Thursday, April 06, 2006

Opini

Menata Kembali Dialog Peradaban
Koran Tempo, Kamis 6 April 2006

A. Bakir Ihsan

Dalam waktu berdekatan Indonesia kedatangan dua tamu penting, yaitu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice dan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair. Penting bukan pada sosoknya, tapi pada negara yang diwakilinya. Amerika dan Inggris merupakan dua negara yang paling bertanggungjawab atas gerakan melawan terorisme dengan segala simplifikasi dan konsekuensinya. Kedua negara tersebut telah menjadi konduktor dalam orkestra melawan terorisme tanpa reserve yang memadai sehingga memunculkan korban kemanusiaan yang tak terduga. Sebuah propaganda kontraproduktif yang lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.
Sisi signifikansi dari kunjungan kedua negara tersebut adalah kesediaan untuk berdialog dengan umat Islam di tengah stigma bahwa kedua negara tersebut telah menperiferalkan umat Islam karena tuduhan simplistik sebagai kelompok teroris. Paling tidak dialog tersebut dapat meretas monopoli kebenaran masing-masing yang menyebabkan adanya benturan kepentingan Islam dan Barat yang selama ini dipersepsi sebagai benturan peradaban.

Wacana relasi Islam dan Barat merupakan wacana sepanjang masa. Paling tidak ia melintang sejajar dengan pertemuan Islam dan Barat itu sendiri. Namun sepanjang itu pula relasi di antara keduanya mengalami pasang surut.

Peristiwa 11/9 yang merobohkan simbol kedigjayaan Amerika Serikat memicu munculnya semangat permusuhan baru Islam versus Barat. Peristiwa yang menewaskan ribuan orang tersebut telah membuat Amerika merasa “terhina” di tengah upayanya memamerkan apa yang oleh Noam Chomsky disebut sebagai program of imperial ambition terhadap dunia.
Langkah Amerika atas kasus tersebut dengan segala caranya telah mengeraskan kembali relasi Islam dan Barat dalam bara kecurigaan. Sebelum peristiwa 11/9, relasi Islam dan Barat mulai melunak bahkan cenderung mencair melalui dialog peradaban yang digagas baik oleh dunia Islam maupun oleh Barat sendiri. Munculnya kajian oksidentalisme secara tidak langsung menempatkan Timur (Islam) berdiri sejajar dengan Barat yang lebih awal mengembangkan orientalisme. Namun demikian, hegemoni Amerika dan sekutunya dalam memposisikan Islam sedikit banyak menjadi kerikil yang menghambat laju dialog peradaban tersebut. Apalagi dengan isu terorisme yang telah mengalami distorsi dan menyulut stigmatisasi terhadap Islam sebagai agama teroris di kalangan masyarakat barat.

Indonesia vs Barat
Indonesia sebagai negara muslim terbesar sesungguhnya memiliki peran strategis untuk meretas kebekuan dan stigmatisasi tersebut. Paling tidak ada dua modal besar yang bisa dikembangkan dari Islam Indonesia demi mencairnya ketegangan Islam vis a vis Barat. Pertama, keberhasilan merayakan demokrasi. Sejak reformasi Indonesia telah menjadi perhatian dunia karena di samping berhasil meruntuhkan otoritarianisme, juga berhasil mengembangkan demokrasi. Dan lebih penting lagi, mayoritas penduduknya adalah muslim. Selama ini muncul stigma bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi atau dalam adagium yang lebih hegemonik, Islam tidak memiliki referensi demokrasi.

Kedua, tingkat toleransi sosial. Dengan tingkat keragaman suku dan agama, Indonesia sangat berpotensi menjadi ladang konflik, khususnya yang beraroma agama. Namun hal tersebut tidak terjadi, kecuali letupan-letupan kecil akibat kesalahpahaman yang kuantitasnya lebih kecil dibandingkan kuantitas keragaman itu sendiri. Letupan-letupan konflik yang memakai bendera agama lebih bersifat politis bukan teologis. Toleransi ini terjadi karena realitas historis pertemuan agama-agama di Indonesia tak pernah mewariskan konflik apalagi perang. Ini berbeda dengan pertemuan Islam dan Barat yang penuh darah.

Dengan kedua modal tersebut Indonesia bisa mengembangkan dirinya sebagai miniatur perdamaian dunia di tengah ketegangan-ketegangan ideologi maupun pragmatis. Inilah yang sehrarusnya lebih sering dipromosikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam interaksi internasional, sehingga dapat menjadi starting point bagi Indonesia dalam membangun sebuah citra positif di mata dunia. Sebagai negara muslim terbesar Indonesia tentu sangat berkepentingan untuk meluruskan stigmatisasi terhadap Islam karena akan berdampak pula bagi citra Indonesia.

Unsur muatan politis dalam dialog dan kunjungan pemimpin negara-negara Barat ke Indonesia sangat mungkin dan pasti terjadi. Karena dalam tata global tak ada interaksi yang bebas nilai dan lahir dari ruang hampa. Semuanya pasti berlandaskan kepentingan baik ekonomi, politik, maupun lainnya. Namun kesediaan untuk berdialog merupakan nilai tersendiri bagi upaya mencari persamaan daripada perbedaan. Dialog merupakan media paling egaliter untuk menemukan jalan keluar dari kebuntuan akibat stigmatisasi antara Islam dan Barat dan monopoli kebenaran oleh kedua belah pihak. Dalam konteks ini, dialog dapat dipahami sebagai kesediaan Barat untuk berdiri sejajar dengan masyarakat muslim Indonesia. Oleh karena itu, keduanya bisa mengambil keuntungan yang sama.

Atas dasar inilah dialog jauh lebih strategis daripada sikap antipati yang justru menjauhkan kesamaan dan perdamaian. Dari dialog ini pula kesepakatan kerjasama bisa dilakukan. Selain interfaith dialog yang akan terus diselenggarakan dengan cosponsor Indonesia-Inggris, juga kerjasama di bidang pendidikan dalam bentuk joint scholarship untuk mahasiswa Indonesia belajar di Inggris, dan mahasiswa Inggris belajar di Indonesia, serta dibentuknya UK-Indonesia Islamic Advisory Group yang dapat membumikan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan yang selama ini hanya menjadi harapan.

Melindungi minoritas
Kita sulit memungkiri bahwa stigmatisasi Islam sebagai agama teroris tidak lepas dari keterlibatan sebagian kelompok muslim dalam gerakan kaum teroris. Sehingga stigmatisasi seakan menjadi absah walaupun sering terjadi generalisasi dan simplifikasi. Begitu juga masalah kesetaraan dan kesamaan yang menjadi ruh demokrasi masih menjadi komoditas langka di negara-negara yang notabene muslim, sehingga menghambat aktualisasi misi Islam sendiri sebagai rahmatan lil alamin.

Atas dasar itulah Asghar Ali Engineer melihat kuantitas populasi tidak serta merta menjadi jaminan tegaknya demokrasi yang menghargai hak asasi. Dalam pemerintahan yang demokratis populasi sangat dibutuhkan tetapi tidak cukup untuk menjamin kebebasan beragama dan kebebasan lainnya yang menjadi asasi kemanusiaan. Oleh sebab itu perlu dilakukan kesepakatan dan langkah bersama untuk saling menghargai hak-hak politik seluruh warga, termasuk hak politik minoritas. Non-muslim sebagai minoritas di negara-negara muslim harus dijamin hak-hak politiknya. Begitu juga minoritas muslim di negara sekuler harus mendapatkan hak politik yang sama. Hal ini harus dilakukan atas dasar prinsip demokrasi, bukan karena balas budi apalagi hanya mencari simpati dan sensasi.

Inilah agenda yang harus menjadi perhatian bersama baik Indonesia maupun Barat yang belum mampu mengaktualisasikan demokrasi sejati yang menjunjung hak asasi. Demokrasi masih menjadi topeng dominasi mayoritas yang sering membunuh hak politik minoritas. Fenomena ini tidak hanya di Indonesia. Pengebirian hak minoritas muslim di Eropa menjadi bukti bahwa demokrasi masih sekadar perpanjangan definisi bukan aktualisasi substansi.

Kenyataan inilah yang harus dikedepankan dalam dialog government to government untuk ambil bagian dalam rekonstruksi dialog antar peradaban yang timpang, hegemonik, penuh ketegangan, dan kecurigaan. Inilah urgensi kerjasama yang harus terus dikedepankan oleh Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim dengan negara-negara Barat yang mayoritas penduduknya Kristen dan muslim menjadi minoritas. Sekali lagi, kerjasama ini bukan persoalan balas budi, tapi karena prinsip dasar kemanusiaan yang menghendaki adanya persamaan dan kesetaraan. Semoga.

No comments: