Thursday, February 24, 2011

Me-Mesir-kan Indonesia?



Opini

Me-Mesir-kan Indonesia?
Jurnal Nasional, Kamis, 24 Februari 2011

Ahmad Bakir Ihsan


Ada pernyataan menarik dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi komentar beberapa pengamat dan politisi yang menganggap Indonesia bisa seperti Mesir. Yaitu didemo besar-besaran oleh rakyatnya dan menyebabkan presidennya terguling. Menurut Presiden SBY, Mesir adalah masa lalu Indonesia. Indonesia sudah melewati fase itu. Saat ini justru Mesir bisa belajar dari Indonesia yang lebih dulu mengalami reformasi.

Respon ini menarik karena peristiwa politik di Mesir oleh sebagian kalangan ditengarai akan berimbas ke Indonesia. Sebagaimana Mesir bergolak sebagai imbas dari penggulingan kekuasaan di Tunisia. Imbas ini dimungkinkan karena adanya beberapa indikator yang mendekatkan Indonesia dengan Mesir. Persoalan kemiskinan, pengangguran, dan korupsi merupakan prasyarat bagi munculnya pergolakan sosial.

Ada satu hal yang dilupakan dan justru menjadi faktor dominan bagi pergolakan di Mesir. Problem Mesir bukan sekadar Husni Mubarak sebagai sosok. Bukan sekadar kemiskinan atau pengangguran. Tapi kekuasaan otoriter yang bertahta begitu lama dan korup. Begitu juga Tunisia dan beberapa negara tetangga mereka. Mesir, sebagaimana dilansir Freedom House 2011, merupakan negara dengan sistem kekuasaan tak terbatas (otoriter) dengan segala konsekuensinya.

Dalam kekuasaan yang otoriter, kaidah dan fakta politik menengarai akan selalu berhilir pada korupsi. Sebagaimana ditulis Lord Acton dalam suratnya untuk Uskup Mandell Creighton tertanggal 3 April 1887, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men."

Sistemik

Mesir adalah sistem yang rusak. Sama seperti Indonesia periode lalu. Sistem dirusak oleh kekuasaan tak terbatas. Sistem hanya menjadi pengatur (regulasi) untuk melanggengkan kekuasaan. Semua organ bergerak sesuai dengan irama kekuasaan. Organ-organ sosial dikendalikan atau dikerdilkan. Dalam konteks Indonesia, semua bentuk tafsir atas negara ditentukan oleh penguasa. Kaidah berpikir dibuat agar cara pandang warga tak sampai pada limit subversif yang membuat kekuasaan tersinggung. Dengan demikian, stabilitas kekuasaan tak terusik. Akibatnya kekuasaan lupa diri dan melanggengkan diri hingga 30 tahun lebih.

Kekuasaan absolut ini tak menyisakan ruang koreksi. Apalagi ancaman penggulingan atau tuduhan kebohongan yang sangat personal. Partai politik dan Pemilu hanya pewarna agar negara bisa berlindung atas nama demokrasi. Personifikasi kekuasaan begitu eksesif dan massif melalui doktrinasi atasnama ideologi.

Kini kebobrokan sistemik itu hendak dikubur. Konstitusi diamandemen, beragam aturan dibongkar sekaligus disusun kembali. Orang bebas berekspresi, kekuasaan dibatasi. Pemilu digelar secara reguler, pemimpin dipilih langsung. Partai tumbuh bak kecambah di musim hujan. Kritik pun mengalir setiap saat.

Kebebasan pasca otoritarianisme ini ternyata bukan hanya meruntuhkan limit subversif yang dibangun era sebelumnya. Dalam batas tertentu cenderung menjadi kontraproduktif ketika di antara komunitas menjadi eksklusif atas nama kebebasan. Masing-masing komunitas mengadili "yang lain" dan menghakimi yang berbeda. Kekerasan pun mudah tersulut atas nama kebebasan dan kebenaran eksklusif.

Ini merupakan titik balik yang seharusnya dimoderasi oleh kekuatan yang komit pada pengejawantahan agenda reformasi dan demokrasi. Konkretnya, dalam sistem politik yang semakin demokratis, penguatan kelembagaan menjadi prasyarat mutlak bagi optimalisasi fungsi demokrasi. Bukan sebaliknya, menggerogoti lembaga demokrasi. Inilah yang membedakan kita dengan Mesir yang bergolak. Kita sudah memperbaiki konstitusi. Beragam undang-undang dibuat dan bermacam lembaga dibentuk sebagai implementasi agenda reformasi. Tinggal bagaimana semua lembaga dan kekuatan politik bersinergi sesuai fungsi bagi penguatan demokrasi.

Merawat Sejarah
Kita sudah membuat sejarah. Sementara Mesir sedang membuat sejarah. Sejarah yang mengubah masa lalu kelam dengan membongkar segala sistem yang hegemonik. Bahkan pada awal reformasi, semua anasir masa lalu dianggap berbahaya, karenanya harus dienyahkan. Kebaikan masa lalu tergerus akibat kekuasaan otoriter yang menistakan demokrasi.

Dalam sejarah negara-negara di belahan dunia, masa lalu selalu menyimpan dua sisi sejarah; terang dan kelam. Begitupun Mesir dan Indonesia. Karenanya, energi yang dibutuhkan dalam konteks kekinian adalah kecerdasan untuk memilah dua sisi itu dan kemampuan memilih yang terang untuk disinergikan bagi kepentingan masa depan. Dan ini memerlukan kesinambungan (kontinuitas) sejarah.

Kontinuitas sejarah yang sedang kita bangun akan semakin kuat apabila pilar-pilar demokrasi kita jaga. Pilar demokrasi bukan pada sosok pemimpin, tapi pada sistem yang melahirkan kepemimpinan efektif dan berkembangnya masyarakat yang beradab (civilized society).

Demokrasi dipilih bukan sekadar antitesa dari otoritarianisme masa lalu. Tapi juga karena adanya kehendak untuk terus memperbaiki kekurangan dan meningkatkan kesempurnaan. Karena itu, kesinambungan sejarah merupakan kemestian.

Kebesaran sejarah masa lalu, seperti yang dimiliki Mesir dan Indonesia atau sejarah peradaban spektakuler lainnya, tak akan bermakna, apabila kontinuitas sejarah terputus oleh nafsu politis primordial. Dan kita menyaksikan negara-negara yang pernah menjadi imperium peradaban dunia runtuh akibat kepentingan politis yang lebih mengemuka daripada merawat dan terus mengembangkan kesuksesan yang ada dalam genggaman.

Kita sedang menggenggam kebebasan yang sangat mahal pada masa lalu. Kebebasan ini harus dirawat dan diorientasikan untuk menjawab problem, bukan menjadi bagian dari problem, apalagi menjadi problem baru. Kebebasan yang terdistorsi oleh kepentingan kelompok akan mengulang kegelapan sekaligus menjadi ancaman bagi kontinuitas sejarah demokrasi yang sedang kita bangun.

Saya yakin kita bukan bangsa keledai yang harus terperosok pada jurang kegelapan yang sama. Kita bangsa yang pernah besar, pernah terperosok, dan mudah-mudahan kesadaran berbangsa kita memperkuat upaya untuk terus bangkit dari keberhasilan yang sedang kita cicil. Bukankah lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan? Semoga.

Sunday, February 06, 2011

Etika Politik



Opini
Menyemai Politik Berkarakter
Jurnal Nasional, Sabtu, 5 Februari 2011


Ahmad Bakir Ihsan
Altar politik di Republik ini disesaki oleh hiruk pikuk kepentingan simbolik. Yaitu kepentingan yang lebih mengedepankan hasrat (simbol) kelompok. Ironisnya masing-masing kekuatan politik tersandera oleh kepentingan simbolik itu dan mengorbankan kepentingan kolektif bangsa.
Kasus Gayus, reaksi atas bantuan buku Presiden, dan koin untuk gaji Presiden SBY didistorsi menjadi permainan politik simbolik yang mengaburkan substansi persoalan. Kasus Gayus, misalnya, terjebak pada perseteruan dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum sebagai lembaga yang bertugas melawan mafioso. Padahal di balik kasus Gayus ada problem mafia pajak dan mafia peradilan yang perlu dibongkar.
Begitu juga, reaksi terhadap pembagian buku Presiden SBY di beberapa sekolah menengah (SMP). Wacana yang dimunculkan lebih pada silang sengkarut politik pencitraan yang dialamatkan pada Presiden. Padahal buku itu hadir melalui mekanisme aturan yang sudah ada dan melibatkan banyak buku lainnya.
Begitu pun, gerakan koin untuk gaji Presiden, khususnya yang dilakukan anggota DPR. Tindakan tersebut bukan saja meneladankan etika murahan, tapi juga merupakan respon distortif atas substansi wacana yang dilontarkan Presiden SBY. Wacana yang dikembangkan menyimpang dari substansi awal, sehingga membentuk berantai kesalahan respon.
Itu hanya beberapa fakta distorsi politik akibat arogansi kepentingan simbolik yang mengambangkan substansi persoalan. Akibatnya persoalan hanya menjadi wacana antagonis yang tak pernah sampai pada titik konklusi. Satu kasus menguap ketika kasus lain muncul. Padahal problem mendasar dari kasus-kasus yang terjadi adalah minimnya transparansi dan akuntabilitas dihadapan publik.
Publik disuguhi oleh perdebatan provokatif dan simbolik, sementara perilaku menyimpang terus berlanjut. Hal itu sekaligus sebagai bentuk konfirmasi atas temuan beberapa lembaga riset yang melansir hampir semua lembaga negara dipersepsi terlibat korupsi. Padahal setiap saat para pengamat, pemerhati, bahkan kalangan eksekutif dan legislatif berwacana tentang deviasi politik dan korupsi. Fakta ini menunjukkan adanya ambigu politik karena terjebak pada simbolisme. Dan semakin ambigu, ketika muncul solidaritas politik untuk melawan langkah pemberantasan korupsi hanya karena yang terjerumus dalam korupsi adalah kolega dan kader partai.
Distorsi politik
Politik sebagai seni kemungkinan (art of possibility) memberi ruang remang-remang. Karenanya, dalam politik kawan dan lawan begitu mencair dan sulit diprediksi. Rapuhnya soliditas Setgab partai koalisi yang dibangun berdasarkan pakta integritas dan kontrak kerja, menunjukkan begitu mencairnya ikatan politik. Kepentingan partai lebih mengemuka daripada komitmen politik bersama sebagai partai pendukung penguasa.
Kepentingan politik (political interest) adalah hal yang lumrah dalam dinamika kekuasaan. Persoalannya, orientasi kepentingan sering terdistorsi oleh kepentingan personal (self interest) dan primordial dan mengabaikan tanggungjawab kolektif kewargaan. Bahkan pada titik tertentu terjadi upaya personifikasi politik yang mengaburkan mekanisme dan prosedur demokrasi.
Akibatnya, nalar dan logika moral lumpuh di hadapan politik intrik dan transaksi. Menghalalkan segala cara menjadi kaidah demi meraih kepentingan diri, kelompok, maupun golongan. Dan masyarakat secara massif dan periodik ikut dilibatkan dalam politik menyimpang yang dibungkus dalam kontestasi (pemilu/pemilukada) sebagai bagian dari prosedur demokrasi. Tak berlebihan bila masyarakat memahami politik sebagai seremoni transaksi.
Rakyat bukan menjadi penentu sebagaimana cita ideal demokrasi. Tapi sebagai umpan (obyek) atau bagian dari alat tawar untuk kuasa segelintir orang. Dan yang menjadi pemenangnya adalah para pemilik modal dan kroni-kroninya sebagai sekelompok kecil elit yang mengendalikan kuasa.
Potret di atas mempertontonkan sepenggal perjalanan demokrasi yang penuh distorsi. Demokrasi tak lebih dari dominasi (diskriminasi) dan deviasi (korupsi) tanpa daya untuk meminimalisasi karena aktor-aktornya terjebak dalam kepentingan diri. Inilah yang Michael Mann (2000) sebut sebagai sisi gelap demokrasi atau dalam bahasa John Keane (2009) sebagai potret hidup matinya demokrasi. Transisi adalah masa penentuan demokrasi untuk tetap hidup atau mati.
Berkarakter
Politik di tengah transisi melahirkan hiruk pikuk yang cenderung involutif. Isu-isu yang muncul berputar pada tarik menarik kepentingan elit. Mencari kelemahan lawan lebih dikedepankan sebagai strategi eksistensi daripada memupuk kualitas dan integritas diri. Dari sini praktik politik sandera dioperasikan oleh masing-masing kekuatan politik.
Sandera politik di antara kekuatan politik terjadi karena masing-masing berlumpur problem. Problem diselesaikan dengan tukar sandera sebagai sebuah transaksi politik. Persoalan diselesaikan hanya pada permukaan (simbolik), sementara akarnya dibiarkan menjalar. Akibatnya penyelesaian satu masalah, tetap menyisakan masalah yang lain.
Sisi gelap politik ini akan terus terjadi selama partai sebagai pilar penting demokrasi tak konsisten dengan jenis kelamin (asasnya). Partai politik dan para kadernya bergerak hanya untuk memenuhi hasrat politik sesaat berdasarkan kehendak partikular.
Padahal politik, kata Jean Jacques Rousseau, terkait dengan kehendak publik (general will). Dan publik menjadi ajang implementasi segala tindakan baik. Hal ini yang sejatinya menjadi landasan politik berkarakter, yaitu tindakan yang benar untuk kepentingan publik. Politik bukan sekadar retorika, tapi juga bersinergi dengan realita. Politik bukan sekadar janji, tapi konsistensi untuk menepati sebagai pertaruhan integritas diri. Dalam bahasa berbeda, Mahatma Gandhi menyebutnya sebagai politik terbaik (the best politics is right action). Dengan demikian, politik berkarakter merupakan sebuah kerja politik yang berpijak pada kehendak umum dan mendegradasi kepentingan kelompok dan individu. Hanya dengan politik berkarakter ini, demokrasi akan terawat dan kuat.
Tentu tak mudah mewujudkannya di tengah pluralitas publik. Namun dinamika politik yang terus bermain dalam politik simbolik dan partikular akan memperlambat, bahkan memupus asa bagi lahirnya politisi-politisi yang berkarakter.*