Friday, April 28, 2006

Opini

Menimbang Paradigma Kesejahteraan SBY
Seputar Indonesia, Jum’at 28 April 2006

A. Bakir Ihsan

Pada acara pembukaan rapat majelis pimpinan paripurna Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan tentang standar kesejahteraan negara. Menurutnya kesejahteraan negara tidak hanya diukur oleh pertumbuhan ekonomi maupun income perkapita (economic growth). Tapi juga diukur oleh kualitas hidup warga negaranya, seperti standar pendidikan, kesehatan, rasa aman, dan kecukupan pangan. (Seputar Indonesia, 22/4/06).

Membaca standar kesejahteraan tersebut menarik dicermati secara mendalam di tengah hegemoni kapitalisme global yang menjadikan akumulasi modal sebagai standar eksistensi negara. Kesejahteraan sosial menjadi komoditas suci di tengah negara berlomba-lomba meningkatkan perekonomiannya dengan membuka pintu selebar-lebarnya bagi para investor dan pengusaha.

Selama ini ada dua standar kesejahteraan yang oleh para pengamat modern welfare state (negara kesejahteraan modern) sering dikumandangkan, yaitu social welfare dan economic development. Social welfare lebih mengacu pada penghargaan terhadap hak-hak sosial dan pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan peningkatan kualitas hidup lainnya. Sementara economic development terkait dengan pertumbuhan, akumulasi modal, dan keuntungan ekonomi (James Midgley, 2003).

Kedua pendekatan tersebut memiliki konsekuensi-konsekuensi terhadap kebijakan yang diambil oleh sebuah negara. Social welfare mengandaikan adanya kebijakan yang mendorong pada pelayanan publik yang berkualitas. Pelayanan kesehatan yang murah bahkan gratis, pendidikan yang terjangkau, bantuan langsung terhadap mereka yang tidak mampu, dan orientasi utama pada pelayanan publik.

Sementara economic development mengharuskan adanya kebijakan yang merangsang pertumbuhan investasi yang tinggi sehingga negara bisa mendapatkan devisa yang tinggi pula. Penanaman modal baik domestik maupun asing dimobilisir untuk mendapatkan keuntungan bagi kepentingan negara. Pemasukan modal dengan menarik investor ini dengan sendirinya dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas hidup.

Menimbang Kenyataan
Kerangka ideal eksistensi modern welfare state tersebut bisa dijadikan rujukan dan komitmen bagi pemerintah agar gerak perkembangan negara pada era reformasi ini bisa terarah dan memiliki dampak langsung pada masyarakat.

Dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan SBY terlihat ke arah tersebut. Pengembangan ekonomi dengan menarik investasi baik dari dalam maupun dari luar serta perbaikan hubungan industrial yang melibatkan pekerja, pengusaha, dan pemerintah menjadi salah satu indikator ke arah economic development.

Di sisi lain, pemerintahan SBY juga mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada pelayanan sosial. Bantuan Langsung Tunai (BLT), pengobatan gratis untuk kelas tertentu, dan pendidikan gratis merupakan langkah-langkah yang mengacu pada social welfare. Kalau demikian, apakah kita sudah masuk pada kategori modern welfare state?

Pertanyaan ini bukan sekadar untuk mengungkap kerangka epistemologis dari eksistensi negara. Namun paling tidak dari sana kita bisa mengoreksi dan mengawal langkah-langkah pemerintahan SBY agar tidak terjerumus pada wacana-wacana yang tak berpijak pada kenyataan yang justru bisa memproduksi kekecewaan.

Kalau kita amati sepintas beberapa langkah yang ditempuh pemerintah mulai penggalakan investasi sampai BLT telah memenuhi standar modern welfare state. Namun fenomena-fenomena tersebut harus diperkuat oleh paradigma kerakyatan yang diikat tidak hanya dalam komitmen, tapi menjelma dalam rule of law. Karena kalau tidak, dikhawatirkan masuknya investor-investor baik dalam maupun asing hanya menguntungkan sebagian elit. Pertumbuhan ekonomi nasional hanya berputar di kalangan terbatas, sementara rakyat tetap terhempas. Hal ini terjadi pada masa lalu, di tengah negara kaya raya, tapi masyarakatnya menderita.

Begitu juga dengan bantuan dan pelayanan sosial. Langkah tersebut apakah betul-betul merupakan bagian dari proses kebijakan negara yang proporsional dan optimal, atau hanya tambal sulam untuk menekan tingkat keresahan masyarakat akibat kebijakan lainnya. Pemberian BLT, misalnya, lebih sebagai kompensasi dari kenaikan harga BBM yang begitu tinggi. Ia bukan berangkat dari keharusan pemerintah atau negara untuk menyejahterakan rakyatnya.

Standar-standar welfare state di atas lebih bersifat prosedural dan cenderung menjadi ritual. Ia belum menyentuh substansi dan esensi dari welfare state itu sendiri. Fenomena ini sama dengan fenomena politik masa lalu yang secara prosedural kelembagaan memenuhi standar demokrasi, tapi secara substantif masih belum berakar dalam perilaku politik elit. Partai politik, pemilu, dan pembagian kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif tersedia sebagai bagian dari prasyarat demokrasi. Namun semua prasyarat tersebut berfungsi tidak untuk kepentingan rakyat tapi kekuasaan.

Melihat kemungkinan terjadinya distorsi dan deviasi atas paradigma kesejahteraan yang disinyalir Presiden SBY, maka pemerintah harus mengoptimalkan segala upaya agar program-program tersebut tidak terjebak pada social welfare dan economic development yang semu. Langkah ini tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia seperti lingkaran setan yang yang saling terkait dan sulit diusut ujung pangkalnya. Untuk itu perlu tahapan-tahapan yang mengarah pada peningkatan dan perbaikan kedua dimensi tersebut secara simultan.

Modal SBY
Pertanyaan awal yang harus diajukan adalah adakah komitmen pemerintahan SBY untuk membentuk modern walfare state? Adakah kondisi-kondisi sosial yang mendukung ke arah tersebut?

Melihat fenomena pemerintahan SBY, ada beberapa kesenjangan yang perlu dipadukan secara berkelindan. Pertama, kebijakan yang berhasil mengundang simpati masyarakat. Kebijakan ini terutama terkait dengan masalah politik dan penegakan hukum. Misalnya pelaksanaan pilkada yang relatif aman dan penangkapan serta pengadilan terhadap para koruptor yang semakin hari semakin memberi angin yang menggembirakan.

Kedua, kebijakan yang kurang mendapat respon dari masyarakat. Kebijakan ini terutama terkait dengan masalah ekonomi, seperti kebijakan impor beras, kenaikan BBM yang diikuti oleh merambatnya harga-harga komoditas lainnya.

Ketiga, kebijakan yang mengambang karena belum adanya ketegasan dari pemerintah. Seperti kelanjutan “nasib” Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan undang-undang ketenagakerjaan yang belum final karena adanya tarik ulur antara yang pro revisi dan tidak.
Namun kalau kita lihat secara sektoral, di bidang ekonomi sebenarnya ada kecenderungan membaik. Salah satu indikatornya adalah menguatnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah yang terus menguat. Menurut perkiraan para analis, pergerakan positif tersebut akan terus berlanjut. Hal tersebut berdasarkan volume transaksi harian yang, sampai pada 9/1/06, mencapai 2,5 miliar lot. Sementara nilai transaksinya telah mencapai 2,3 triliun perhari (Kontan, 16/1/06). Sementara pertumbuhan ekonomi yang pada tahun 2004 mencapai 5,1%, pada 2005 naik menjadi 5,6 %. Dan cadangan devisa mencapai angka US$ 41, 8 miliar, tertinggi dalam sejarah ekonomi kita.

Kenyataan tersebut merupakan modal awal yang baik bagi tata perekonomian nasional. Oleh karena itu, geliat baik tersebut harus disertai oleh langkah-langkah pemerintah yang kondusif bagi para pemodal dan investor, sehingga memancing masuknya para investor untuk menanamkan modalnya di dalam negeri. Hal tersebut harus disertai penguatan kebijakan yang berbasis sosial, sehingga tidak terjadi kesenjangan antara pertumbuhan dan pemerataan, antara kepentingan pengusaha dan pekerja. Hal ini penting ditekankan karena sebagaimana dinyatakan Amartya Sen, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial tidak selalu linear. Keduanya bisa berhadapan bahkan saling menjatuhkan.

Untuk itu diperlukan kontrol dan pendayagunaan sumber daya sosial ekonomi untuk kepentingan publik melalui kebijakan yang berorientasi pada distribusi kekayaan secara adil dan merata. Dari sana kita berharap paradigma kesejahteraan SBY bisa lebih cepat terwujud sehingga rakyat bisa lebih tenang.*

No comments: