Wednesday, August 09, 2006

Opini

SBY dan Konflik Timur Tengah
Seputar Indonesia, Rabu 9 Agustus 2006

A. Bakir Ihsan

Perang adalah awal kekalahan dan penghinaan martabat kemanusiaan. Tak ada yang menang dalam perang. Korban manusia tak berdosa menjadi monumen hancurnya sisi paling suci aspek kemanusiaan. Manusia yang berakal, beradab, dan berbudaya runtuh di atas dentuman tank yang merenggut nyawa rakyat sipil tak berdosa. Apa pun alasannya perang tak pernah menyelesaikan masalah. Justru ia menjadi pemicu tumbuhnya sel-sel kekerasan baru yang terus memunculkan masalah.

Atas kenyataan itulah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak detik pertama terjadinya serangan Israel terhadap Lebanon, langsung menyatakan kecewa sekaligus prihatin atas tata kelola dunia yang lebih mengedepankan perang (konflik) daripada perdamaian. Penyerbuan Israel terhadap Lebanon merupakan puncak gunung es dari krisis perdamaian yang sedang menghantui dunia. Arogansi negara maju tak jarang memicu gejolak negara berkembang sebagai bentuk reaksi atas hegemoni global.

Reaksi SBY atas meledaknya konflik di Timur Tengah tentu bukan pertimbangan politis apalagi teologis semata, namun lebih pada dimensi humanitas yang menjadi bagian bawah sadarnya. Keprihatinan atas tercabiknya nilai kemanusiaan menggungah SBY untuk berbuat agar tidak banyak memakan korban. Bukan hanya kali ini SBY terlibat dalam penyelesaian konflik di tingkat dunia. Peran SBY sebagai Military Chief Observer PBB di ladang pembantaian kemanusiaan, Bosnia Herzegovina, pada 1995 menjadi tonggak peran serta SBY dalam upaya perdamaian dunia. Peran diplomatis dan rekonsiliatif SBY di Bosnia tidak lama, karena perdamaian segera bersemi.

Potrem Buram Dunia
Penyerbuan Israel terhadap Lebanon dan Palestina dan fenomena kekerasan global lainnya mencerminkan potret buram dunia saat ini. Perdamaian menjadi barang mewah dan sangat mahal. Sementara tindak kekerasan dan konflik menjadi potensi yang siap mengancam umat manusia setiap saat.

Masing-masing negara hanya berpikir bagaimana melakukan ekspansi dan mengaktualisasikan ambisi politik globalnya demi eksistensi dirinya. Cita-cita agung kemanusiaan menjadi pertimbangan kesekian. HAM hanya menjadi komoditas dan tempat berlindung di balik operasi eksesif kepentingan negara-negara adikuasa. Inilah yang menyebabkan dunia semakin jauh dari cita perdamaian.

Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan dunia, khususnya Timur Tengah centang perenang dalam konflik kekerasan.

Pertama, tidak berfungsinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berhadapan dengan kepentingan negara Amerika dan sekutunya, termasuk Israel. Serangan Amerika terhadap Afghanistan, Irak, dan ancaman terhadap Iran dan negara yang dianggap tidak kooperatif, menjadi bukti konkret arogansi dan dominasi Amerika di ranah percaturan global yang tidak mampu direspon secara efektif oleh PBB. Akibat lemahnya peran PBB tersebut mengakibatkan lahirnya faktor kedua, yaitu merangsang negara-negara lain untuk melakukan tindakan eksesif terhadap wilayah yang dianggapnya bermasalah. Serangan Israel ke Lebanon dan Palestina menjadi miniatur dari langkah eksesif yang dilakukan Amerika terhadap Irak dan Afghanistan. Dan tidak tertutup kemungkinan langkah ini akan dilakukan negara-negara sekutu Amerika lainnya, selama PBB belum mampu keluar dari impotensi dirinya.

Ketiga, lemahnya diplomasi negara-negara Islam, khususnya negara Timur Tengah, untuk menghentikan serangan Israel. Sebagai negara petro dolar yang kaya minyak dan kedekatannya dengan Amerika dan sekutunya, negara-negara Arab seharusnya bisa melakukan diplomasi yang efektif sehingga dapat menekan Israel untuk menghentikan serangannya. Namun yang terjadi, dunia Arab terpecah dalam menyikapi serangan Israel, sehingga korban terus berjatuhan tanpa kepedulian berarti. Kenyataan ini pula yang menyebabkan rentannya soliditas dan solidaritas di antara negara kaya Timur Tengah di tengah keterpurukan negara-negara muslim lainnya.

Tiga Langkah Strategis
Penyelesaian konflik Timur Tengah tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Konflik telah menjadi bagian dari akar sejarah yang sulit diurai. Perang menjadi puncak dari bara api sejarah yang selama ini dipendam tanpa upaya memadamkannya. Konflik Israel-Lebanon-Palestina yang sesungguhnya lebih bersifat politis telah merasuk ke ranah yang paling suci, yaitu ranah teologis. Di sinilah kompleksitas konflik yang menyelimuti Timur Tengah saat ini semakin menjadi.

Karena itu pula, langkah penyelesaian konflik tersebut harus dilakukan secara komprehensif dengan melihat berbagai pemantik konflik secara jernih. Paling tidak ada tiga strategi penyelesaian yang dilakukan SBY dalam upaya perdamaian Israel-Lebanon.

Pertama, langkah struktural. Tidak lama setelah Israel menyerbu Lebanon, Presiden SBY mengirim surat pada Sekjen PBB, Kofi Annan yang isinya meminta PBB mengambil langkah strategis dan efektif bagi penyelesaian gejolak Israel-Lebanon. Langkah ini ditempuh karena secara struktural, tata kelola dunia tetap berada di bawah tanggungjawab PBB. Efektif tidaknya langkah yang dimainkan PBB adalah persoalan internal PBB sendiri. Yang jelas Indonesia sebagai negara yang berkomitmen bagi perdamaian dunia, telah melakukan langkah dengan mendesak PBB menyelesaikan konflik Timur Tengah.

Kedua, memprakarsai pertemuan darurat OKI (munazhzhamah al-mu’tamar al-islamiy atau the organization of the islamic conference) di Malaysia yang ditindaklanjuti dengan pertemuan para menteri luar negeri di Lebanon. Prakarsa tersebut dilakukan SBY karena melihat langkah OKI belum maksimal di tengah korban sipil terus berjatuhan akibat keganasan senjata Israel. Pertemuan darurat OKI tersebut merupakan tindak lanjut dari pertemuan SBY dengan Abdullah Ahmad Badawi sebagai Ketua OKI di Jakarta sesaat setelah penganugerahan gelar doktor honoris causa dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dari pertemuan OKI tersebut disepakati meminta PBB untuk memperluas mandat dan kapasitas pasukan perdamaian PBB (UNIFIL) yang ada di Lebanon dengan melibatkan negara-negara anggota OKI.

Ketiga, militery peacekeeping operation. Karena konflik Israel-Lebanon melibatkan pertempuran senjata, maka keterlibatan pasukan tentara perdamaian menjadi tak terelakkan. Sebagaimana diketahui Presiden SBY meminta TNI mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari peace keeping operation force di Timur Tengah apabila diminta oleh PBB. TNI telah mempersiapkan 3 pasukan Kostrad dan 1 pasukan marinir dengan total personil berjumlah 600 orang. Pasukan ini dilengkapi dengan kendaraan taktis, kendaraan tempur, serta kompi marinir dengan peralatan yang sama.

Ini merupakan langkah konkret yang ditawarkan Indonesia bagi penyelesaian konflik di Timur Tengah. Peran ini akan bermanfaat apabila PBB memberi lampu hijau sebagai bentuk pertanggungjawaban atas nasib dunia. Dari sini pula kita bisa membuktikan, apakah PBB betul-betul berkomitmen untuk menciptakan perdamaian dunia dengan membuka selebar-lebarnya keterlibatan para pecinta perdamaian, atau memperkuat identitas dirinya sebagai corong negara-negara maju.

Beberapa langkah penting yang dilakukan Presiden SBY di atas di samping sebagai bentuk keprihatinannya pada nasib dunia sekaligus bentuk akomodatif atas antusiasme masyarakat Indonesia bagi terciptanya perdamaian di Timur Tengah. Kalau kita bisa membangun soliditas dan solidaritas lintas suku, agama, dan budaya demi perdamaian dunia, kita tentu lebih bisa menyemai perdamaian di bumi pertiwi ini. Semoga.

2 comments:

SANTRIWATI said...

... :)

Arif.Ust said...

Artikelnya bagus apalagi kata-katanya menarik menambah wawasan dan pengalaman saya trims ya…lanjutkan artikelnya saya tunggu. Mampir ke blog saya dunk saya biz posting tadi. ini alamatnya saya.
http://regedit.blog.telkomspeedy.com/2009/01/26/speedy-dan-virtual-net/
jangan lupa komentarnya buat artikel