Tuesday, January 09, 2007

Opini

Negara, Agama, dan Perempuan
Koran Tempo
, Senin, 8 Januari 2007

A. Bakir Ihsan

Isu poligami bukan hanya melahirkan sensasi. Ia telah menyeret kembali tarik menarik dua otoritas yang selalu berseteru sepanjang sejarah; negara dan agama. Dan yang menjadi objek dari dua otoritas tersebut adalah perempuan. Negara masih menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua dengan hak-hak politik yang terbatas, sementara agama memosisikan perempuan sebagai makhluk lemah yang harus dikasihi dan dilindungi. Pada titik ini terlihat jelas bahwa kedua otoritas tersebut masih bias jender dan perempuan menjadi terdakwa.

Sensasi poligami yang mencuat saat ini karena melibatkan figur publik yang bergulat dalam bidang agama (dai). Dalam masyarakat yang paternalistik, eksistensi tokoh agama dipahami sebagai sebuah entitas yang tak terpisahkan dari agama. Secara struktural ia diletakkan dalam strata yang tinggi karena dipersepsi sebagai wakil Tuhan di bumi dan secara kultural ia dianggap sebagai manusia yang seluruh gerak-geriknya cerminan dari gerak-gerik Tuhan. Bahkan dalam bentuk yang ekstrem terjadi kultus yang menyebabkan orang bertindak dan bersikap secara taqlid.

Dalam kondisi demikian, tidak berlebihan apabila muncul kekhawatiran langkah poligami sang idola (tokoh agama) menginspirasi umatnya untuk melakukan hal yang sama tanpa reserve. Kenyataan ini sekaligus merupakan problem kesadaran beragama yang sering melihat sosok (simbol) sebagai representasi keagamaan. Simbolisasi-simbolisasi menyebabkan kesadaran terjebak dalam ketakberdayaan untuk memilah secara jernih antara ajaran agama dan pengaruh budaya, termasuk dalam hal poligami.

Tiga kepentingan
Responsi atas praktik poligami dapat dipahami dalam tiga perspektif. Pertama, perspektif negara. Dalam perspektif negara, poligami merupakan bagian dari tata kehidupan sosial, sehingga layak untuk diatur agar tidak liar dan memunculkan ketidakstabilan sosial. Walaupun poligami merupakan masalah pribadi, namun karena sudah masuk di ruang publik dan arena sosial, maka negara tidak bisa membiarkannya. Itulah sebabnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa perlu memperketat sekaligus memperluas cakupan aturan poligami melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990. Menurut Presiden, revisi tersebut merupakan upaya revitalisasi atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa asas perkawinan di Indonesia adalah monogami (satu suami satu istri). Dan UU Perkawinan tersebut dengan sendirinya mengikat seluruh warga negara.

Kedua, perspektif (elit) agama. Elit agama melihat poligami sebagai sesuatu yang tidak dilarang oleh agama. Bahkan sebagian menganggapnya sebagai bagian dari ajaran agama (sunah Nabi) yang dilaksanakan apabila mampu. Paling tidak pandangan ini terepresentasi dari pernyataan dua pimpinan organisasi besar Islam, NU dan Muhammadiyah, Hasyim Muzadi dan Din Syamsuddin. Menurut keduanya masalah poligami merupakan masalah personal yang tidak perlu diatur oleh negara. Secara implisit pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa poligami sah adanya dan tergantung pada individu dalam memahami dan memilih untuk melakukan atau tidak.

Ketiga, perspektif masyarakat. Dalam perspektif masyarakat poligami dipahami sebagai tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Secara faktual hal tersebut bisa dilihat dari reaksi negatif atas tindakan poligami yang dilakukan Aa Gym. Reaksi tersebut mencerminkan adanya penolakan atas poligami. Penolakan ini tidak saja karena yang melakukan adalah publik figur, tapi juga karena poligami menjadi menumen superioritas maskulin dan subordinat feminin. Laki-laki ditempatkan sebagai pemilik kasih sayang yang berhak membagi sekaligus menerima dari lebih satu perempuan, sementara perempuan hanya bisa menerima dan berbagi kasih sayang pada satu laki-laki. Inti ketidakadailan bukan hanya pada pembagian kasih sayang yang timpang, tapi pada esensi kasih sayang yang sejatinya tak bisa dibagi.

Berbagi ranah otoritas
Dari ragam kepentingan dan penyikapan terhadap poligami tersebut, negara berfungsi untuk menatanya. Seluruh dinamika kehidupan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari peran negara, karena negara hadir sejatinya untuk itu. Dan di sinilah eksistensi negara dipertaruhkan. Bahkan menurut John Stuart Mill kemajuan peradaban negara bangsa akan tercipta ketika warga negaranya belajar untuk patuh. Dan kepatuhan itu muncul ketika negara mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat.

Problem krusial yang dihadapi negara adalah ketika harus berhadapan dengan otoritas-otoritas lain berdasarkan legitimasi supranatural dan universal, seperti otoritas yang dimiliki agama. Itulah sebabnya selama ini relasi agama dan negara berlangsung secara dialektis. Satu fakta menempatkan agama berada di bawah negara (demokrasi), dan fakta yang lain menempatkan agama di atas negara (teokrasi). Indonesia, melalui ideologi Pancasila, berusaha berdiri di antara kedua kecenderungan tersebut dengan menempatkan agama sebagai nilai-nilai yang mendorong bagi berlangsungnya transformasi sosial.

Namun dalam perkembangannya, upaya-upaya untuk menempatkan agama secara simbolik di atas landasan negara yang berpijak pada pluralitas warga tetap ada. Paling tidak, isu Piagam Jakarta yang sempat mencuat kembali seiring proses amandemen konstitusi dan penguatan perda-perda syariat Islam di beberapa wilayah merupakan potret simbolisasi agama atas negara. Negara dijadikan alat untuk menformalkan ajaran agama yang universal atas ranah sosial yang plural. Inilah muara perjuangan dari kelompok yang mengedepankan simbolisasi dan formalisasi agama.

Dalam konteks poligami tampaknya terjadi paradoks. Kelompok yang berobsesi dan mendukung terhadap merebaknya simbolisasi Islam melalui perda-perda syariat menolak intervensi negara dalam hal poligami. Negara dituduh ikut campur dalam ranah personal yang sepenuhnya menjadi tanggungjawab individu. Padahal kalau mau jujur, perda-perda syariat juga merupakan potret campurtangan terhadap ranah publik yang plural dan personal.

Paradoksalitas serupa juga terjadi di kalangan kelompok anti poligami yang cenderung mengagungkan otonomi individu, keseteraan gender, kebebasan, dan menolak otoritas negara yang serba mencakup. Namun dalam hal revisi dan revitalisasi UU Perkawinan No. 1/1974 yang ditawarkan pemerintah justru mereka mendorong dan mendukungnya.

Realitas di atas menunjukkan bahwa toleransi terhadap intervensi negara bersifat parsial dan subyektif. Selama kebijakan negara mendukung terhadap kepentingannya, maka intervensi negara absah. Begitu juga sebaliknya. Pada akhirnya skop intervensi negara tergantung pada sejauhmana kepentingan masing-masing kelompok terakomodasi dalam kebijakan negara.

Berangkat dari kenyataan tersebut, negara (Presiden Yudhoyono) harus mampu mentransendensikan dirinya di atas tarik menarik dua ektrem pro kontra poligami di atas. Salah satu caranya adalah dengan mengembalikan esensi persoalan (poligami) pada harkat dan hak warga bangsa yang harus diperlakukan secara adil. Eksistensi warga negara tidak diukur oleh perbedaan jenis kelamin, tapi oleh martabat kemanusiaan yang sama. Di sinilah negara harus memainkan dan memperkuat otoritasnya, khususnya dalam penataan kembali relasi laki-laki dan perempuan yang selama ini timpang dan diskriminatif.

Sementara dalam hal penafsiran dan pemahaman atas teks keagamaan, termasuk dalam hal poligami, dikembalikan pada otoritas kaum agamawan atau pemeluk agama masing-masing. Ketika pemahaman tersebut hendak diejawantahkan dan terkait dengan kehidupan sosial, maka negara berhak menatanya. Dengan demikian, masing-masing pemilik otoritas (negara, agamawan, dan masyarakat) dapat berbagi peran secara arif dan bijak untuk kepentingan bersama sebagai warga bangsa yang beragama. Semoga.*

No comments: