Saturday, February 20, 2010

Ekonomi Politik



Opini
MASA SENJA PANSUS CENTURY
Seputar Indonesia, Sabtu, 20 Februari 2010

A. Bakir Ihsan
Mendekati tenggat kerja Pansus Bank Century (BC) beragam respon bermunculan; pesimis, optimis, dan khawatir. Sejak awal, dengan berbekal desakan kuat dari beberapa elemen masyarakat, dukungan penuh anggota DPR, dan support media massa menyebabkan optimisme mensubordinasi pesimisme. Bahkan Presiden SBY pun secara eksplisit mendorong agar pansus bisa mengungkap kebenaran secara terang benderang.
Optimisme yang terlampau besar itu ternyata tak berbanding lurus dengan fakta-fakta yang sejatinya diperlihatkan oleh anggota pansus pada publik. Munculnya gagasan agar temuan pansus segera diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dilontarkan, salah satunya, oleh Indonesia Corruption Wacth (ICW) menunjukkan sebuah kekhawatiran. Kemungkinan terjadinya deviasi dalam upaya mencari kejernihan dari karut marut BC dan terjadinya politik transaksional dalam proses pengungkapan fakta menjadi alasan kekhawatiran tersebut.
Kekhawatiran ini merupakan sintesa dari optimisme dan pesimisme terhadap kinerja Pansus. Penyelidikan pansus DPR terhadap orang-orang yang dianggap terkait dengan kasus BC telah memberikan banyak data. Bahkan dari pertemuan konsultasi pansus dengan pimpinan lembaga terkait BC seperti BI, PPATK, BPK, KPK, bahkan dengan nasabah, persoalan data sudah “selesai”. Masalahnya kemudian bagaimana data tersebut harus ditafsirkan. Inilah yang sejak awal menjadi akar perdebatan, sebagaimana perdebatan terhadap tafsir kata “sistemik”.
Ragam kesimpulan sementara pansus menunjukkan bahwa data yang tersedia dapat melahirkan banyak penafsiran sesuai kepentingan politik anggota Pansus. Dalam tafsir tak ada yang absolut. Relativitas tafsir mencair sesuai kepentingan dan dalam titik tertentu bisa mengaburkan substansi yang hendak dicapai dari pansus BC.
Tafsir data
Kegagalan menemukan substansi kasus BC menunjukkan kompleksitas persoalan BC. Karena itu, kasus BC tidak bisa dipahami dan diselesaikan secara parsial. Kalau kita lihat, sampai saat ini upaya mencari titik simpul kasus BC masih berkutat pada dua pendekatan. Yaitu, pendekatan hukum yang dilakukan KPK dan pendekatan politik yang digelar DPR melalui hak angket. KPK berkonsentrasi pada kemungkinan terjadinya penyimpangan penggunaan dana negara, sementara DPR lebih menyoroti kemungkinan deviasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Walaupun fokus pendekatannya berbeda, namun proses yang dilaluinya berpijak pada logika biner; salah-benar, korupsi-bersih, dan menyimpang atau tidak.
Ada dua konsekuensi (kelemahan?) dalam logika biner. Pertama, ia menutup kemungkinan adanya yang lain (the others). Kasus BC hanya digeledah dan ditafsirkan dalam dua ranah ekstrem; salah atau benar. Bahkan dengan berdasarkan pada hasil audit BPK, sejak awal DPR menempatkan kasus penyelematan BC sebagai realitas yang salah. Akibatnya pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pansus hak angket cenderung menutup atau membatasi ruang bagi munculnya alasan dan penjelasan di luar yang dipersepsi anggota dewan. Pansus berkutat pada proses transaksi (mekanisme-prosedural) yang sudah menginstitusi dalam pikirannya. Padahal tidak tertutup kemungkinan adanya deviasi logika pada proses penafsiran terhadap data-data terkait BC, termasuk yang dilakukan oleh BPK. Lebih dari itu, tidak menutup kemungkinan kasus BC lahir karena adanya keterlibatan kolektif dan sistemik antar lembaga negara terkait. Inilah yang seharusnya mendapat perhatian sehingga pansus BC tidak terjebak pada ekstremitas wacana politis dan mengabaikan ujung (substansi) dari benang kusut BC.
Kedua, logika biner selalu mengarah superioritas diri dan inferioritas pada pihak luar sebagai yang tertuduh (salah). Ia mengabaikan realitas diri yang sejatinya memiliki kemungkinan yang sama untuk salah. Tertuduh adalah orang lain, sementara diri, baik sebagai individu maupun lembaga, menjadi terbebas dari segala kemungkinan keterkaitan, dan karenanya menjadi suci. Padahal kalau membaca kembali proses pengambilan kebijakan penyelamatan BC, terlihat jelas adanya keputusan kolektif yang juga melibatkan dukungan DPR pada periode sebelumnya (Koran Tempo, 7/1/10).
Problem sistemik
Kalau dipahami lebih teliti, mencuatnya kasus BC bukan pada problem politik, karenanya penyelesaian melalui DPR tidak akan banyak memberi harapan. Problem politik hanya efek domino dari hasil audit (teks) BPK yang kemudian dijadikan rujukan DPR untuk melakukan angket. Kalau dilacak lebih jauh, hasil audit yang dikeluarkan BPK merupakan penafsiran terhadap teks-teks yang lain, yang di antaranya, laporan hasil rapat yang dilakukan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diketuai oleh Menteri Keuangan. Dari sekian teks yang ditafsirkan oleh BPK yang kemudian menjadi salah satu dasar masalah adalah kata “dampak sistemik”. Dampak sistemik pula yang menjadi alasan pemerintah untuk menyelamatkan BC dengan mengucurkan dana Rp 6 triliun lebih.
Dalam kacamata posmodernisme, pembacaan terhadap kasus BC dapat dilacak dengan mendekonstruksi teks-teks (alasan) yang diberikan pemerintah dalam penanganan atau penyelesaian kasus BC. Karena, menurut Jacques Derrida, teks-teks tidak berdiri sendiri. Ia saling terkait dan sarat kepentingan (kuasa).
Karena itu, mencari titik jernih dari persoalan BC dengan bertumpu pada pendekatan politik atau hukum semata tidak akan berhasil menemukan substansi masalah secara komprehensif. Apalagi keterangan yang diberikan oleh orang-orang yang dianggap tahu atau terlibat kasus BC dalam hal-hal tertentu menyiratkan ketidaksinambungan. Kalau pun pada akhirnya "terselesaikan", kasus BC tidak akan menjadi akhir dari problem dunia perbankan, karena akar persoalan yang sistemik belum tersentuh.
Dekonstruksi
Karena itu diperlukan dekonstruksi dengan mengaitkan dokumen-dokumen, baik berupa hasil audit atau kesaksian, pada konteks kelembagaan yang saling terkait. Dalam konteks ini, kasus BC harus dibaca sebagai problem kolektif lembaga-lembaga yang ada, termasuk DPR sebagai kontrol yang seharusnya secara konsisten dilakukan, termasuk terhadap BI. Dan pemahaman ini akan dimungkinkan apabila masing-masing lembaga menempatkan diri secara equal dan menafikan pemaknaan tunggal terhadap sebuah kebijakan.
Apalagi secara konstitusi tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang dalam praktiknya sering menjelma menjadi kekuatan hegemonik dengan segala penyimpangannya. Hal ini semakin memperkuat pentingnya pembongkaran logika biner yang dalam titik tertentu dapat menghambat proses konsolidasi demokrasi. Melalui dekonstruksi, kita diajak untuk membaca dan memahami fakta sebagai realitas yang memiliki korelasi dan konteks, sehingga memungkinkan terjadinya banyak pemaknaan untuk mendekati kebenaran (substansi).
Hal ini terlihat jelas dalam pemaknaan kata “dampak sistemik” yang menjadi sumbu mencuatnya kasus BC. Dengan alasan “dampak sistemik” negara menggelontorkan dana triliunan, dari “dampak sistemik” pula DPR mencurigai pemerintah dan dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas penggelontoran bantuan likuiditas tersebut. Ini menunjukkan bahwa ketika sebuah kebijakan (teks) dipublikasi, maka ia menjadi arena permainan publik yang menawarkan banyak makna dan “tercerabut” dari makna primordial (ursinn). Bahkan penulis teks (pembuat kebijakan), tidak bisa mengontrol alasan "dampak sistemik" tersebut. Masing-masing elemen pembaca memiliki kemungkinan yang sama untuk menafsirkan teks tanpa terjebak pada rezim wacana yang totaliter.
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/305756/