Tuesday, August 22, 2006

Opini

Indonesia Negeri Terkapling
Media Indonesia, Selasa 22 Agustus 2006

A. Bakir Ihsan

Negara sebagai sebuah teritorial sudah final. Gugusan pulau-pulau bersatu dalam sebuah ikatan yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun negara sebagai rangkaian dinamis sejumlah entitas sangatlah labil. Nation as imagined community semakin tua. Tua bisa menjadi simbol semakin dewasa, tapi juga simbol lupa karena renta. Keduanya tergantung pada cara memupuk ragam entitas yang hadir di negeri ini.

Semakin kuat transendensi primordialitas masing-masing entitas, menunjukkan negara ini berhasil memupuk warganya yang beragam. Sebaliknya ketika tuntutan-tuntutan primordialistik mencengkram, imagined community akan semakin terancam. Dalam kacamata demokrasi, kedewasaan sebuah bangsa ditentukan oleh sejauhmana negara mampu menyuburkan keragaman dalam bingkai kebersamaan dan menegakkan kebersamaan tanpa menyobek keragaman.

Proses pendewasaan yang salah kaprah terhadap negara dapat mempercepat kepikunan negara. Orde Baru memperlakukan negara sebagai monster yang totaliter demi stabilitas nasional. Hasilnya bukan stabilitas negara, justru menyiram bensin pada altar primordialisme. Tidak heran apabila lempengan primordial mulai bergerak mengancam negara saat euforia menjadi berhala.

Ada yang tergerak untuk menguatkan kembali eksistensi negara bangsa (nasionalisme), sebagian lagi begitu asyik membangun demarkasi berdasarkan kepentingan primordialnya. Primordialisme dan nasionalisme merupakan dua kata yang tak mungkin kompromi. Primordialisme mengacu pada eksklusivitas dan homogenitas, sementara nasionalisme mengagungkan inklusivitas dan pluralitas. Kompromi hanya mungkin melalui proses transendensi. Disinilah political will kebangsaan, sebagaimana digagas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi penting karena politik di negeri ini telah menorehkan sejarah yang centang perenang akibat personifikasi kekuasaan. Kebangsaan hanya menjadi khutbah yang dikumandangkan setiap Agustusan. Setelah itu kita seakan kembali hidup di negeri tak bertuan.

Lempengan primordial
Secara historis negeri ini berdiri di atas lempengan-lempengan primordialisme, baik atas nama suku, agama, maupun lainnya. Rekaman sejarah politik kita menunjukkan cita negara yang bersifat komunal-primordial, seperti negara Pasundan, Jawa, Madura, Borneo, Negara Islam Indonesia (NII), dan beberapa gerakan separatis lainnya.

Herbert Feith mengurai lempengan primordial yang menjadi pijakan bumi NKRI ini dalam tiga kelompok masyarakat, yaitu plural, mosaik, dan multigrup. Masyarakat plural ditandai oleh demarkasi yang begitu kuat antara warga asli dan keturunan; Cina, Arab, dan Eurasia. Masyarakat mosaik dicirikan oleh diversifikasi kelompok-kelompok etnis yang ratusan jumlahnya dengan identitas tradisionalitasnya. Sementara masyarakat multigrup ditandai oleh adanya kelompok-kelompok yang bersatu dalam lingkup yang lebih besar dengan keanggotan lebih besar pula. Lempengan primordial ini tidak mungkin dieliminier dari kesadaran kita, karena ia hadir sebelum republik ini lahir. Justru kemampuan mengelola keragaman tersebut dapat menjadi energi ekstra bagi eksistensi republik ini.

Di era reformasi lempengan-lempengan primordial tersebut mencair mengikuti genderang politik yang ditabuh kaum politisi. Otonomi daerah sebagai upaya penguatan daerah dijadikan ajang eksklusi daerah terhadap pusat. Menjamurnya peraturan daerah yang berdasarkan keyakinan tertentu merupakan bukti konkret yang dapat menenggelamkan imajinasi kebangsaan. Otonomi daerah yang seharusnya menjadi media aktualisasi potensi-potensi lokal, justru melahirkan raja-raja baru yang tak kalah eksploitatifnya dengan sistem yang sentralistik. Menguatnya semangat pengaplingan ini disebabkan oleh orientasi liar partai politik. Partai politik saat ini secara de facto tampil sebagai kekuatan sangat menentukan warna-warni kekuasaan. Di sinilah dilema muncul. Negara yang seharusnya berdiri kokoh di atas pluralitas tersegmentasi oleh kepentingan pragmatis partai politik. Munculnya perda-perda bercorak keagamaan lebih mencerminkan kepentingan pragmatis parpol untuk menarik simpati-emosional massa daripada upaya pemberdayaan politik secara rasional. Padahal keputusan tersebut menjadi lahan subur bagi eksklusivitas yang mengubur persamaan, menebalkan pengelompokan (kami) dan menegasikan yang lain (the others).

Partai politik telah membawa kebijakan otonomi sebagai kesempatan untuk mengebiri kekuasaan pusat. Otonomi daerah sering dipahami sebagai kebebasan memperjuangkan kepentingan melampaui altar kebangsaan. Konsekuensinya siapa mayoritas dialah yang menang. Fenomena ini dapat menjadi preseden buruk bagi kebersamaan dan pluralitas yang sampai saat ini mampu dipertahankan walau hanya melalui imajinisasi tentang negara bangsa.

Orientasi kekuasaan an sich
Eksistensi partai politik sejatinya menjadi garda terdepan bagi pemberdayaan politik yang merekatkan keragaman warga. Hal ini akan ditentukan oleh platform partai dan visibilitas aktualisasinya. Namun karena pertimbangannya adalah tingkat laku parpol, maka platform politik (political platform) di antara sekian parpol cenderung monolitik dan legalistik-formalistik. Mereka cenderung bergulat dalam isu-isu besar dan seragam yang dianggap laku. Konsekuensinya terjadi inflasi isu yang pada akhirnya melahirkan isu murahan. Keberanian untuk berbeda menjadi hantu bagi parpol karena khawatir tidak marketable dan acceptable. Pada titik ini parpol yang seharusnya menjadi pilar demokrasi yang berpijak pada penghargaan pluralitas, menjebak masyarakat untuk berpikir linear, pragmatis tanpa alternatif.

Belum ada parpol yang secara konsisten mengaktualisasikan platformnya yang bersifat spesifik, seperti masalah lingkungan, buruh, petani, atau identitas spesifik lainnya. Kalau pun ada parpol yang mengidentifikasi dirinya pada salah satu isu tersebut, biasanya lebih bersifat simbolik dan karitatif. Konsentrasi dan orientasinya tetap pada kekuasaan, bukan pada pemberdayaan isu-isu spesifik tersebut. Fakta politik di negeri ini menunjukkan orientasi kekuasaan lebih menonjol daripada orientasi kebangsaan. Paling tidak dari wacana yang sering dilontarkan oleh para politisi memperlihatkan bahwa kekuasaan adalah segalanya. Isu reshuffle kabinet (baik perampingan maupun penambahan menteri muda), perlunya perdana menteri, percepatan pemilu dan isu kekuasaan lainnya lebih dominan daripada wancana sosial kemasyarakatan. Bahkan warna-warni partai yang melingkupi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) ditengarai sebagai pemicu lambannya kinerja kabinet. Masing-masing terbebani oleh kepentingan partainya.

Lemahnya pijakan platform ini berimplikasi pada rentannya soliditas parpol. Parpol mudah pecah dan bergulat dalam konflik yang berkepanjangan. Dalam kondisi demikian, agenda pemberdayaan politik masyarakat jelas hanya mimpi. Wajar kiranya bila parpol sulit mendapat tempat di hati rakyat. Anehnya di tengah harga diri parpol terus menurun di mata rakyat, sebagian orang berlomba mendirikan partai politik atas nama kepentingan rakyat.

Kenyataan tersebut merupakan tantangan bagi konsolidasi demokrasi di negeri ini. Realitas parpol yang rapuh karena tidak berpijak di hati rakyat dapat mengancam eksistensi demokrasi. Belum lagi personifikasi kekuasaan (jabatan) yang dilakukan parpol. Terjadinya personifikasi jabatan berdasarkan parpol dapat mendistorsi public service sebagai misi utama jabatan. Dan hal ini tampaknya sulit dielakkan di tengah orientasi kekuasaan yang begitu kuat dan lemahnya visi kebangsaan. Apalagi menjelang pemilu 2009, konsolidasi kader partai baik yang ada di legislatif dan eksekutif akan gencar dilakukan untuk kepentingan mobilisasi massa. Paling tidak itulah yang dimulai oleh Megawati pada Mei lalu dengan mengundang 148 kepala daerah yang terpilih melalui PDIP ditambah 143 ketua DPRD untuk beraudiensi dengan tema sosialisasi platform perjuangan PDIP. Tentu ada korban dari konsolidasi seperti ini. Yaitu tersingkirnya kaum minoritas politik. Langkah ini sekaligus mempertegas kepentingan parpol di atas kepentingan warga bangsa.

Kenyataan tersebut patut kita khawatirkan, karena baru saja kita mengesahkan UU Kewarganegaraan yang oleh sebagian orang dianggap sebagai terobosan baru bagi eksistensi warga bangsa tanpa kasta. Namun semua produk ini akan sia-sia apabila partai politik masih memainkan primordialisme (kepentingan kelompok) sebagai basis kekuatan partainya.

Kapling politik yang dilakukan parpol ini menjadi pembuka bagi pengaplingan ranah publik lainnya. Masing-masing politisi berjuang untuk memperoleh sumber ekonomi sebesar-besarnya untuk kepentingan kelompoknya. Isu percaloan yang melibatkan beberapa anggota DPR merupakan puncak gunung es problem orientasi kebangsaan. Masing-masing menggerek bendera partai politiknya demi fasilitas kelompoknya. Akibat distorsi orientasi kebangsaan pula anggota DPR menggunakan dana serap aspirasi hanya untuk memperkuat konstituen partainya dan eksistensi dirinya, bukan untuk pemberdayaan politik warga bangsa tanpa kasta. Semakin lengkaplah pengaplingan negara ini. Mudah-mudahan ini bukan gejala munculnya Negara Kapling Republik Indonesia (NKRI).*

Wednesday, August 09, 2006

Opini

SBY dan Konflik Timur Tengah
Seputar Indonesia, Rabu 9 Agustus 2006

A. Bakir Ihsan

Perang adalah awal kekalahan dan penghinaan martabat kemanusiaan. Tak ada yang menang dalam perang. Korban manusia tak berdosa menjadi monumen hancurnya sisi paling suci aspek kemanusiaan. Manusia yang berakal, beradab, dan berbudaya runtuh di atas dentuman tank yang merenggut nyawa rakyat sipil tak berdosa. Apa pun alasannya perang tak pernah menyelesaikan masalah. Justru ia menjadi pemicu tumbuhnya sel-sel kekerasan baru yang terus memunculkan masalah.

Atas kenyataan itulah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak detik pertama terjadinya serangan Israel terhadap Lebanon, langsung menyatakan kecewa sekaligus prihatin atas tata kelola dunia yang lebih mengedepankan perang (konflik) daripada perdamaian. Penyerbuan Israel terhadap Lebanon merupakan puncak gunung es dari krisis perdamaian yang sedang menghantui dunia. Arogansi negara maju tak jarang memicu gejolak negara berkembang sebagai bentuk reaksi atas hegemoni global.

Reaksi SBY atas meledaknya konflik di Timur Tengah tentu bukan pertimbangan politis apalagi teologis semata, namun lebih pada dimensi humanitas yang menjadi bagian bawah sadarnya. Keprihatinan atas tercabiknya nilai kemanusiaan menggungah SBY untuk berbuat agar tidak banyak memakan korban. Bukan hanya kali ini SBY terlibat dalam penyelesaian konflik di tingkat dunia. Peran SBY sebagai Military Chief Observer PBB di ladang pembantaian kemanusiaan, Bosnia Herzegovina, pada 1995 menjadi tonggak peran serta SBY dalam upaya perdamaian dunia. Peran diplomatis dan rekonsiliatif SBY di Bosnia tidak lama, karena perdamaian segera bersemi.

Potrem Buram Dunia
Penyerbuan Israel terhadap Lebanon dan Palestina dan fenomena kekerasan global lainnya mencerminkan potret buram dunia saat ini. Perdamaian menjadi barang mewah dan sangat mahal. Sementara tindak kekerasan dan konflik menjadi potensi yang siap mengancam umat manusia setiap saat.

Masing-masing negara hanya berpikir bagaimana melakukan ekspansi dan mengaktualisasikan ambisi politik globalnya demi eksistensi dirinya. Cita-cita agung kemanusiaan menjadi pertimbangan kesekian. HAM hanya menjadi komoditas dan tempat berlindung di balik operasi eksesif kepentingan negara-negara adikuasa. Inilah yang menyebabkan dunia semakin jauh dari cita perdamaian.

Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan dunia, khususnya Timur Tengah centang perenang dalam konflik kekerasan.

Pertama, tidak berfungsinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berhadapan dengan kepentingan negara Amerika dan sekutunya, termasuk Israel. Serangan Amerika terhadap Afghanistan, Irak, dan ancaman terhadap Iran dan negara yang dianggap tidak kooperatif, menjadi bukti konkret arogansi dan dominasi Amerika di ranah percaturan global yang tidak mampu direspon secara efektif oleh PBB. Akibat lemahnya peran PBB tersebut mengakibatkan lahirnya faktor kedua, yaitu merangsang negara-negara lain untuk melakukan tindakan eksesif terhadap wilayah yang dianggapnya bermasalah. Serangan Israel ke Lebanon dan Palestina menjadi miniatur dari langkah eksesif yang dilakukan Amerika terhadap Irak dan Afghanistan. Dan tidak tertutup kemungkinan langkah ini akan dilakukan negara-negara sekutu Amerika lainnya, selama PBB belum mampu keluar dari impotensi dirinya.

Ketiga, lemahnya diplomasi negara-negara Islam, khususnya negara Timur Tengah, untuk menghentikan serangan Israel. Sebagai negara petro dolar yang kaya minyak dan kedekatannya dengan Amerika dan sekutunya, negara-negara Arab seharusnya bisa melakukan diplomasi yang efektif sehingga dapat menekan Israel untuk menghentikan serangannya. Namun yang terjadi, dunia Arab terpecah dalam menyikapi serangan Israel, sehingga korban terus berjatuhan tanpa kepedulian berarti. Kenyataan ini pula yang menyebabkan rentannya soliditas dan solidaritas di antara negara kaya Timur Tengah di tengah keterpurukan negara-negara muslim lainnya.

Tiga Langkah Strategis
Penyelesaian konflik Timur Tengah tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Konflik telah menjadi bagian dari akar sejarah yang sulit diurai. Perang menjadi puncak dari bara api sejarah yang selama ini dipendam tanpa upaya memadamkannya. Konflik Israel-Lebanon-Palestina yang sesungguhnya lebih bersifat politis telah merasuk ke ranah yang paling suci, yaitu ranah teologis. Di sinilah kompleksitas konflik yang menyelimuti Timur Tengah saat ini semakin menjadi.

Karena itu pula, langkah penyelesaian konflik tersebut harus dilakukan secara komprehensif dengan melihat berbagai pemantik konflik secara jernih. Paling tidak ada tiga strategi penyelesaian yang dilakukan SBY dalam upaya perdamaian Israel-Lebanon.

Pertama, langkah struktural. Tidak lama setelah Israel menyerbu Lebanon, Presiden SBY mengirim surat pada Sekjen PBB, Kofi Annan yang isinya meminta PBB mengambil langkah strategis dan efektif bagi penyelesaian gejolak Israel-Lebanon. Langkah ini ditempuh karena secara struktural, tata kelola dunia tetap berada di bawah tanggungjawab PBB. Efektif tidaknya langkah yang dimainkan PBB adalah persoalan internal PBB sendiri. Yang jelas Indonesia sebagai negara yang berkomitmen bagi perdamaian dunia, telah melakukan langkah dengan mendesak PBB menyelesaikan konflik Timur Tengah.

Kedua, memprakarsai pertemuan darurat OKI (munazhzhamah al-mu’tamar al-islamiy atau the organization of the islamic conference) di Malaysia yang ditindaklanjuti dengan pertemuan para menteri luar negeri di Lebanon. Prakarsa tersebut dilakukan SBY karena melihat langkah OKI belum maksimal di tengah korban sipil terus berjatuhan akibat keganasan senjata Israel. Pertemuan darurat OKI tersebut merupakan tindak lanjut dari pertemuan SBY dengan Abdullah Ahmad Badawi sebagai Ketua OKI di Jakarta sesaat setelah penganugerahan gelar doktor honoris causa dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dari pertemuan OKI tersebut disepakati meminta PBB untuk memperluas mandat dan kapasitas pasukan perdamaian PBB (UNIFIL) yang ada di Lebanon dengan melibatkan negara-negara anggota OKI.

Ketiga, militery peacekeeping operation. Karena konflik Israel-Lebanon melibatkan pertempuran senjata, maka keterlibatan pasukan tentara perdamaian menjadi tak terelakkan. Sebagaimana diketahui Presiden SBY meminta TNI mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari peace keeping operation force di Timur Tengah apabila diminta oleh PBB. TNI telah mempersiapkan 3 pasukan Kostrad dan 1 pasukan marinir dengan total personil berjumlah 600 orang. Pasukan ini dilengkapi dengan kendaraan taktis, kendaraan tempur, serta kompi marinir dengan peralatan yang sama.

Ini merupakan langkah konkret yang ditawarkan Indonesia bagi penyelesaian konflik di Timur Tengah. Peran ini akan bermanfaat apabila PBB memberi lampu hijau sebagai bentuk pertanggungjawaban atas nasib dunia. Dari sini pula kita bisa membuktikan, apakah PBB betul-betul berkomitmen untuk menciptakan perdamaian dunia dengan membuka selebar-lebarnya keterlibatan para pecinta perdamaian, atau memperkuat identitas dirinya sebagai corong negara-negara maju.

Beberapa langkah penting yang dilakukan Presiden SBY di atas di samping sebagai bentuk keprihatinannya pada nasib dunia sekaligus bentuk akomodatif atas antusiasme masyarakat Indonesia bagi terciptanya perdamaian di Timur Tengah. Kalau kita bisa membangun soliditas dan solidaritas lintas suku, agama, dan budaya demi perdamaian dunia, kita tentu lebih bisa menyemai perdamaian di bumi pertiwi ini. Semoga.