Friday, July 28, 2006

Opini

SBY, Bencana, dan Takhayul Politik
Lampung Post
, Jum’at 28 Juli 2006

A. Bakir Ihsan

Sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik menjadi presiden, bencana datang silih berganti. Banyak paradigma ditebar untuk menjelaskan bencana dengan segala ragamnya. Ada apa dengan negeri ini. Kalau elite politik mencampakkan rakyatnya, kalau para pengusaha menggunduli hutan, kalau para penjarah mengeksploitasi alam, tetapi mengapa rakyat tak berdosa harus jadi korbannya?

Tanda tanya ini ekspresi dari kecemasan, mungkin, keputusasaan warga negara. Apalagi secara geografis negara ini berada di tiga lempeng benua, Eurasia, Indo Australia, dan Pasifik yang sangat potensial memicu gempa. Walaupun lempeng Eurasia merupakan lempeng yang stabil, kedua lempeng lainnya (Indo Australia dan Pasifik) terus bergerak dan berinteraksi sehingga menekan lempeng yang stabil (eurasia).

Akibatnya terjadi titik-titik tumbukan yang menjelma menjadi pusat gempa tektonik. Kenyataan ini dapat menambah ketakutan, bahkan keputusasaan.

Dalam kondisi demikian, masyarakat akan mudah terbawa ke alam dunia mistis, irasional, dan penuh takhayul. Karena intensitas bencana yang begitu tinggi terjadi pada masa kepemimpinan SBY, sebagian orang pun menafsirkannya sebagai ekspresi ketidaksetujuan alam terhadap posisi SBY tersebut. Inilah tafsir (takhayul) politik atas bencana berdasarkan halusinasi yang tumbuh subur di tengah impitan derita yang mendera rakyat tak berdosa.

Kalau kondisi ini dibiarkan dapat mengancam terhadap upaya rehabilitasi korban bencana. Konsentrasi pemerintah akan terpecah oleh agenda-agenda politik yang tak berpijak pada kepentingan riil masyarakat yang banyak menjadi korban bencana.

Matinya Solidaritas Sosial
Dengan merujuk pada pemikiran Mahatma Gandhi, Stephen R. Covey dalam Principle-Centered Leadership-nya menginventarisasi tujuh dosa besar yang menyebabkan carut-marutnya bumi saat ini.

Ketujuh dosa tersebut adalah kekayaan yang diperoleh secara tidak halal, kenikmatan yang diperoleh dengan mengingkari suara hati, pengetahuan tanpa etika, bisnis tanpa moral, ilmu pengetahuan tanpa nilai kemanusiaan, agama tanpa pengorbanan, dan politik tanpa prinsip.

Ketujuh dosa tersebut memperlihatkan satu substansi yang semakin langka dalam kehidupan sehari-hari, yaitu solidaritas sosial. Bahkan, agama yang sesungguhnya berdimensi sosial mengalami privatisasi bahkan alienasi yang mengerdilkan umatnya untuk berkorban. Dosa-dosa tersebut merupakan cermin dari kerakusan dan individualisme yang menutup kran solidaritas sosial.

Matinya solidaritas disebabkan banyak faktor. Salah satunya, kuatnya pemberhalaan terhadap eksistensi diri (eksistensialisme) dan kepemilikan akan materi (materialisme). Sebagaimana pepatah agung Sang Budha, "Orang menjadi cemas karena kehadiran gagasan 'saya' dan 'punya saya'". Eksistensialisme dan materialisme satu sisi dapat menggiring pada pengagungan diri dan materi dan di sisi yang lain dapat melahirkan kecemasan ketika berada dalam satu titik ekstrem yang tak terpecahkan.

Kenyataan ini memperlihatkan, eksistensialisme dan materialisme yang dikutuk kaum agamawan, ternyata menghunjam dalam kesadaran umatnya. Khotbah keagamaan yang diintroduksi setiap saat ternyata belum mampu menyentuh kesadaran yang telah terhegemoni oleh ideologi yang menafikan eksistensi di balik realitas (the others).

Paradigma inilah yang perlu direkonstruksi oleh para tokoh agama dan ilmuwan sehingga mampu menguak makna di balik realitas sekaligus dapat meminimalisasi kecemasan akibat kegagalan mengungkap makna di balik bencana.

Rasa cemas dan khawatir merupakan refleksi negatif yang muncul akibat pemahaman yang terbatas terhadap realitas. Rasa takut dan cemas inilah yang memicu lahirnya takhayul yang menutup logika dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient), sehingga orang mudah terjebak pada halusinasi yang menyesatkan.

Makna Profetis Bencana
Derita yang terus-menerus dirasakan masyarakat dapat melahirkan keputusasaan. Pesimisme akan masa depan karena ancaman bencana yang tak kunjung usai dapat menyebabkan negeri ini semakin terpuruk. Apalagi banyak generasi masa depan harus mendahului zamannya akibat bencana merenggut nyawanya. Dengan sendirinya kenyataan tersebut mengurangi potensi-potensi bagi kemajuan masa depan.

Namun, sebagai sebuah bangsa kita tidak ingin negara ini menjadi negara mati karena ancaman bencana yang tak terhindarkan. Justru di sinilah kita dituntut untuk memahami makna di balik bencana. Selama ini kita sangat dimanja oleh alam. Sumber daya alam dan sumber daya manusia yang banyak ternyata belum mampu dimanfaatkan secara maksimal demi kemakmuran bersama. Masing-masing kelompok berjuang untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya untuk dirinya masing-masing. Alam menjadi ajang perebutan tidak hanya untuk kepentingan ekonomi, tapi juga politik.

Atas kenyataan itulah SBY dalam pembukaan muktamar Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) nasional mengajak masyarakat berpikir rasional terhadap bencana sambil memasrahkan diri pada Tuhan. Bahwa inilah realitas Indonesia yang secara geografis berada di antara tiga lempengan yang sewaktu-waktu memicu terjadinya gempa. Begitu juga dengan potensi bencana lainnya.

Alam dengan segenap hukum alamnya merupakan realitas yang given dan taken for granted yang tidak bisa direkayasa. Kita diberi energi intelektual untuk menatanya demi kepentingan bersama. Pada titik ini dunia takhayul dan irasionalitas lainnya sama sekali tak berguna. Jalan terbaik adalah memadukan sinergi antara potensi alam (natural capital) yang begitu luas dan potensi akal (human capital) yang tak terbatas.

Tidak kalah pentingnya keleluasaan logika tersebut harus dilandaskan pada nilai-nilai spiritual, sehingga tidak terjebak dalam kerakusan yang merusak solidaritas sosial dan tatanan alam semesta. Inilah aspek profetis bencana yang harus dikembangkan oleh semua pihak agar tidak berkubang dalam kecemasan dan keputusasaan yang merangsang lahirnya takhayul. Justru bencana harus menjadi pemicu kreativitas bagi kepentingan masa depan bangsa yang lebih tangguh dan bermartabat. Semoga.

1 comment:

Anonymous said...

kalau dari kacamata metafisika sby (maaf) titisan jin qorin betari durga, jin aura negatif yg bisa berubahubah jadi santun/bijak/baik tetapi aslinya sangat jahat sekali dan membawa kesialan/bencana/musibah pada alam/manusia sekitarnya.
Sebetulnya bila kita peka, ingat belum genap 4 bulan jadi presiden sudah bawa tumbal beberapa orang tewas di jln tol saat dari cikeas mau ke istana. INI PERLAMBANG/FIRASAT DAN TERBUKTI.
Bila nanti terpilih lagi jadi presiden, kita lihat BENCANA ALAM/MUSIBAH apa yg akan terjadi !!!?