Tuesday, December 04, 2007



Opini

Eksploitasi Mimpi-Mimpi Kekuasaan
Media Indonesia
, Selasa, 4 Desember 2007

A. Bakir Ihsan

Aroma kekuasaan belakangan ini semakin menyengat. Pemilu yang masih satu setengah tahun lagi dihadirkan lebih awal melalui berbagai manuver kekuasaan. Beberapa calon presiden berusaha meraih simpati rakyat dengan beragam strategi, jauh sebelum lonceng pemilu dibunyikan. Kegagalan pemerintah dan kemiskinan menjadi komoditi yang diperdagangkan oleh para calon.

Megawati Soekarnoputri melakukan roadshow politik mengelilingi pulau Jawa dan rencananya akan dilanjutkan di luar Jawa. Safari politik di bawah bendera “Megawati Menyapa Rakyat” ini mengunjungi tempat-tempat di mana keluh kesah tentang kegagalan pemerintah dapat didengar.

Sementara Jenderal (Purn.) Wiranto secara terbuka beriklan diri untuk menyejahterakan rakyat. Dengan angka kemiskinan yang dirujuk dari Bank Dunia, ia yakin bisa menghapus angka itu pada titik terendah. Tapi itu akan tercapai bila dirinya dipilih sebagai orang nomor satu di republik ini. Sebuah komitmen yang sarat dengan kepentingan.

Sebagai sebuah manuver politik, tentu tidak ada korelasi antara isu yang diembuskan dengan kapasitas dan kualitas sang pengembus. Semua dioperasikan untuk meraih simpati. Belum ada bukti konkret keberhasilan kedua calon ini dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Paling tidak kemiskinan sampai saat ini masih eksis. Namun demikian, isu kemiskinan akan menjadi isu yang laku dijual di tengah “permintaan pasar” yang begitu kuat.

Wacana politis
Sulit dimungkiri bahwa kemiskinan di negeri ini menjadi agenda yang tak ada habisnya. Sejak lahir, negara ini berkubang dalam kemiskinan yang seakan menjadi keharusan. Pelbagai upaya yang dilakukan pemerintah tak juga membuahkan hasil yang maksimal. Hal ini sekaligus menjadi potret kegagalan rezim-rezim yang pernah berkuasa di negeri ini.

Banyak teori yang membedah masalah kemiskinan baik yang berbasis pada budaya (kultural) maupun pada sistem (struktural). Ragam perspektif ini menjadi tarik ulur di antara pengamat dan pengambil kebijakan. Dalam ranah budaya, pendidikan digalakkan untuk menumbuhkan apa yang oleh David McClelland disebut sebagai kehendak berprestasi (need for achievement). Sementara secara struktural kebijakan-kebijakan diglontorkan untuk mempersempit ruang kemiskinan. Namun kemiskinan tak juga lekang. Ia bergerak dari satu titik ke titik yang lain secara zigzag, tapi dalam satu garis yang sama.

Paling tidak ada tiga pemaknaan atas realitas involusi kemiskinan tersebut. Pertama, masalah kemiskinan belum ditangani secara komprehensif sehingga hasilnya pun bersifat tambal sulam. Hal ini terkait dengan pergantian rezim yang tidak satu nafas. Regularitas kepemimpinan di negeri ini berlangsung secara tidak normal. Pergantian ditandai oleh keterpaksaan atau ketidaktulusan untuk melepas jabatan. Konsekuensinya penyelesaian kemiskinan lebih bersifat karikatif, non substantif.

Kedua, kemiskinan dipandang sebagai beban pemerintah (negara) semata. Pemahaman seperti ini dengan sendirinya menjadi problem bagi negara yang secara finansial sangat terbatas. Namun keterbatasan negara ini tidak serta merta menggugah masyarakat (swasta) untuk bergerak bersama memberantas kemiskinan. Bahkan sebagian orang menjadikannya sebagai sebuah komoditas. Konsekuensinya ketiga, kemiskinan cenderung menjadi wacana politis (kekuasaan) yang mengaburkan substansi dari problem kemiskinan itu sendiri.

Dari pembacaan tersebut terlihat jelas bahwa kemiskinan tidak bisa diletakkan secara parsial dan dibebankan pada negara semata atau pada satu periode kekuasaan. Kemiskinan merupakan warisan berantai antar rezim yang menuntut kebersamaan bukan saling lempar batu sembunyi tangan.

Kompleksitas kemiskinan
Masalah kemiskinan menjadi problem utama setiap rezim berganti. Saat ini, di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemiskinan juga menjadi agenda yang selalu menjadi sorotan. Dari beberapa program yang ditawarkan pemerintah, terlihat jelas masalah kemiskinan mendapat perhatian ekstra. Paling tidak hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kegiatan seperti dukungan atas beroperasinya rumah sehat yang merupakan tempat pengobatan gratis bagi masyarakat miskin, program sejuta rumah sehat yang diperuntukkan bagi mereka yang penghasilannya pas-pasan, dan peluncuran program Kredit Usaha Rakyat. Ketiga bentuk kegiatan ini merupakan langkah konkret bagi upaya pengurangan jumlah rakyat miskin yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) masih cukup tinggi walaupun mengalami penurunan.

Langkah yang dilakukan pemerintah, tentu tidak serta dapat menghapus kemiskinan secara simultan. Di samping telah mendarah daging, kemiskinan juga merupakan rangkaian dari realitas yang multikompleks. Bahkan menurut Deepa Narayan, senior advisor World Bank, kemiskinan telah terjebak dalam kutub yang saling mengunci, sehingga ia harus diurai secara spesifik baik dalam konteks kultural maupun struktural, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun global. (that poverty is multidimensional and complex -- raising new challenges to local, national and global decision-makers).

Namun demikian, spesifikasi tersebut tetap memiliki benang merah yang ikut mengantarkan kemiskinan tetap eksis. Kemiskinan hanya akibat dari sebuah sistem yang menyebabkannya selalu terlempar pada pojok-pojok sejarah.

Menjual mimpi
Melihat kenyataan tersebut, terngiang kembali pernyataan Mahatma Gandhi yang menyatakan, dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tapi tak akan pernah cukup untuk satu orang yang serakah. Ironis memang. Semua negara berdiri di atas optimisme kekayaan alam yang dimilikinya. Namun yang terjadi sebaliknya. Keserakahan telah mengubur semua mimpi. Keserakahan ini semakin mengancam ketika ditopang oleh kekuasaan. Korupsi merupakan bentuk konkret dari perselingkuhan kekuasaan dan keserakahan.

Walaupun sejak awal presiden Yudhoyono menyatakan perang terhadap korupsi, namun ia seperti jamur yang terus berkecambah. Korupsi tidak saja menjadi perilaku aparatur negara, tapi layaknya nafas yang menggerakkan sebuah sistem. Mencabut korupsi sama dengan mencabut nyawa sistem itu. Di sinilah pemberantasan korupsi menjadi ambigu bila tidak disertai political will yang kuat dari negara. Kuat tidaknya sebuah negara ditentukan oleh kemampuannya mengembalikan seluruh fungsi organnya (lembaga-lembaga negara) sesuai fitrahnya (konstitusi).

Memang tidak ada korelasi positif antara korupsi dan kemiskinan. Namun keduanya bersenyawa dalam menggerogoti kekuatan negara. Kuasa dan keserakahan akan mengantarkan seseorang menjadi koruptor dan berakibat pada tersumbatnya akses kesejahteraan yang seharusnya dinikmati kaum miskin.

Inilah yang seharusnya dikedepankan oleh para calon presiden. Kemiskinan hanyalah dampak dari perilaku elit yang serakah sehingga rakyat terus menjadi korban. Karena itu, kita harus selalu khawatir atas syahwat kekuasaan yang mulai menggeliat belakangan ini. Apakah kekuasaan untuk kekuasaan (kerakusan) atau untuk rakyat. Semua masih pada janji, tinggal waktu yang akan menguji. Tapi kita boleh berasumsi, bahwa sampai detik ini penyelesaian masalah kemiskinan sebatas mimpi. Dan bila mimpi itu terus digembar-gemborkan akan terselesaikan melalui kekuasaan, semua itu tak lebih bentuk eksploitasi atas mimpi-mimpi.*