Tuesday, April 25, 2006

Opini

Paradoks Budaya Politik Senayan
Koran Tempo
, Selasa 25 April 2006

A. Bakir Ihsan

Cerita amplop di Senayan sudah lama terdengar. Tapi sepanjang itu pula semua amplop dianggap biasa bahkan sebuah kemestian. Amplop bukan simbol kolusi, apalagi korupsi. Ia hanya uang lelah anggota komisi. Itulah yang terjadi dalam kasus pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUU PA) yang memakan biaya Rp1 miliar lebih (Koran Tempo, 19/4). Ketua Pansus RUU PA, Ferry Mursyidan Baldan (F-Golkar) menganggap anggaran tersebut sebagai dana transportasi yang halal dan wajar. Ferry menyamakannya dengan uang konsumsi yang biasa dihidangkan saat rapat komisi. Sementara wakil ketua DPR, Soetardjo Soerjogoeritno menganggapnya sebagai sogokan alias kolusi karena diberikan sebelum pekerjaan selesai.

Persoalan uang selalu mengundang kontroversi bahkan di antara anggota DPR sendiri. Masih kuat dalam ingatan kita ketika DPR hendak menaikkan gaji dan bocor ke media. Bukannya mereka malu, justru mereka mengutuk dan marah terhadap anggota BURT lainnya yang membocorkan rencana kenaikan tersebut.

DPR seperti sebuah negara dalam negara. Mereka mengusulkan, mengatur, dan mengesahkan sendiri apa yang dikehendakinya. Mereka menjelma menjadi gerombolan tanpa kendali. Tak ada kontrol yang mumpuni untuk mengendalikan gerak mereka bahkan oleh mereka sendiri. Bukti terakhir, mereka tak terkendali untuk bertandang ke Australia atas nama diplomasi total walaupun dikritik bahkan oleh sesama anggota komisinya sendiri.

Gejala politik di Senayan mencerminkan kondisi real transisi politik dan reformasi di negeri ini. Para elit politik di Senayan masih belajar menata karut marut kepentingan dan perbedaan visi di antara mereka sendiri dalam melihat sebuah persoalan. Ini memang ironis. Sebuah lembaga yang seharusnya melakukan fungsi agregasi dan artikulasi aspirasi rakyat, masih disibukkan oleh persoalan internal dirinya. Dalam kondisi demikian, tak banyak yang bisa diharapkan bagi revitalisasi peran dan fungsi DPR.

Kesadaran Praktis
Fungsi dan peran yang diemban DPR sangatlah berat. Mereka harus mampu mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan rakyat yang sangat beragam di tengah keragaman kepentingan di antara mereka sendiri. Di sinilah integritas anggota dewan dipertaruhkan. Kemampuan menata dan mensubordinasi kepentingan dirinya di tengan ragam kepentingan masyarakat menentukan integritas moral politik para anggota dewan. Namun yang terjadi jauh panggang dari api. Ragam kepentingan dan pluralitas masyarakat bukannya ditata secara sinergis, malah seringkali dibuat semakin paradoks dan kontradiktif. Hal ini bisa dilihat dari beberapa rancangan undang-undang yang mendapat respon dan gejolak di masyarakat. Mulai RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) sampai RUU Pemerintahan Aceh yang tak pernah sepi dari kontroversi.

Perbedaan kepentingan sesungguhnya merupakan realitas alamiah. Tingkat gejolak di tengah masyarakat akan ditentukan oleh kualitas kemampuan anggota dewan dalam mengapresiasi aspirasi yang berkembang di masyarakat. Terjadinya aksi unjuk rasa dan mogok nasional merupakan bukti konkret dari tidak berfungsinya media aspirasi yang ada di tangan anggota dewan. Masyarakat lebih percaya pada dirinya sendiri untuk memperjuangkan aspirasinya, sementara anggota dewan lebih sibuk berpikir taktis-strategis untuk kepentingan eksistensi mereka lima tahun yang akan datang di Senayan.

Kenyataan tersebut bukan sekadar keniscayaan sebuah transisi politik, namun telah sampai pada apa yang oleh Aristoteles disebut sebagai habitus. Ia telah menjadi bagian dari bawah sadar yang secara reflek akan selalu muncul secara simultan. Fakta politik di Senayan merupakan cerminan dari struktur kesadaran yang mengental dalam diri anggota dewan. Sehingga standar moral dan kode etik yang menjadi acuan Badan Kehormatan DPR tak pernah berdaya berhadapan dengan gurita habitus yang terlanjur menyimpang tersebut.
Jadi bukan sesuatu yang luar biasa apabila di Senayan sering muncul perilaku politik menyimpang dari kehendak umum yang ada dalam kesadaran moral masyarakat. Kalau DPR sampai sekarang belum bisa memperlihatkan kinerjanya yang baik, maka itulah habitusnya yang jelek.

Money oriented dan standar hidup yang tinggi telah menjadi bagian dari struktur kesadaran anggota DPR. Sehingga mereka tak pernah mempermasalahkan pendapatan di luar gaji yang sudah dianggarkan. Bahkan mereka mencari celah untuk mendapatkannya. Oleh sebab itu, tidak usah heran apabila di masa yang akan datang DPR lagi-lagi akan terjerat dalam urusan duit dengan segala implikasi sosial yang tak pernah dipikirkan. Dan inilah dinamika kesadaran para anggota dewan yang oleh Anthony Giddens disebut sebagai kesadaran praktis.

Gerakan Berhemat
Fakta politik di Senayan merupakan tantangan berat bagi pemerintahan SBY yang belakangan mengkampanyekan hidup berhemat. Langkah ini seharusnya bisa berjalan sebagaimana pemberantasan korupsi yang sejak awal dicanangkan oleh SBY. Kalau SBY bisa menyatakan perang melawan korupsi dengan langkah-langkah konkret pembongkaran dan pengadilan terhadap para koruptor, maka saat ini pun SBY seharusnya bisa menyatakan perang melawan konsumerisme dan pemborosan anggaran yang kental di tubuh pemerintahan, termasuk di lingkungan DPR.

Namun langkah ini harus dilakukan ekstra hati-hati di tengah ranjau politik yang ditebarkan oleh para politisi. SBY harus banyak berhitung, terutama dengan DPR sebagai pengendali kekuasaan paling absah. Ini merupakan konsekuensi dari tidak adanya topangan politik yang sangat kuat bagi SBY di Senayan. Walaupun SBY-JK dipilih langsung oleh rakyat, nasib SBY-JK tetap berada di tangan Senayan.

Politik sebagai the art of the possible sangat kentara di negeri ini. Politik elit selalu membuka peluang bagi munculnya kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya dianggap tidak mungkin. Hal ini terlihat dari beberapa kasus hancurnya kalkulasi politik Istana berhadapan dengan langkah-langkah politik zig-zag yang diambil di Senayan. Begitu juga langkah politik beberapa tokoh nasional dalam merespon kebijakan negara. Mulai hak interpelasi sampai surat Sudi Silalahi menjadi sasaran tembak bagi eksistensi SBY.

Langkah pemberantasan korupsi dan gerakan berhemat merupakan dua sisi mata uang. Korupsi yang telah menjadi fenomena sistemik memiliki korelasi dengan gaya hidup boros yang terjadi di jajaran elit. Anggota DPR yang sudah terbiasa dengan gaji tinggi serta merta secara habitus memiliki gaya hidup yang tinggi pula. Sudah bukan rahasia lagi, lobi-lobi mereka dilakukan di hotel-hotel berbintang. Bahkan sebagian anggota DPR memiliki “tempat nongkrong” khusus untuk melancarkan lobi-lobi politiknya. Dan dari sana pula sering terdengar politik main mata anggota DPR dengan kepala-kepala daerah untuk melancarkan pencairan proyek dari pusat.

Dalam kondisi demikian, gerakan berhemat tidak bisa hanya diletakkan dalam konteks budaya, tapi perlu penguatan kebijakan yang memaksa seluruh lapisan sosial, terutama para elit politik untuk berhemat. Tentu tidak mudah melakukan agenda ini. Paling tidak ia akan mendapat reaksi dan resistensi dari para pejabat yang terlanjur mengabdikan dirinya pada citra bukan pada kualitas dan integritas diri. Namun membiarkan gejala ini terus berlangsung, akan memupuk kesenjangan sosial yang bermuara pada letupan-letupan kekecewaan. Sungguh atmosfir politik kita masih mempertontonkan paradoksalitas yang menjelma dalam bentuk kehendak berhemat di satu sisi dan keniscayaan menerima amplop di sisi yang lain.*

No comments: