Saturday, March 23, 2013

Kudeta




Opini

KUDETA UNTUK SIAPA?
Rakyat Merdeka Online, Jum’at, 22 Maret 2013

A. Bakir Ihsan

Istilah kudeta tiba-tiba menyeruak di antara gaduh politik negeri ini. Seperti petir di siang bolong, ia menghentakkan kesadaran untuk didiskusikan, direspon, bahkan disikapi secara serius. Sudah seriuskah masalah kita?

Pertanyaan ini penting karena kudeta tak sekadar pergantian atau pemunduran Presiden, tapi, melibat situasi dan kondisi yang mendorong kelahirannya. Kudeta bukan petir di siang bolong atau hujan di tengah terik. Ada prakondisi yang memungkinkannya dan berlangsung dalam rangkaian waktu serta adanya topangan kekuatan. Akumulasi kekecewaan tak cukup jadi alasan untuk kudeta. Di dalamnya harus ada akumulasi kekuatan untuk memecah konsentrasi kekuasaan.

Edward Luttwak dalam bukunya, Coup D'État: A Practical Handbook (1978), menempatkan militer sebagai elemen penting dalam kudeta. Negeri ini tak punya banyak pengalaman dalam kudeta. Mungkin hanya pada Soekarno, sebagian ahli menyebutnya sebagai kudeta karena didahului oleh huru-hara yang melibatkan tentara. Setelah itu tak ada lagi. Ini berbeda dengan Thailand yang terbiasa dengan kudeta yang dimotori atau didukung oleh kekuatan tentara.

Isu dalam kudeta hanya pengantar untuk menyulut berseminya kekuatan bersama berhadapan dengan kekuasaan. Kalau kita urai isu yang muncul atau dimunculkan saat ini masih berkutat pada isu-isu yang sejak awal sudah dilantunkan oleh sebagian orang atau kelompok yang tak jauh berbeda pula. Kegagalan pemerintah menjadi isu yang sering diulang-ulang tanpa respon berarti dalam memancing gelombang gerakan. Ini bisa bermakna bahwa isu yang dimunculkan tak berpijak pada seluruh realitas yang dirasakan oleh masyarakat.

Kudeta dan pergantian kekuasaan mensyaratkan banyak faktor. Krisis ekonomi sering menjadi salah satu pemicu mudahnya ledakan kudeta atau sejenisnya. Mundurnya Soeharto pada 1998 bermula dari krisis ekonomi. Krisis ekonomi menjadi pemantik dari persoalan otoritarianisme kekuasaan ditambah kekecewaan kalangan elite yang bersambut dengan gerakan mahasiswa yang tak hanya mengorbankan daya, tapi nyawa. Sebuah ongkos pergantian kekuasaan yang sangat mahal. Banyak rangkaian faktor untuk sampai pada sumbu ledak kudeta atau sejenisnya.

Setiap orang punya persepsi dan opini tentang kondisi kekuasaan saat ini. Tapi satu hal yang tak bisa dimungkiri bahwa kekuasaan saat ini lahir dari proses demokrasi bukan intimidasi. Mulai tingkat kabupaten, kota, gubernur, sampai presiden rakyat yang menentukan, tanpa paksaan. Setiap ada paksaan, orang bisa bersuara. Inilah buah demokrasi paling besar yang tak pernah dirasakan pada periode sebelumnya. Dalam demokrasi ada mekanisme, ada aturan, dan tahapan yang harus dilalui dan ditaati, termasuk untuk kekuasaan berganti. Demokrasi hadir, salah satunya, agar pergantian kekuasaan pasti sesuai konstitusi. Karena itu, kita harus mengawalnya bukan melampauinya. Kudeta adalah tindakan melampaui demokrasi sekaligus konstitusi. 

 http://www.rmol.co/read/2013/03/22/103214/Kudeta-Untuk-Siapa