Tuesday, January 09, 2007

Opini

SBY dan Sandera Parpol
Seputar Indonesia
, Selasa, 9 Januari 2007

A. Bakir Ihsan

Aroma politik 2009 mulai memuai. Perlahan tapi pasti, masing-masing kekuatan mempersiapkan diri. Manuver-manuver politikpun bertebaran mulai konsolidasi internal partai sampai pendirian partai baru. Tujuan akhirnya adalah meraih simpati untuk berkuasa. Dalam bahasa Syafii Maarif, masing-masing menjadikan demokrasi sebagai matapencarian. Konsekuensinya kekuasaan menjadi target untuk diperjualbelikan dengan isu yang diputarbalikkan. Kenyataan ini tentu merisaukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pemegang tampuk kekuasaan yang hendak menyelesaikannya hingga 2009. Atas dasar itu, memasuki tahun ketiga kepemimpinannya Presiden SBY menegaskan komitmennya untuk lebih tegas dengan bahasa yang lebih jelas dalam menahkodai kapal NKRI ini.

Sulit dipungkiri bahwa dinamika kenegaraan baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun sosial budaya saat ini belum sampai pada titik kesempurnaan. Itulah sebabnya beragam ranah kehidupan bangsa perlu terus diwacanakan untuk menemukan celah penyempurnaan dan diperjuangkan untuk menutup kekurangannya. Upaya ini bisa diejawantahkan apabila gerak kekuasaan bisa lebih leluasa dan partai politik mengontrolnya, bukan mengekangnya.

Namun pada kenyataannya, eksistensi partai politik sangat dominan dalam menentukan arah kekuasaan. Bahkan sejak awal pemerintahan SBY, tarik menarik kepentingan partai politik terlihat jelas, khususnya dalam penyusunan kabinet. Realitas ini ternyata menjadi awal dari campur tangan partai terhadap wilayah prerogatif presiden khususnya dalam mengangkat para pembantunya.

Campur tangan ini secara tidak langsung merupakan sandera bagi hak politik eksekutif (presiden). Tampaknya sandera politik ini cukup efektif dioperasikan oleh partai besar, seperti partai Golkar. Terlihat jelas dari beberapa manuver yang dimainkan Golkar membuat istana kelabakan. Terakhir kasus UKP3R (Unit Kerja Presiden untuk Program Pengelolaan Reformasi) yang sempat membuat karut marut tata relasi partai politik (Golkar) dengan kekuasaan (Presiden SBY) menjadi bukti jelas manuver partai berhadapan dengan prerogatif presiden.

Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa eksistensi partai politik menjadi kekuatan yang memiliki bargaining position yang cukup kuat berhadapan dengan kekuasaan. Dan fenomena ini akan tetap mewarnai dunia perpolitikan di tahun 2007. Oleh sebab itu, memotret peta politik di masa yang akan datang tidak bisa dilepaskan dari sepak terjang partai politik yang memiliki kekuatan besar di parlemen. Dalam hal ini adalah partai Golkar.

Dari manuver ke manuver
Sebagai peraih kursi terbesar pada pemilu 2004, sejak awal Golkar telah memainkan manuvernya. Di bawah komando Akbar Tanjung, Golkar membangun koali kebangsaan untuk mengambil jarak dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK). Kader Golkar yang menerima tawaran menteri SBY-JK dipecat. Namun manuver tersebut tidak belangsung lama karena Akbar Tanjung harus mengakui keunggulan Jusuf Kalla (JK) dalam Munas VII Golkar di Bali (19/12/2004). Sejak itu peta politik Senayan pun berubah.

Namun bagi Golkar gerak politik tak pernah berakhir. Kemenangan JK yang juga wapres menjadi peluang untuk semakin mengendalikan kekuasaan melalui penguatan di kabinet. Dan Golkar pun menebar beragam wacana untuk mereformulasi komposisi warna-warni kabinet.
Tampaknya manuver ini cukup efektif. Paling tidak dalam reshuffle kabinet terbatas Desember 2005 Golkar berhasil menambah satu kursi, yaitu Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Keberhasilan ini ternyata semakin melambungkan hasrat Golkar untuk mendapatkan lebih. Taktik pun terus ditebar untuk mengembangkan sayap kekuasaannya. Beragam wacana pun ditebar mulai perlunya menteri muda sampai perdana menteri atau pendelegasian yang lebih besar pada Wapres yang juga ketua umum Golkar. Namun wacana ini tak bersambut sampai SBY membentuk UKP3R yang dijadikan sasaran empuk untuk “memaksa” SBY berpikir ulang tentang Golkar.

Walaupun Golkar menyatakan diri sebagai mitra pemerintah, namun ia tetap menyisakan harapan adanya perombakan kabinet. Dengan kata lain dukungan yang diberikan Golkar merupakan kemitraan bersyarat. Dan ini dipertegas oleh Jusuf Kalla dengan istilah keringat. Kemitraan (garansi) bersyarat ini secara tidak langsung menjadi kerangkeng bagi SBY yang sejatinya memiliki hak prerogatif untuk mereposisi para pembantunya. Apalagi harapan perombakan kabinet yang dilontarkan Golkar, konon disertai daftar nama-nama kader Golkar yang diusulkan untuk menjadi menteri dalam reshuffle yang akan datang.

Demokrasi angka
Secara konstitusi, presiden berhak mengabaikan suara-suara partai politik dalam mengevaluasi maupun merombak anggota kabinetnya. Namun dalam demokrasi yang masih mempertimbangkan kekuatan angka (kursi), sistem presidensial ini menjadi kurang efektif. Tetap saja presiden harus mempertimbangkan kalkulasi kepentingan politik partai. Kabijakan, bahkan konstitusi dalam demokrasi seperti ini tidak mengikat para elit. Justru sebaliknya, elit yang menentukan konstitusi. Inilah bukti bahwa demokrasi di negeri ini masih bercorak numerik (numeric democracy). Yaitu demokrasi yang lebih mempertimbangan kuantitas kursi daripada kualitas diri.

Secara logika, dalam sistem demokrasi numerik ini tuntutan proporsionalitas kursi yang diminta Golkar sah-sah saja sepanjang berada dalam koridor presidensialisme yang menjadi kesepakatan konstitusional. Yaitu tetap menghargai hak prerogatif presiden yang memperoleh mandat langsung dari rakyat.

Namun harapan tersebut tampaknya jauh panggang dari api. Golkar sebagai partai tertua dan terlama berkuasa, tetap menyisakan post power syndrom untuk meraih kekuasaan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi. Pada titik ini parpol belum bisa menunjukkan kualitas diri sebagai partai politik yang mencerdaskan, rasional, dan peduli pada problematika sosial. Orientasi kekuasaan melampaui kehendak bersama untuk menyelesaikan masalah bangsa. Terbukti mereka lebih mengedepankan emosionalitas kepartaiannya daripada melihat substansi agenda yang harus diimplementasikan bagi kepentingan negara-bangsa. Di sini semakin terlihat bahwa partai politik masih mendahulukan simbol-simbol kepartaiannya daripada simbol kebangsaan secara keseluruhan.

Reorientasi Partai Politik
Sepak terjang partai politik dan para kadernya di Senayan lebih banyak berkisar pada ranah formal kepentingan politik, bukan pada substansi kebijakan. Dalam hal Keppres tentang pembentukan UKP3R, misalnya, terlihat jelas bahwa persoalannya lebih pada konsesi politik pragmatis daripada substansi dan urgensi eksistensi institusi. Kenyataan ini semakin membuat jarak sekaligus mencerabut fungsi partai dari akarnya, yaitu rakyat. Partai lebih banyak bergantung ke atas (kekuasaan) tanpa akar yang kuat di masyarakat.

Sejatinya relasi partai dengan kekuasaan didasarkan pada kualitas relasi penguasa dengan rakyat. Ketika kebijakan dan langkah-langkah yang diambil penguasa berjarak dengan kepentingan rakyat, maka parpol menjadi media paling efektif untuk mengontrolnya. Begitu juga ketika kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berjalin berkelindan dengan kepentingan masyarakat, maka parpol bisa mendukungnya. Di sinilah fungsi parpol sebagai media agregasi aspirasi masyarakat sejatinya ditonjolkan. Ketika parpol lebih berorientasi pada kekuasaan an sich, maka akan terjadi dua kemungkinan, yaitu perselingkuhan legislatif-eksekutif atau perpecahan yang berdampak pada instabilitas politik.

Kalau kerangka konsesi politik pragmatis tetap menjadi paradigma partai politik, maka selama itu pula istana (presiden) akan tersandera dan rakyat akan menderita. Inilah sebuah sistem presidensial yang terpatri dalam konstitusi, namun terkunci untuk diaplikasi. Kenyataan ini merupakan rangkaian dari dilema konstitusi yang tak lagi mengikat elit, tapi elit mengendalikan, bukan mewujudkan, konstitusi. Di sinilah urgensi reorientasi paradigma partai politik yang sejatinya dikawal partai-parti besar, untuk kembali pada konstitusi. Selama hal ini dibiarkan, maka demokrasi akan mengalami involusi.*

No comments: