Friday, April 28, 2006

Opini

Menimbang Paradigma Kesejahteraan SBY
Seputar Indonesia, Jum’at 28 April 2006

A. Bakir Ihsan

Pada acara pembukaan rapat majelis pimpinan paripurna Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan tentang standar kesejahteraan negara. Menurutnya kesejahteraan negara tidak hanya diukur oleh pertumbuhan ekonomi maupun income perkapita (economic growth). Tapi juga diukur oleh kualitas hidup warga negaranya, seperti standar pendidikan, kesehatan, rasa aman, dan kecukupan pangan. (Seputar Indonesia, 22/4/06).

Membaca standar kesejahteraan tersebut menarik dicermati secara mendalam di tengah hegemoni kapitalisme global yang menjadikan akumulasi modal sebagai standar eksistensi negara. Kesejahteraan sosial menjadi komoditas suci di tengah negara berlomba-lomba meningkatkan perekonomiannya dengan membuka pintu selebar-lebarnya bagi para investor dan pengusaha.

Selama ini ada dua standar kesejahteraan yang oleh para pengamat modern welfare state (negara kesejahteraan modern) sering dikumandangkan, yaitu social welfare dan economic development. Social welfare lebih mengacu pada penghargaan terhadap hak-hak sosial dan pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan peningkatan kualitas hidup lainnya. Sementara economic development terkait dengan pertumbuhan, akumulasi modal, dan keuntungan ekonomi (James Midgley, 2003).

Kedua pendekatan tersebut memiliki konsekuensi-konsekuensi terhadap kebijakan yang diambil oleh sebuah negara. Social welfare mengandaikan adanya kebijakan yang mendorong pada pelayanan publik yang berkualitas. Pelayanan kesehatan yang murah bahkan gratis, pendidikan yang terjangkau, bantuan langsung terhadap mereka yang tidak mampu, dan orientasi utama pada pelayanan publik.

Sementara economic development mengharuskan adanya kebijakan yang merangsang pertumbuhan investasi yang tinggi sehingga negara bisa mendapatkan devisa yang tinggi pula. Penanaman modal baik domestik maupun asing dimobilisir untuk mendapatkan keuntungan bagi kepentingan negara. Pemasukan modal dengan menarik investor ini dengan sendirinya dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas hidup.

Menimbang Kenyataan
Kerangka ideal eksistensi modern welfare state tersebut bisa dijadikan rujukan dan komitmen bagi pemerintah agar gerak perkembangan negara pada era reformasi ini bisa terarah dan memiliki dampak langsung pada masyarakat.

Dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan SBY terlihat ke arah tersebut. Pengembangan ekonomi dengan menarik investasi baik dari dalam maupun dari luar serta perbaikan hubungan industrial yang melibatkan pekerja, pengusaha, dan pemerintah menjadi salah satu indikator ke arah economic development.

Di sisi lain, pemerintahan SBY juga mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada pelayanan sosial. Bantuan Langsung Tunai (BLT), pengobatan gratis untuk kelas tertentu, dan pendidikan gratis merupakan langkah-langkah yang mengacu pada social welfare. Kalau demikian, apakah kita sudah masuk pada kategori modern welfare state?

Pertanyaan ini bukan sekadar untuk mengungkap kerangka epistemologis dari eksistensi negara. Namun paling tidak dari sana kita bisa mengoreksi dan mengawal langkah-langkah pemerintahan SBY agar tidak terjerumus pada wacana-wacana yang tak berpijak pada kenyataan yang justru bisa memproduksi kekecewaan.

Kalau kita amati sepintas beberapa langkah yang ditempuh pemerintah mulai penggalakan investasi sampai BLT telah memenuhi standar modern welfare state. Namun fenomena-fenomena tersebut harus diperkuat oleh paradigma kerakyatan yang diikat tidak hanya dalam komitmen, tapi menjelma dalam rule of law. Karena kalau tidak, dikhawatirkan masuknya investor-investor baik dalam maupun asing hanya menguntungkan sebagian elit. Pertumbuhan ekonomi nasional hanya berputar di kalangan terbatas, sementara rakyat tetap terhempas. Hal ini terjadi pada masa lalu, di tengah negara kaya raya, tapi masyarakatnya menderita.

Begitu juga dengan bantuan dan pelayanan sosial. Langkah tersebut apakah betul-betul merupakan bagian dari proses kebijakan negara yang proporsional dan optimal, atau hanya tambal sulam untuk menekan tingkat keresahan masyarakat akibat kebijakan lainnya. Pemberian BLT, misalnya, lebih sebagai kompensasi dari kenaikan harga BBM yang begitu tinggi. Ia bukan berangkat dari keharusan pemerintah atau negara untuk menyejahterakan rakyatnya.

Standar-standar welfare state di atas lebih bersifat prosedural dan cenderung menjadi ritual. Ia belum menyentuh substansi dan esensi dari welfare state itu sendiri. Fenomena ini sama dengan fenomena politik masa lalu yang secara prosedural kelembagaan memenuhi standar demokrasi, tapi secara substantif masih belum berakar dalam perilaku politik elit. Partai politik, pemilu, dan pembagian kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif tersedia sebagai bagian dari prasyarat demokrasi. Namun semua prasyarat tersebut berfungsi tidak untuk kepentingan rakyat tapi kekuasaan.

Melihat kemungkinan terjadinya distorsi dan deviasi atas paradigma kesejahteraan yang disinyalir Presiden SBY, maka pemerintah harus mengoptimalkan segala upaya agar program-program tersebut tidak terjebak pada social welfare dan economic development yang semu. Langkah ini tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia seperti lingkaran setan yang yang saling terkait dan sulit diusut ujung pangkalnya. Untuk itu perlu tahapan-tahapan yang mengarah pada peningkatan dan perbaikan kedua dimensi tersebut secara simultan.

Modal SBY
Pertanyaan awal yang harus diajukan adalah adakah komitmen pemerintahan SBY untuk membentuk modern walfare state? Adakah kondisi-kondisi sosial yang mendukung ke arah tersebut?

Melihat fenomena pemerintahan SBY, ada beberapa kesenjangan yang perlu dipadukan secara berkelindan. Pertama, kebijakan yang berhasil mengundang simpati masyarakat. Kebijakan ini terutama terkait dengan masalah politik dan penegakan hukum. Misalnya pelaksanaan pilkada yang relatif aman dan penangkapan serta pengadilan terhadap para koruptor yang semakin hari semakin memberi angin yang menggembirakan.

Kedua, kebijakan yang kurang mendapat respon dari masyarakat. Kebijakan ini terutama terkait dengan masalah ekonomi, seperti kebijakan impor beras, kenaikan BBM yang diikuti oleh merambatnya harga-harga komoditas lainnya.

Ketiga, kebijakan yang mengambang karena belum adanya ketegasan dari pemerintah. Seperti kelanjutan “nasib” Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan undang-undang ketenagakerjaan yang belum final karena adanya tarik ulur antara yang pro revisi dan tidak.
Namun kalau kita lihat secara sektoral, di bidang ekonomi sebenarnya ada kecenderungan membaik. Salah satu indikatornya adalah menguatnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah yang terus menguat. Menurut perkiraan para analis, pergerakan positif tersebut akan terus berlanjut. Hal tersebut berdasarkan volume transaksi harian yang, sampai pada 9/1/06, mencapai 2,5 miliar lot. Sementara nilai transaksinya telah mencapai 2,3 triliun perhari (Kontan, 16/1/06). Sementara pertumbuhan ekonomi yang pada tahun 2004 mencapai 5,1%, pada 2005 naik menjadi 5,6 %. Dan cadangan devisa mencapai angka US$ 41, 8 miliar, tertinggi dalam sejarah ekonomi kita.

Kenyataan tersebut merupakan modal awal yang baik bagi tata perekonomian nasional. Oleh karena itu, geliat baik tersebut harus disertai oleh langkah-langkah pemerintah yang kondusif bagi para pemodal dan investor, sehingga memancing masuknya para investor untuk menanamkan modalnya di dalam negeri. Hal tersebut harus disertai penguatan kebijakan yang berbasis sosial, sehingga tidak terjadi kesenjangan antara pertumbuhan dan pemerataan, antara kepentingan pengusaha dan pekerja. Hal ini penting ditekankan karena sebagaimana dinyatakan Amartya Sen, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial tidak selalu linear. Keduanya bisa berhadapan bahkan saling menjatuhkan.

Untuk itu diperlukan kontrol dan pendayagunaan sumber daya sosial ekonomi untuk kepentingan publik melalui kebijakan yang berorientasi pada distribusi kekayaan secara adil dan merata. Dari sana kita berharap paradigma kesejahteraan SBY bisa lebih cepat terwujud sehingga rakyat bisa lebih tenang.*

Tuesday, April 25, 2006

Opini

Paradoks Budaya Politik Senayan
Koran Tempo
, Selasa 25 April 2006

A. Bakir Ihsan

Cerita amplop di Senayan sudah lama terdengar. Tapi sepanjang itu pula semua amplop dianggap biasa bahkan sebuah kemestian. Amplop bukan simbol kolusi, apalagi korupsi. Ia hanya uang lelah anggota komisi. Itulah yang terjadi dalam kasus pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUU PA) yang memakan biaya Rp1 miliar lebih (Koran Tempo, 19/4). Ketua Pansus RUU PA, Ferry Mursyidan Baldan (F-Golkar) menganggap anggaran tersebut sebagai dana transportasi yang halal dan wajar. Ferry menyamakannya dengan uang konsumsi yang biasa dihidangkan saat rapat komisi. Sementara wakil ketua DPR, Soetardjo Soerjogoeritno menganggapnya sebagai sogokan alias kolusi karena diberikan sebelum pekerjaan selesai.

Persoalan uang selalu mengundang kontroversi bahkan di antara anggota DPR sendiri. Masih kuat dalam ingatan kita ketika DPR hendak menaikkan gaji dan bocor ke media. Bukannya mereka malu, justru mereka mengutuk dan marah terhadap anggota BURT lainnya yang membocorkan rencana kenaikan tersebut.

DPR seperti sebuah negara dalam negara. Mereka mengusulkan, mengatur, dan mengesahkan sendiri apa yang dikehendakinya. Mereka menjelma menjadi gerombolan tanpa kendali. Tak ada kontrol yang mumpuni untuk mengendalikan gerak mereka bahkan oleh mereka sendiri. Bukti terakhir, mereka tak terkendali untuk bertandang ke Australia atas nama diplomasi total walaupun dikritik bahkan oleh sesama anggota komisinya sendiri.

Gejala politik di Senayan mencerminkan kondisi real transisi politik dan reformasi di negeri ini. Para elit politik di Senayan masih belajar menata karut marut kepentingan dan perbedaan visi di antara mereka sendiri dalam melihat sebuah persoalan. Ini memang ironis. Sebuah lembaga yang seharusnya melakukan fungsi agregasi dan artikulasi aspirasi rakyat, masih disibukkan oleh persoalan internal dirinya. Dalam kondisi demikian, tak banyak yang bisa diharapkan bagi revitalisasi peran dan fungsi DPR.

Kesadaran Praktis
Fungsi dan peran yang diemban DPR sangatlah berat. Mereka harus mampu mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan rakyat yang sangat beragam di tengah keragaman kepentingan di antara mereka sendiri. Di sinilah integritas anggota dewan dipertaruhkan. Kemampuan menata dan mensubordinasi kepentingan dirinya di tengan ragam kepentingan masyarakat menentukan integritas moral politik para anggota dewan. Namun yang terjadi jauh panggang dari api. Ragam kepentingan dan pluralitas masyarakat bukannya ditata secara sinergis, malah seringkali dibuat semakin paradoks dan kontradiktif. Hal ini bisa dilihat dari beberapa rancangan undang-undang yang mendapat respon dan gejolak di masyarakat. Mulai RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) sampai RUU Pemerintahan Aceh yang tak pernah sepi dari kontroversi.

Perbedaan kepentingan sesungguhnya merupakan realitas alamiah. Tingkat gejolak di tengah masyarakat akan ditentukan oleh kualitas kemampuan anggota dewan dalam mengapresiasi aspirasi yang berkembang di masyarakat. Terjadinya aksi unjuk rasa dan mogok nasional merupakan bukti konkret dari tidak berfungsinya media aspirasi yang ada di tangan anggota dewan. Masyarakat lebih percaya pada dirinya sendiri untuk memperjuangkan aspirasinya, sementara anggota dewan lebih sibuk berpikir taktis-strategis untuk kepentingan eksistensi mereka lima tahun yang akan datang di Senayan.

Kenyataan tersebut bukan sekadar keniscayaan sebuah transisi politik, namun telah sampai pada apa yang oleh Aristoteles disebut sebagai habitus. Ia telah menjadi bagian dari bawah sadar yang secara reflek akan selalu muncul secara simultan. Fakta politik di Senayan merupakan cerminan dari struktur kesadaran yang mengental dalam diri anggota dewan. Sehingga standar moral dan kode etik yang menjadi acuan Badan Kehormatan DPR tak pernah berdaya berhadapan dengan gurita habitus yang terlanjur menyimpang tersebut.
Jadi bukan sesuatu yang luar biasa apabila di Senayan sering muncul perilaku politik menyimpang dari kehendak umum yang ada dalam kesadaran moral masyarakat. Kalau DPR sampai sekarang belum bisa memperlihatkan kinerjanya yang baik, maka itulah habitusnya yang jelek.

Money oriented dan standar hidup yang tinggi telah menjadi bagian dari struktur kesadaran anggota DPR. Sehingga mereka tak pernah mempermasalahkan pendapatan di luar gaji yang sudah dianggarkan. Bahkan mereka mencari celah untuk mendapatkannya. Oleh sebab itu, tidak usah heran apabila di masa yang akan datang DPR lagi-lagi akan terjerat dalam urusan duit dengan segala implikasi sosial yang tak pernah dipikirkan. Dan inilah dinamika kesadaran para anggota dewan yang oleh Anthony Giddens disebut sebagai kesadaran praktis.

Gerakan Berhemat
Fakta politik di Senayan merupakan tantangan berat bagi pemerintahan SBY yang belakangan mengkampanyekan hidup berhemat. Langkah ini seharusnya bisa berjalan sebagaimana pemberantasan korupsi yang sejak awal dicanangkan oleh SBY. Kalau SBY bisa menyatakan perang melawan korupsi dengan langkah-langkah konkret pembongkaran dan pengadilan terhadap para koruptor, maka saat ini pun SBY seharusnya bisa menyatakan perang melawan konsumerisme dan pemborosan anggaran yang kental di tubuh pemerintahan, termasuk di lingkungan DPR.

Namun langkah ini harus dilakukan ekstra hati-hati di tengah ranjau politik yang ditebarkan oleh para politisi. SBY harus banyak berhitung, terutama dengan DPR sebagai pengendali kekuasaan paling absah. Ini merupakan konsekuensi dari tidak adanya topangan politik yang sangat kuat bagi SBY di Senayan. Walaupun SBY-JK dipilih langsung oleh rakyat, nasib SBY-JK tetap berada di tangan Senayan.

Politik sebagai the art of the possible sangat kentara di negeri ini. Politik elit selalu membuka peluang bagi munculnya kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya dianggap tidak mungkin. Hal ini terlihat dari beberapa kasus hancurnya kalkulasi politik Istana berhadapan dengan langkah-langkah politik zig-zag yang diambil di Senayan. Begitu juga langkah politik beberapa tokoh nasional dalam merespon kebijakan negara. Mulai hak interpelasi sampai surat Sudi Silalahi menjadi sasaran tembak bagi eksistensi SBY.

Langkah pemberantasan korupsi dan gerakan berhemat merupakan dua sisi mata uang. Korupsi yang telah menjadi fenomena sistemik memiliki korelasi dengan gaya hidup boros yang terjadi di jajaran elit. Anggota DPR yang sudah terbiasa dengan gaji tinggi serta merta secara habitus memiliki gaya hidup yang tinggi pula. Sudah bukan rahasia lagi, lobi-lobi mereka dilakukan di hotel-hotel berbintang. Bahkan sebagian anggota DPR memiliki “tempat nongkrong” khusus untuk melancarkan lobi-lobi politiknya. Dan dari sana pula sering terdengar politik main mata anggota DPR dengan kepala-kepala daerah untuk melancarkan pencairan proyek dari pusat.

Dalam kondisi demikian, gerakan berhemat tidak bisa hanya diletakkan dalam konteks budaya, tapi perlu penguatan kebijakan yang memaksa seluruh lapisan sosial, terutama para elit politik untuk berhemat. Tentu tidak mudah melakukan agenda ini. Paling tidak ia akan mendapat reaksi dan resistensi dari para pejabat yang terlanjur mengabdikan dirinya pada citra bukan pada kualitas dan integritas diri. Namun membiarkan gejala ini terus berlangsung, akan memupuk kesenjangan sosial yang bermuara pada letupan-letupan kekecewaan. Sungguh atmosfir politik kita masih mempertontonkan paradoksalitas yang menjelma dalam bentuk kehendak berhemat di satu sisi dan keniscayaan menerima amplop di sisi yang lain.*

Monday, April 17, 2006

Opini

Menjual Negara?
Indo Pos
, Senin, 17 April 2006

A. Bakir Ihsan

Wacana ekonomi politik saat ini disesaki "perselingkuhan" perusahaan-perusahaan transnasional, seperti Freeport, Newmont, dan ExxonMobil, dengan negara. Keterlibatan perusahaan asing dalam proyek perekonomian nasional, oleh sebagian pengamat dan politisi, dianggap sebagai monumen tergadainya rasa kebangsaan (nasionalisme). Seperti orkestra, isu nasionalisme pun menjadi komoditas kritik bersama yang ditujukan kepada pemerintahan SBY.

Kalau dipahami dengan jernih, wacana ekonomi politik saat ini tidak bisa dilepaskan dari hegemoni globalisasi. Mau tidak mau, sadar tidak sadar, globalisasi, baik dalam budaya, ekonomi, maupun politik, telah menjadi bagian dari napas seluruh anak negeri. Karena itu, wacana nasionalisme berdasar isu-isu perselingkuhan tersebut sangatlah distortif dan deviatif.

Kalau standar nasionalisme diukur berdasar ketidakberpihakan pemerintah pada negara asing, negara ini tidak pernah mewariskan nasionalisme. Sepanjang sejarah, negara yang berideologi Pancasila ini tidak pernah terlepas dari "keberpihakan" dan "perselingkuhan" dengan negara asing, baik secara ekonomi maupun politik.

Walau secara konstitusi politik luar negeri Indonesia berlandaskan prinsip bebas aktif (nonblok), kenyataan menunjukkan lain. Sejak Orde Lama, negara ini tidak pernah suci dari keberpihakan. Soekarno lebih mesra dengan negara China yang komunis, sementara Orde Baru di bawah Soeharto lebih mesra dengan Jepang dan Amerika yang kapitalis. Dua sejarah itu menunjukkan bahwa sejak awal, negara ini tidak pernah lepas dari keberpihakan-keberpihakan ekonomi-politik internasionalnya.

Dari sejarah itu pula, negara hadir dalam bentuknya seperti saat ini. Kalau pada masa perang dingin ideologi dunia masih bersujud pada salah satu di antara dua kiblat yang dikomando Uni Soviet (komunis) dan AS (kapitalis), saat ini ketika dunia berada di bawah hegemoni adidaya kapitalisme, maka tak ada pilihan lain bagi negara ini kecuali bermain dalam arus besar kapitalisme.

Persoalannya, apakah pilihan itu dengan sendirinya telah menenggelamkan eksistensi kita sebagai bangsa yang berdaulat sehingga pantas dituduh menggadaikan nasionalisme? Kalau ukurannya adalah ketidakberpihakan pada negara lain, Indonesia sejak awal sudah punah dan tidak pernah eksis karena sepanjang sejarahnya telah menjalin kemesraan dan perselingkuhan dengan negara-negara tertentu. Keberadaan Indonesia seperti tidak ada (wujuduhu ka’adamihi).

Tetapi kalau ukurannya adalah mengembangkan potensi negara secara maksimal demi kemajuan bangsa, tanpa terjebak dengan negara mana bekerja sama, Indonesia saat ini sedang bermetamorfosis menuju penyempurnaan eksistensinya.

Hegemoni Globalisasi

Globalisasi adalah realitas yang tak terelakkan. Masyarakat dunia "dipaksa" hidup di sebuah desa kecil (small village) yang saling mempengaruhi. Meski demikian, eksistensi dan batas-batas negara tetaplah ada.

Globalisasi akan berbuah hegemoni apabila budaya masyarakat setempat tidak mampu meresponsnya secara sempurna. Globalisasi tidak bisa dikendalikan langsung oleh kebijakan negara karena ia hadir melalui budaya yang melampaui batas otoritas negara. Kecanggihan teknologi informasi telah meruntuhkan otoritas politik negara sehingga globalisasi menjadi pilihan yang tidak bisa diseleksi negara.

Betapa pun kuatnya negara membentengi diri dari arus globalisasi, toh akhirnya, perlahan tapi pasti, globalisasi mampu menggoyang kemapanan sebuah tata kenegaraan. China, yang dari dulu bertahan dengan sistem komunismenya, harus membuka diri dengan arus globalisasi dan mengadopsi kapitalisme.

Dalam konteks politik, negara-negara Arab yang gersang dari demokrasi secara perlahan "dipaksa" mengakomodasi sistem demokrasi sebagai anak emas globalisasi. Itu membuktikan bahwa pengaruh dunia internasional dalam lingkup kehidupan negara bangsa merupakan realitas yang sulit dieliminasi.

Kenyataan tersebut juga memaksa kita untuk meredefinisi dan mengaktualisasi kembali arti ideologi, nasionalisme, sistem ekonomi, politik, dan budaya, bahkan kerangka dasar kehidupan berbangsa kita sehingga bangsa ini tidak besar dengan imajinasi nasionalismenya, tapi tak berpijak dalam kesadarannya.

Redefinisi Berbangsa

Saat ini terjadi tarik menarik antara tuntutan demokratisasi dan memenuhi kesejahteraan ekonomi. Demokrasi tidak selalu berjalin kelindan dengan kesejahteraan ekonomi.

Sebaliknya, kesejahteraan ekonomi tak selalu identik dengan demokrasi. Brunei Darussalam dan negara-negara Timur Tengah yang kaya tak pernah bersentuhan dengan demokrasi, tapi masyarakatnya hidup berkecukupan sehingga tidak memunculkan banyak gejolak. Sementara itu, India dan Filipina berhasil merayakan demokrasi, tapi anarki komunal dan gejolak politik seakan tak pernah mati. Pilihan terbaiknya tentu adanya keseimbangan antara demokrasi dan kesejahteraan ekonomi.

Dalam konteks demokrasi, Indonesia sudah berhasil merayakannya melalui prosesi pemilihan langsung, mulai presiden sampai kepala desa. Setelah tuntutan demokrasi itu terpenuhi, kini kita dihadapkan pada upaya pemenuhan kesejahteraan ekonomi. Untuk memenuhi kesejahteraan tersebut, pemerintahan SBY mengambil langkah mengikuti irama pasar.

Di pasar ada kesetaraan sehingga terjadi tawar menawar, ada aturan yang tidak boleh dilanggar, dan yang lebih penting adalah kemampuan untuk mengadaptasi diri.

Kemampuan untuk mengadaptasi diri tidak ditentukan oleh keberanian menolak kerja sama dengan negara lain, tapi keberanian untuk bersaing. Nasionalisme tidak bisa lagi didefinisikan sebagai kemauan menderita bersama demi melawan atau menolak investasi negara lain, tetapi lebih pada kemauan dan kemampuan untuk memperbaiki diri di tengah pasar kapitalisme.

Kita telanjur menjadi bangsa yang korup dan terbuai dengan kekayaan alam yang tak mampu dikelola sendiri, sementara kehendak untuk self correction dan introspeksi menjadi barang langka. Konsekuensinya, kita lebih suka menyalahkan orang atau negara lain daripada memperbaiki kekurangan dan kelemahan diri kita.

Di sisi lain, globalisasi bukanlah air surgawi yang mengalir jernih tanpa noda. Di dalamnya tetap sarat dengan distorsi, deviasi, dan hegemoni. Karena itu, bersikap kritis terhadap globalisasi sambil membangun budaya unggul dalam segala level kehidupan anak bangsa adalah langkah terbaik menyelesaikan persoalan yang sedang mendera negeri ini daripada bersilang lidah tanpa henti dan solusi. Dengan demikian, negara tak akan pernah tergadaikan, apalagi terjual. Semoga.*

A. Bakir Ihsan, analis dan dosen Ilmu Politik pada UIN Jakarta

Wednesday, April 12, 2006

Opini

DPR ke Australia, "Quo Vadis"?
Media Indonesia
, Selasa 11 April 2006

A. Bakir Ihsan

Rencana kunjungan anggota Komisi I DPR RI ke Australia patut dikritisi di tengah kebiasaan anggota dewan melancong ke luar negeri. Belum lama ini mereka mendapat sorotan, namun seperti anjing menggonggong, anggota DPR tetap berlalu ke Mesir, Jerman, Korea Selatan, dan beberapa negara lainnya.

Persoalannya bukan sekadar alasan mereka ke luar negeri yang tak berdasar, tapi juga prestasi mereka dalam mengagregasi dan mengartikulasi aspirasi rakyat belum maksimal dan kontrol terhadap pemerintah pun masih jauh dari harapan. Hak angket dan interpelasi yang sering mereka usulkan sudah tak bernyali sehingga melahirkan sinisme dan cibiran. Sekali mereka berhasil melaksanakan hak interpelasinya dalam kasus polio dan gizi buruk mereka tak bisa berbuat banyak, kecuali “caci maki” antara mereka sendiri.

Atas fakta-fakta politik tersebut, derajat kepercayaan terhadap peran DPR semakin runtuh. Mereka berbekal kepercayaan dari rakyat tapi dirongrongnya sendiri melalui intrik-intrik politik tanpa nyali.

Penguatan politik
Walaupun mendapat kritik tajam, rencana kunjungan anggota DPR ke Australia seperti tak terbendung. Secara politik, langkah tersebut sangat tidak menguntungkan bagi pembelajaran politik masyarakat. Secara tidak langsung kenekatan anggota DPR ke Australia di tengah kontroversinya, mengajari masyarakat untuk masa bodoh dengan input dan aspirasi orang lain. Mereka tidak peduli dengan himbauan bahkan kritik dari Majelis Rakyat Papua (MRP) yang jelas-jelas menolak rencana anggota DPR ke Australia karena dianggap tidak menyentuh substansi persoalan dan bukan ranahnya.

Agenda diplomasi antar negara adalah ranah eksekutif, bukan legislatif. Oleh sebab itu, alasan untuk membantu diplomasi Indonesia dalam kasus pemberian visa proteksi sementara (temporary protection visa) terhadap warga Papua sungguh alasan yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Bisa dipastikan, mereka tidak akan membawa hasil apa-apa kecuali komunikasi biasa dengan anggota parlemen atau warga Papua di Australia. Kita tidak bisa berharap banyak karena kecakapan komunikasi politik anggota dewan di Senayan sering tidak efektif, apalagi berhadapan dengan anggota parlemen negara lain.

Rencana kunjungan ke Australia dengan membawa misi negara menunjukkan adanya upaya memperlebar ranah peran anggota DPR. Ia ingin merambah ke berbagai ranah politik termasuk ranah diplomasi yang sesunggunya merupakan ranah pemerintah. Fenomena ini tidak hanya terlihat dari rencana kunjungan ke Australia. Dalam beberapa kasus anggota DPR sering overacting dalam merespon perkembangan politik nasional, sehingga tidak pernah menghasilkan output yang maksimal, baik sebagai lembaga kontrol maupun legislasi.

Alih-alih dapat meretas masalah relasi RI-Australia, justru kehadiran mereka di Australia bisa memunculkan masalah baru. Memecahkan masalah dengan masalah. Inilah salah satu kritik Francis Fukuyama melihat kecenderungan politik kekuasaan yang lebih mementingkan cakupan (skop) dan pelebaran peran daripada penguatan eksistensinya. Fenomena ini patut menjadi perhatian bersama di tengah transisi reformasi yang berlangsung saat ini.

Apabila fenomena politik yang serba mencakup ini terus dibiarkan, tanpa mempedulikan kualitas dan penguatan politik pada masing-masing lembaga politik, maka akan mengancam terhadap laju reformasi dan pendewasaan lembaga-lembaga demokrasi. Sejatinya anggota DPR lebih menguatkan fungsinya sebagai wakil rakyat yang mengontrol pemerintah, mengagregasi dan mengartikulasi aspirasi rakyat, bukan mengambil alih peran pemerintah.

Dalam kasus pemberian suaka, DPR sebetulnya bisa mempertanyakan kepada pemerintah langkah yang telah dilakukan dalam merespon sikap Australia. Namun hal ini tidak dilakukan. Mereka lebih tertarik terjun langsung ke Australia, bukannya ke Papua, dalam upaya mengartikulasi aspirasi masyarakat setempat. Anggota DPR lebih suka mencari kambing hitam dengan menuduh negara lain sebagai dalang yang membiayai dan mensupport Papua Merdeka, tanpa mempersoalkan mengapa hal itu terjadi. Kalau ini masalahnya, mengapa hanya ke Australia. Kenapa tidak ke negara-negara lain yang juga dianggap sebaga bagian dari jaringan Papua Merdeka.

Menyelesaikan dari dalam
Persoalan Papua merupakan rangkaian dari ketidakpuasan anak bangsa terhadap negara. Dan penyelesaiannya ada di tangan negara dan masyarakat setempat, bukan pada negara lain. Dalam mengatasi masalah separatisme ini, Indonesia sebenarnya sudah punya pengalaman yang patut dikembangkan. Aceh setelah sekian lama berada dalam konflik bersenjata akhirnya bisa duduk bersama dan berunding mencari solusi.

Walaupun gerakan separatisme di Aceh juga mendapat dukungan dari negara lain, namun suasananya tak setegang kasus pemberian visa terhadap 42 warga Papua. Dari sini terlihat jelas bahwa ada tebang pilih isu dalam merespon sikap negara terhadap negara lain.

Langkah pemerintah memang tak pernah sepi dari kritik khususnya dari para politisi. Dalam penyelesaian Aceh melalui MoU yang ditandatangani di Helsinki sebagian anggota DPR menganggapnya sebagai kekalahan diplomasi pemerintah berhadapan dengan GAM. Namun pada kenyataannya, MoU tersebut jauh lebih efektif meretas masalah daripada pendekatan lainnya. Kesepakatan melalui dialog jauh lebih baik daripada menghakimi apalagi menyalahkan negara lain sebagai provokator disintegrasi. Dan terbukti Aceh tak lagi bersimbah darah. Inilah yang bisa dikembangkan oleh pemerintah termasuk oleh anggota DPR dalam menangani kasus gerakan separatisme di Papua.

Presiden SBY sendiri secara tegas mengatakan tidak akan pernah mentolerir upaya mencabik kedaulatan NKRI. Ini berarti bahwa pemerintah berusaha menyikapi kasus pemberian visa terhadap warga Papua secara proporsional, bukan secara emosional. Pemberian suaka adalah hak politik Australia dengan segala kepentingan dan konsekuensinya. Karena, seperti dinyatakan oleh Arief Budiman, pemberian visa terhadap warga Papua, Australia akan menemui problem baru berupa membludaknya orang-orang Papua mencari suaka ke negeri kanguru (Media Indonesia, 6/4).

Sebagai sebuah negara, Australia pasti punya kepentingan dengan pemberian suaka. Tidak ada makan siang yang gratis. Penolakan Australia untuk memberikan suaka terhadap warga Afghanistan, membuktikan bahwa ada politik kepentingan dan pilih kasih dalam pemberian visa.

Politik dan kepentingan global tak mungkin kita hindari. Langkah yang bisa dilakukan adalah memperkuat diri dengan mengurai segala persoalan sosial secara jernih dan menatanya kembali secara maksimal sehingga membuat seluruh warga betah tinggal di negerinya sendiri. Kurang apik rasanya apabila kita marah pada tetangga karena menampung anak negeri, tapi kita tak pernah mengerti dan mengabaikan aspirasinya. Oleh sebab itu, mari kita perbaiki di dalam negeri, tanpa melancong ke luar negeri.*

Thursday, April 06, 2006

Opini

Menata Kembali Dialog Peradaban
Koran Tempo, Kamis 6 April 2006

A. Bakir Ihsan

Dalam waktu berdekatan Indonesia kedatangan dua tamu penting, yaitu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice dan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair. Penting bukan pada sosoknya, tapi pada negara yang diwakilinya. Amerika dan Inggris merupakan dua negara yang paling bertanggungjawab atas gerakan melawan terorisme dengan segala simplifikasi dan konsekuensinya. Kedua negara tersebut telah menjadi konduktor dalam orkestra melawan terorisme tanpa reserve yang memadai sehingga memunculkan korban kemanusiaan yang tak terduga. Sebuah propaganda kontraproduktif yang lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.
Sisi signifikansi dari kunjungan kedua negara tersebut adalah kesediaan untuk berdialog dengan umat Islam di tengah stigma bahwa kedua negara tersebut telah menperiferalkan umat Islam karena tuduhan simplistik sebagai kelompok teroris. Paling tidak dialog tersebut dapat meretas monopoli kebenaran masing-masing yang menyebabkan adanya benturan kepentingan Islam dan Barat yang selama ini dipersepsi sebagai benturan peradaban.

Wacana relasi Islam dan Barat merupakan wacana sepanjang masa. Paling tidak ia melintang sejajar dengan pertemuan Islam dan Barat itu sendiri. Namun sepanjang itu pula relasi di antara keduanya mengalami pasang surut.

Peristiwa 11/9 yang merobohkan simbol kedigjayaan Amerika Serikat memicu munculnya semangat permusuhan baru Islam versus Barat. Peristiwa yang menewaskan ribuan orang tersebut telah membuat Amerika merasa “terhina” di tengah upayanya memamerkan apa yang oleh Noam Chomsky disebut sebagai program of imperial ambition terhadap dunia.
Langkah Amerika atas kasus tersebut dengan segala caranya telah mengeraskan kembali relasi Islam dan Barat dalam bara kecurigaan. Sebelum peristiwa 11/9, relasi Islam dan Barat mulai melunak bahkan cenderung mencair melalui dialog peradaban yang digagas baik oleh dunia Islam maupun oleh Barat sendiri. Munculnya kajian oksidentalisme secara tidak langsung menempatkan Timur (Islam) berdiri sejajar dengan Barat yang lebih awal mengembangkan orientalisme. Namun demikian, hegemoni Amerika dan sekutunya dalam memposisikan Islam sedikit banyak menjadi kerikil yang menghambat laju dialog peradaban tersebut. Apalagi dengan isu terorisme yang telah mengalami distorsi dan menyulut stigmatisasi terhadap Islam sebagai agama teroris di kalangan masyarakat barat.

Indonesia vs Barat
Indonesia sebagai negara muslim terbesar sesungguhnya memiliki peran strategis untuk meretas kebekuan dan stigmatisasi tersebut. Paling tidak ada dua modal besar yang bisa dikembangkan dari Islam Indonesia demi mencairnya ketegangan Islam vis a vis Barat. Pertama, keberhasilan merayakan demokrasi. Sejak reformasi Indonesia telah menjadi perhatian dunia karena di samping berhasil meruntuhkan otoritarianisme, juga berhasil mengembangkan demokrasi. Dan lebih penting lagi, mayoritas penduduknya adalah muslim. Selama ini muncul stigma bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi atau dalam adagium yang lebih hegemonik, Islam tidak memiliki referensi demokrasi.

Kedua, tingkat toleransi sosial. Dengan tingkat keragaman suku dan agama, Indonesia sangat berpotensi menjadi ladang konflik, khususnya yang beraroma agama. Namun hal tersebut tidak terjadi, kecuali letupan-letupan kecil akibat kesalahpahaman yang kuantitasnya lebih kecil dibandingkan kuantitas keragaman itu sendiri. Letupan-letupan konflik yang memakai bendera agama lebih bersifat politis bukan teologis. Toleransi ini terjadi karena realitas historis pertemuan agama-agama di Indonesia tak pernah mewariskan konflik apalagi perang. Ini berbeda dengan pertemuan Islam dan Barat yang penuh darah.

Dengan kedua modal tersebut Indonesia bisa mengembangkan dirinya sebagai miniatur perdamaian dunia di tengah ketegangan-ketegangan ideologi maupun pragmatis. Inilah yang sehrarusnya lebih sering dipromosikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam interaksi internasional, sehingga dapat menjadi starting point bagi Indonesia dalam membangun sebuah citra positif di mata dunia. Sebagai negara muslim terbesar Indonesia tentu sangat berkepentingan untuk meluruskan stigmatisasi terhadap Islam karena akan berdampak pula bagi citra Indonesia.

Unsur muatan politis dalam dialog dan kunjungan pemimpin negara-negara Barat ke Indonesia sangat mungkin dan pasti terjadi. Karena dalam tata global tak ada interaksi yang bebas nilai dan lahir dari ruang hampa. Semuanya pasti berlandaskan kepentingan baik ekonomi, politik, maupun lainnya. Namun kesediaan untuk berdialog merupakan nilai tersendiri bagi upaya mencari persamaan daripada perbedaan. Dialog merupakan media paling egaliter untuk menemukan jalan keluar dari kebuntuan akibat stigmatisasi antara Islam dan Barat dan monopoli kebenaran oleh kedua belah pihak. Dalam konteks ini, dialog dapat dipahami sebagai kesediaan Barat untuk berdiri sejajar dengan masyarakat muslim Indonesia. Oleh karena itu, keduanya bisa mengambil keuntungan yang sama.

Atas dasar inilah dialog jauh lebih strategis daripada sikap antipati yang justru menjauhkan kesamaan dan perdamaian. Dari dialog ini pula kesepakatan kerjasama bisa dilakukan. Selain interfaith dialog yang akan terus diselenggarakan dengan cosponsor Indonesia-Inggris, juga kerjasama di bidang pendidikan dalam bentuk joint scholarship untuk mahasiswa Indonesia belajar di Inggris, dan mahasiswa Inggris belajar di Indonesia, serta dibentuknya UK-Indonesia Islamic Advisory Group yang dapat membumikan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan yang selama ini hanya menjadi harapan.

Melindungi minoritas
Kita sulit memungkiri bahwa stigmatisasi Islam sebagai agama teroris tidak lepas dari keterlibatan sebagian kelompok muslim dalam gerakan kaum teroris. Sehingga stigmatisasi seakan menjadi absah walaupun sering terjadi generalisasi dan simplifikasi. Begitu juga masalah kesetaraan dan kesamaan yang menjadi ruh demokrasi masih menjadi komoditas langka di negara-negara yang notabene muslim, sehingga menghambat aktualisasi misi Islam sendiri sebagai rahmatan lil alamin.

Atas dasar itulah Asghar Ali Engineer melihat kuantitas populasi tidak serta merta menjadi jaminan tegaknya demokrasi yang menghargai hak asasi. Dalam pemerintahan yang demokratis populasi sangat dibutuhkan tetapi tidak cukup untuk menjamin kebebasan beragama dan kebebasan lainnya yang menjadi asasi kemanusiaan. Oleh sebab itu perlu dilakukan kesepakatan dan langkah bersama untuk saling menghargai hak-hak politik seluruh warga, termasuk hak politik minoritas. Non-muslim sebagai minoritas di negara-negara muslim harus dijamin hak-hak politiknya. Begitu juga minoritas muslim di negara sekuler harus mendapatkan hak politik yang sama. Hal ini harus dilakukan atas dasar prinsip demokrasi, bukan karena balas budi apalagi hanya mencari simpati dan sensasi.

Inilah agenda yang harus menjadi perhatian bersama baik Indonesia maupun Barat yang belum mampu mengaktualisasikan demokrasi sejati yang menjunjung hak asasi. Demokrasi masih menjadi topeng dominasi mayoritas yang sering membunuh hak politik minoritas. Fenomena ini tidak hanya di Indonesia. Pengebirian hak minoritas muslim di Eropa menjadi bukti bahwa demokrasi masih sekadar perpanjangan definisi bukan aktualisasi substansi.

Kenyataan inilah yang harus dikedepankan dalam dialog government to government untuk ambil bagian dalam rekonstruksi dialog antar peradaban yang timpang, hegemonik, penuh ketegangan, dan kecurigaan. Inilah urgensi kerjasama yang harus terus dikedepankan oleh Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim dengan negara-negara Barat yang mayoritas penduduknya Kristen dan muslim menjadi minoritas. Sekali lagi, kerjasama ini bukan persoalan balas budi, tapi karena prinsip dasar kemanusiaan yang menghendaki adanya persamaan dan kesetaraan. Semoga.

Monday, April 03, 2006

Opini

Runtuhnya Komunikasi Politik Senayan
Investor Daily, Sabtu 1 April 2006

A. Bakir Ihsan

Baru-baru ini Lembaga Survei Indonesia (LSI) melansir hasil surveinya tentang kinerja lembaga-lembaga politik. Dan hasilnya sungguh tidak mengejutkan. Hasil survei menyebutkan bahwa partai politik (parpol) merupakan lembaga paling buruk kinerjanya. Kenyataan ini harus disikapi secara serius karena bisa mengancam kelangsungan konsolidasi demokrasi. Parpol merupakan medium politik paling strategis dan menjadi pintu masuk kekuasaan, mulai presiden dan wapres, anggota DPR, sampai kepala daerah. Ranah kekuasaan hanya bisa dijamah melalui parpol.

Konsekuensi dari buruknya kinerja parpol adalah munculnya kader-kader parpol yang tidak maksimal. Dari fenomena yang berlangsung di Senayan terlihat jelas potret suram kinerja anggota DPR, sebagai kader parpol. Gagalnya penggunaan hak interpelasi dan nafsu menaikkan gaji menjadi bukti runtuhnya integritas anggota dewan. Salah satu keberhasilan anggota DPR menggunakan hak interpelasinya adalah dalam kasus busung lapar dan polio pada sidang paripurna 7 Maret lalu. Namun keberhasilan tersebut hanya simbolik belaka.

Sebagaimana diketahui dalam rapat interpelasi tersebut, tak ada satu pun persoalan substansial yang diajukan oleh anggota DPR, kecuali mempertanyakan ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang secara konstitusi dibenarkan.

Dari dinamika politik di Senayan, khususnya terkait pengajuan hak interpelasi dan rencana kenaikan gaji di atas, memunculkan empat fakta politik. Pertama, politik merupakan wilayah yang begitu kental dengan kepentingan, sehingga sulit diseragamkan. Pengajuan hak interpelasi yang disepakati bersama, ternyata tidak berjalan maksimal dan terpecah di tengah jalan. Bahkan PDIP sebagai penggagas interpelasi kasus busung lapar dan polio tidak menunjukkan taringnya sebagai oposisi sebagaimana yang sering digembar-gemborkan.

Kedua, DPR belum memiliki isu yang cukup kuat, akurat, dan komprehensif untuk mengontrol pemerintah. Masalah impor beras dan kasus busung lapar dan polio tidak berdasarkan data yang jelas dan akurat, sehingga mentah di tengah jalan dan tidak mendapatkan respon substantif dari pemerintah. Kenyataan ini menunjukkan fakta politik yang ketiga, yaitu penggunaan hak-hak DPR baik interpelasi maupun angket, lebih bernuansa politis daripada substansi dan fungsi dari hak interpelasi itu sendiri, yaitu meminta penjelasan dari pemerintah secara detail dan transparan, sehingga bisa diterima oleh para anggota dewan sebagai wakil rakyat.

Keempat, matinya sensitivitas anggota dewan terhadap derita orang-orang yang diwakilinya, yaitu rakyat. Dengan logika apapun, kenaikan gaji di tengah tak terjangkaunya kebutuhan pokok masyarakat, tidaklah rasional dan tidak etis secara sosial.

Fakta-fakta politik di atas patut menjadi catatan, karena ini merupakan potret politik DPR yang semakin hari semakin tidak jelas jenis kelaminnya. Agenda-agenda mereka tidak solid, tergantung pada kepentingan politik mereka. Kandasnya hak angket dan hak interpelasi semakin memperpanjang daftar absurditas sekaligus paradoksalitas politik anggota dewan yang sering mengatasnamakan rakyat. Masyarakat dengan telanjang mata menyaksikan betapa carut marutnya perilaku anggota dewan terkait dengan minimnya sensitivitas mereka di tengah derita rakyat.

Sensitivitas politik anggota DPR muncul ketika ada masalah yang terkait langsung dengan kekuasaan, tanpa melihat substansi persoalannya. Sehingga gerakan politiknya menjadi sporadis dan berakhir dengan sia-sia (tanpa hasil). Lebih dari itu, orientasi politik anggota DPR lebih bersifat outward looking daripada inward looking. Mereka lebih sensitif terhadap masalah eksternal daripada problem internal yang terjadi pada diri mereka sendiri. Ini akan menjadi ancaman atau bahkan bisa menjadi duri dalam daging reformasi. DPR yang seharusnya menegakkan kontrol secara permanen terhadap pemerintah ternyata hanya berfungsi ketika ada kasus-kasus tertentu yang bernilai politis dan terkait langsung dengan kekuasaan. Anggota DPR lebih bernafsu mempersoalkan isu mobil jaguar dan surat Menseskab daripada mendorong pemerintah untuk menuntaskan kasus BLBI atau korupsi di PLN, Pertamina, maupun di lembaga lainnya, termasuk korupsi yang melibatkan anggota DPR.

Koalisi Terbatas
Untuk membangun kembali kualitas komunikasi politik DPR diperlukan sikap tegas parpol vis a vis pemerintah. Pada masa kampanye pilpres 2004, SBY mewacanakan tentang perlunya koalisi terbatas dalam pemerintahan. Dan SBY mewujudkan hal tersebut dengan tidak melibatkan semua partai politik di dalam kabinetnya. Langkah ini dilakukan agar terjadi check and balance antara pemerintah dengan lembaga legislatif. Namun keinginan tersebut tidak sepenuhnya teraktualisasi karena parpol ternyata bermuka dua. Satu kaki ingin menjadi bagian dari pemerintah, tentu dengan konsesi-konsesi politik, namun di sisi lain ingin bermain sebagai “oposisi” untuk mendapat simpati dari masyarakat dengan menjual berbagai isu. Alih-alih mendapat keuntungan ganda, justru sikap tersebut bisa memancing antipati dan cap “parpol banci”.

PDIP yang sejak awal tidak dilibatkan dalam kabinet menjadi lebih intensif melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Dan dalam jangka panjang, jika PDIP mampu memperlihatkan konsistensi oposisinya secara elegan dan berkualitas, tidak menutup kemungkinan ia bisa mendapat simpati lebih dari masyarakat. Paling tidak posisi oposisi tersebut menjadi matra tersendiri di mata pemilihnya.

Dalam tata politik kenegaraan modern, keberadaan partai oposisi (opposition party) sebagai penyeimbang partai pemerintah (rulling party) merupakan suatu keniscayaan. Fungsi kontrol akan lebih kuat ketika ada keseimbangan antara pemerintah dengan rakyat melalui pengelompokan partai politik ke dalam dua arus besar, yaitu partai pemerintah dan partai oposisi. Dan bagi SBY hal tersebut tentu sangat menguntungkan, karena dapat memperkuat legitimasi kekuasaannya di satu sisi, dan dapat menjadi mercusuar agar kekuasaannya tidak tersesat di sisi yang lain. Dan bagi masyarakat, hal tersebut dapat menjadi media pembelajaran politik yang lebih prospektif bagi kepentingan akomodasi kepentingan mereka.

Keputusan untuk menjadi partai pemerintah atau partai oposisi sebenarnya lebih merupakan pilihan strategis berhadapan dengan kekuasaan. Ketika partai politik tidak bisa atau tidak berani mengidentifikasikan dirinya secara jelas dan tegas berhadapan dengan kekuasaan, maka ia selamanya akan menjadi partai abu-abu (oportunis?) yang dapat mengancam dan mengaburkan eksistensinya.

Dengan konsep koalisi terbatas ini sebenarnya SBY berharap adanya check and balance yang berkualitas bagi tatanan politik kenegaraan. SBY ingin menarik garis tegas antara partai pemerintah dengan partai non-pemerintah. Partai pemerintah tidak berarti menjadi kerbau yang dicocok hidungnya. Tapi menjadi partner yang produktif bagi kepentingan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Bagi parpol pemerintah, kritik bisa dilakukan secara internal karena mereka sudah menjadi bagian dari pemerintah. Apabila kritik dilakukan secara “vulgar”, maka berarti ia mencoreng mukanya sendiri.

Di sinilah saya kira para politisi di Senayan dan partai politik harus menata kembali pilihan politiknya secara konsisten dan bermartabat, sehingga tidak menambah daftar panjang kekecewaan masyarakat terhadap para politisi sipil, yang sering mengatasnamakan rakyat. Dan masyarakat bisa mengontrol konsistensi politik di Senayan dengan melihat kesungguhan mereka dalam menindaklanjuti secara serius seluruh kebijakan pemerintah yang dianggap tidak menguntungkan masyarakat. Dalam kasus impor beras, busung lapar dan polio, Freeport, Exxon Mobil, dan kasus lainnya tak banyak langkah serius yang diambil anggota DPR kecuali perdebatan wacana yang saling memojokkan bahkan tidak jarang dengan caci maki, bukan memberi solusi.

Dari hiruk pikuk yang berlangsung di Senayan semakin jelas terlihat mana parpol yang betul-betul serius dan konsisten mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat, dan parpol yang sekadar show of forces di wilayah publik untuk mendapatkan konsesi-konsesi politis dari kekuasaan. Kalau ternyata DPR menganggap segala persoalan bisa diselesaikan melalui hak interpelasi, tanpa tindak lanjut yang lebih serius setelah itu, maka semakin jelas, betapa komunikasi politik anggota dewan hanya untuk gagah-gagahan daripada keberpihakan sejati pada rakyat. Inilah awal keruntuhan komunikasi politik Senayan sebagai simbol komunikasi seluruh rakyat.*