dengan pemerataan.

Dari sini, terlihat bahwa muara akhir dari seluruh proses kehidupan bernegara baik di bidang ekonomi, politik, hukum maupun lainnya diorientasikan bagi kesejahteraan rakyat dan pengentasan kemiskinan yang menjadi warisan abadi dari zaman ke zaman. Karena menurut SBY pertumbuhan ekonomi tak banyak memberi makna bila kemiskinan tetap menganga. Dan ini semua dapat terwujud apabila seluruh komponen warga bangsa mau bekerjasama demi terwujudnya hidup sejahtera.

Kita tidak bisa berharap banyak apabila seluruh problem kebangsaan ditimpakan pada seorang presiden, siapapun dia. Apakah jenderal lapangan, jenderal salon, atau pembela wong cilik, tidak akan kuasa tanpa kerjasama. Tanpa dukungan dan peran serta seluruh komponen masyarakat, semua rencana dan kebijakan yang dibuat Presiden SBY tidak akan banyak bermakna. Dan inilah substansi dari demokrasi. Yaitu bersama mengoreksi dan bersama pula mencari solusi demi ketenteraman dan kesejahteraan seluruh anak bangsa.

Kejujuran untuk mengakui bahwa problem hari ini merupakan bagian dari problem masa lalu yang belum terselesaikan, seharusnya memicu kita untuk bergandeng tangan menebar kerja sesuai posisi kita masing-masing. Dalam bahasa yang sedikit melankolis, kita berharap jangan ada dusta di antara para pemimpin untuk mengakui secara jujur apa yang telah diperbuat saat memimpin dan apa yang belum diselesaikan. Kesadaran ini sekaligus akan mendorong para pemimpin negeri ini untuk bersama merampungkan kerja yang belum selesai. Tanpa kerjasama, tuduhan tebar pesona hanyalah wacana untuk mendapatkan pesona.*

No comments: