Monday, January 15, 2007

Opini

Agenda Diplomasi RI di Tengah Tata Dunia Baru
Investor Daily, Sabtu, 13 Januari 2007

A. Bakir Ihsan

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean kembali digelar. Agenda penting yang dibahas pada KTT Asean ke-12 ini adalah pembentukan Piagam Asean yang nantinya mengubah organisasi menjadi entitas hukum yang mengikat semua anggotanya. Ia tidak lagi berdasarkan konsensus yang longgar dan multiinterpretable. Kehadiran SBY dalam KTT ini menjadi penting untuk mengukuhkan kembali peran politik internasional Indonesia di tengah peta politik global yang multipolar dan terus bergerak melampaui batas-batas ideologi.

Dalam konteks politik global, kita disuguhi oleh beragam fenomena yang menghentak kesadaran. Di penghujung 2006, misalnya, kita menyaksikan sebuah antiklimak politik Irak. Saddam Hussein yang menjadi target utama Amerika Serikat akhirnya meregang nyawa di tiang gantungan. Walaupun kasusnya lebih bersifat internal Irak, namun sulit melepaskan seluruh proses kehidupan politik Irak dari peran Amerika dan sekutunya. Konflik dan ketegangan antara faksi di Irak meledak seiring invasi Amerika. Pemilu yang diyakini sebagai ajang manifestasi dan agregasi beragam kepentingan tak mampu meredam konflik.

Banyak reaksi bermunculan atas hukuman mati tersebut. PM Italia, Romano Prodi, Presiden Prancis, Jacques Chirac, dan Menteri Luar Negeri Finlandia Erkki Tuomioja yang juga ketua periodik Uni Eropa mengutuk eksekusi Saddam. Bahkan Vatikan pun mengutuk hukuman mati, karena tidak sesuai dengan kodrat kemanusiaan.

Fenomena tersebut sedikit banyak menjadi catatan sekaligus peta baru diplomasi internasional. Semakin jelas bahwa diplomasi dunia kini tidak lagi bersifat bipolar atau unipolar, tapi multipolar. Kekuasaan semakin mencair dan efektivitas sebuah diplomasi tidak lagi ditentukan oleh kemampuan berkoalisi dengan negara adikuasa, tapi pada kemampuan menempatkan dan membaca peta diplomasi tersebut.

Dalam konteks politik global dengan segala kompleksitas problemnya, komunikasi dan diplomasi internasional memiliki implikasi yang sangat strategis. Apalagi di tengah nilai-nilai kemanusiaan tercampakkan oleh nafsu hegemoni global dengan segala caranya.

Kekuatan baru
Sejak runtuhnya Uni Soviet, dunia seakan berada dalam satu genggaman kapitalisme global. Bahkan jauh sebelumnya, para endist telah mengumandangkan akhir ideologi (the end of ideology) sebagai simbol kematian musuh kapitalisme. Namun dalam perkembangannya, muncul resistensi dan upaya diametral yang dimainkan oleh beberapa negara untuk melawan hegemoni tunggal yang dimotori Amerika. Iran, Korea Utara, Cina, Rusia, Kuba, dan beberapa negara Amerika Latin lainnya berdiri kokoh berhadapan dengan upaya hegemonik Amerika.

Di sisi lain, negara-negara muslim menjadi “kekuatan” tersendiri di tengah ancaman terorisme. Paling tidak negara-negara yang berpenduduk muslim mendapat “perhatian khusus” dari dunia Barat untuk membantu meminimalisir gerakan-gerakan yang secara faktual dilakukan oleh sebagian kelompok muslim. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan ketakberdayaan Barat berhadapan dengan kompleksitas global yang juga disebabkan oleh ulah dirinya.

Dalam kondisi demikian, politik bebas aktif yang “dipasarkan” Presiden SBY idealnya tampil sebagai upaya sinergis untuk merangkai beragam ideologi dan kepentingan antar negara. Itulah sebabnya politik bebas aktif tetap mendapat relevansi dan urgensinya, bahkan perlu direvitalisasi setelah sekian lama terdistorsi. Sebagaimana diketahui, dari tiga kali pergantian rezim di republik ini politik luar negeri yang bebas aktif ditampilkan dalam beragam wajah yang sama sekali tidak mencerminkan netralitasnya sebagai esensi dari “politik bebas aktif”. Ia tercerabut dari esensinya sebagai media untuk memperlakukan semua negara secara sama untuk kedamaian dunia.

Tiga kecenderungan
Di tengah pergolakan global, ada tiga kecenderungan besar yang patut mendapat perhatian serius dalam proses revitalisasi politik bebas aktif. Hal ini terkait dengan ikatan historis yang sulit dilepaskan dalam langgam diplomasi Indonesia.

Pertama, negara Amerika dan sekutunya, seperti Inggris dan Australia. Amerika dan sekutunya tampil sebagai kekuatan fenomenal seiring dengan aksi terorisme. Dengan kekuatan persenjataan dan hegemoninya, mereka bersekutu memborbardir negara-negara yang dicurigai menjadi sarang teroris, seperti Afghanistan dan Irak. Indonesia tidak bisa mengabaikan eksistensi kelompok ini. Secara historis Indonesia memiliki kaitan dengan kelompok Amerika cs ini. Dalam bidang ekonomi, tampilnya mafia Berkeley yang mewariskan ekonomi pro pasar merupakan bukti konkret kedekatan Indonesia dengan Amerika dan sekutunya. Bahkan dalam beberapa peristiwa politik, seperti penggulingan Soekarno, Amerika (CIA) dianggap sebagai bagian yang bermain di balik layar. Kenyataan tersebut mempertegas bahwa peran Amerika dan sekutunya sulit dilepaskan dalam konteks diplomasi Indonesia.

Kedua, negara yang berdiri diametral atau memiliki orientasi politik berbeda dengan Amerika, seperti Rusia dan Cina. Peran kelompok ini cukup signifikan di tengah kecenderungan uniteralisme yang diterapkan Amerika. Kelompok ini menjadi kekuatan alternatif (penyeimbang) baik secara ideologis maupun sebagai bentuk perlawanan terhadap Amerika, seperti yang dilakukan negara-negara Amerika Latin, termasuk Iran dan Korea Utara. Dengan negara-negara kelompok ini, Indonesia memiliki akar historis melalui relasi politik, khususnya yang pernah dibangun oleh Soekarno. Hal ini yang coba dihidupkan kembali oleh Presiden SBY, salah satunya, melalui pengembangan kerjasama yang lebih erat dengan negara-negara komunis seperti Rusia dan Cina. Begitu juga dengan negara-negara yang tergabung dalam gerakan non-blok.

Ketiga, negara-negara muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Sebagai anggota OKI secara inheren Indonesia memiliki relasi yang tidak saja bersifat historis, namun organisatoris yang sejatinya dapat menjadi modal untuk merangkul berbagai kepentingan di antara negara-negara muslim. Hal ini penting dilakukan karena fragmentasi dalam tubuh OKI tersebut telah berdampak pada mandulnya bargaining position di tengah hegemoni diplomasi global. Berlarut-larutnya konflik di Timur Tengah merupakan potret disfungsi peran organisasi ini. Indonesia dengan posisi politiknya yang moderat (netral) bisa merevitalisasi fungsi organisasi ini. Paling tidak proposal tentang penyelesaian Irak yang didukung oleh Rusia, Jepang, dan beberapa negara Timur Tengah lainnya, bisa menjadi kunci untuk merevitalisasi fungsi organisasi ini sekaligus eksistensi politik bebas aktif yang mulai dimainkan oleh SBY.

Mencairkan dunia
Polarisasi peta politik global bisa mencair sesuai kepentingan dan arah yang dimainkan oleh masing-masing negara baik berdasarkan geopolitik, ekonomi, maupun sosial budaya. Kerjasama Indonesia dengan berbagai negara yang beragam ideologi dan kepentingannya cukup signifikan dan perlu direvitalisasi. Di samping dapat mempererat relasi global secara egaliter, juga dapat menepis stigma bahwa Indonesia menjadi antek negara tertentu. Stigmatisasi ini tentu menjadi beban tersendiri bagi SBY yang berusaha bersikap egaliter terhadap semua negara. Kerjasama lintas ideologi ini mengharuskan Indonesia membuka pintu selebar-lebarnya bagi semua negara untuk menjalin hubungan diplomasi dan kerjasama yang intensif bagi kepentingan dunia.

Kerjasama internasional tidak selamanya berdasarkan kepentingan ekonomi atau untung rugi secara finansial. Kalau pertimbangannya hanya kepentingan bisnis semata, tentu Amerika dan sekutunya lebih menguntungkan karena mereka saat ini menguasai pasar dunia, termasuk dalam hal persenjataan. Namun SBY mencoba mencari celah sekaligus sinergi di antara ragam kepentingan yang menyebabkan dunia terfragmentasi secara politik. SBY justru mempergunakan politik luar negerinya untuk mencairkan fragmentasi sekaligus stigmatisasi yang tidak produktif bahkan tidak jarang menyulut konflik.

Dari tawaran ini semakin jelas bahwa politik bebas aktif harus dilandaskan pada upaya mencairkan kecenderungan hegemonisasi sekelompok negara. Dengan kata lain, politik bebas aktif harus dioperasikan sebagai paradigma kesetaraan (equality) global yang mengedepankan diplomasi daripada invasi. Kalau tidak, politik bebas aktif hanya upaya membangun citra dikala bencana kemanusiaan menghantui dunia akibat obsesi negara adidaya.*

No comments: