Sunday, February 06, 2011

Etika Politik



Opini
Menyemai Politik Berkarakter
Jurnal Nasional, Sabtu, 5 Februari 2011


Ahmad Bakir Ihsan
Altar politik di Republik ini disesaki oleh hiruk pikuk kepentingan simbolik. Yaitu kepentingan yang lebih mengedepankan hasrat (simbol) kelompok. Ironisnya masing-masing kekuatan politik tersandera oleh kepentingan simbolik itu dan mengorbankan kepentingan kolektif bangsa.
Kasus Gayus, reaksi atas bantuan buku Presiden, dan koin untuk gaji Presiden SBY didistorsi menjadi permainan politik simbolik yang mengaburkan substansi persoalan. Kasus Gayus, misalnya, terjebak pada perseteruan dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum sebagai lembaga yang bertugas melawan mafioso. Padahal di balik kasus Gayus ada problem mafia pajak dan mafia peradilan yang perlu dibongkar.
Begitu juga, reaksi terhadap pembagian buku Presiden SBY di beberapa sekolah menengah (SMP). Wacana yang dimunculkan lebih pada silang sengkarut politik pencitraan yang dialamatkan pada Presiden. Padahal buku itu hadir melalui mekanisme aturan yang sudah ada dan melibatkan banyak buku lainnya.
Begitu pun, gerakan koin untuk gaji Presiden, khususnya yang dilakukan anggota DPR. Tindakan tersebut bukan saja meneladankan etika murahan, tapi juga merupakan respon distortif atas substansi wacana yang dilontarkan Presiden SBY. Wacana yang dikembangkan menyimpang dari substansi awal, sehingga membentuk berantai kesalahan respon.
Itu hanya beberapa fakta distorsi politik akibat arogansi kepentingan simbolik yang mengambangkan substansi persoalan. Akibatnya persoalan hanya menjadi wacana antagonis yang tak pernah sampai pada titik konklusi. Satu kasus menguap ketika kasus lain muncul. Padahal problem mendasar dari kasus-kasus yang terjadi adalah minimnya transparansi dan akuntabilitas dihadapan publik.
Publik disuguhi oleh perdebatan provokatif dan simbolik, sementara perilaku menyimpang terus berlanjut. Hal itu sekaligus sebagai bentuk konfirmasi atas temuan beberapa lembaga riset yang melansir hampir semua lembaga negara dipersepsi terlibat korupsi. Padahal setiap saat para pengamat, pemerhati, bahkan kalangan eksekutif dan legislatif berwacana tentang deviasi politik dan korupsi. Fakta ini menunjukkan adanya ambigu politik karena terjebak pada simbolisme. Dan semakin ambigu, ketika muncul solidaritas politik untuk melawan langkah pemberantasan korupsi hanya karena yang terjerumus dalam korupsi adalah kolega dan kader partai.
Distorsi politik
Politik sebagai seni kemungkinan (art of possibility) memberi ruang remang-remang. Karenanya, dalam politik kawan dan lawan begitu mencair dan sulit diprediksi. Rapuhnya soliditas Setgab partai koalisi yang dibangun berdasarkan pakta integritas dan kontrak kerja, menunjukkan begitu mencairnya ikatan politik. Kepentingan partai lebih mengemuka daripada komitmen politik bersama sebagai partai pendukung penguasa.
Kepentingan politik (political interest) adalah hal yang lumrah dalam dinamika kekuasaan. Persoalannya, orientasi kepentingan sering terdistorsi oleh kepentingan personal (self interest) dan primordial dan mengabaikan tanggungjawab kolektif kewargaan. Bahkan pada titik tertentu terjadi upaya personifikasi politik yang mengaburkan mekanisme dan prosedur demokrasi.
Akibatnya, nalar dan logika moral lumpuh di hadapan politik intrik dan transaksi. Menghalalkan segala cara menjadi kaidah demi meraih kepentingan diri, kelompok, maupun golongan. Dan masyarakat secara massif dan periodik ikut dilibatkan dalam politik menyimpang yang dibungkus dalam kontestasi (pemilu/pemilukada) sebagai bagian dari prosedur demokrasi. Tak berlebihan bila masyarakat memahami politik sebagai seremoni transaksi.
Rakyat bukan menjadi penentu sebagaimana cita ideal demokrasi. Tapi sebagai umpan (obyek) atau bagian dari alat tawar untuk kuasa segelintir orang. Dan yang menjadi pemenangnya adalah para pemilik modal dan kroni-kroninya sebagai sekelompok kecil elit yang mengendalikan kuasa.
Potret di atas mempertontonkan sepenggal perjalanan demokrasi yang penuh distorsi. Demokrasi tak lebih dari dominasi (diskriminasi) dan deviasi (korupsi) tanpa daya untuk meminimalisasi karena aktor-aktornya terjebak dalam kepentingan diri. Inilah yang Michael Mann (2000) sebut sebagai sisi gelap demokrasi atau dalam bahasa John Keane (2009) sebagai potret hidup matinya demokrasi. Transisi adalah masa penentuan demokrasi untuk tetap hidup atau mati.
Berkarakter
Politik di tengah transisi melahirkan hiruk pikuk yang cenderung involutif. Isu-isu yang muncul berputar pada tarik menarik kepentingan elit. Mencari kelemahan lawan lebih dikedepankan sebagai strategi eksistensi daripada memupuk kualitas dan integritas diri. Dari sini praktik politik sandera dioperasikan oleh masing-masing kekuatan politik.
Sandera politik di antara kekuatan politik terjadi karena masing-masing berlumpur problem. Problem diselesaikan dengan tukar sandera sebagai sebuah transaksi politik. Persoalan diselesaikan hanya pada permukaan (simbolik), sementara akarnya dibiarkan menjalar. Akibatnya penyelesaian satu masalah, tetap menyisakan masalah yang lain.
Sisi gelap politik ini akan terus terjadi selama partai sebagai pilar penting demokrasi tak konsisten dengan jenis kelamin (asasnya). Partai politik dan para kadernya bergerak hanya untuk memenuhi hasrat politik sesaat berdasarkan kehendak partikular.
Padahal politik, kata Jean Jacques Rousseau, terkait dengan kehendak publik (general will). Dan publik menjadi ajang implementasi segala tindakan baik. Hal ini yang sejatinya menjadi landasan politik berkarakter, yaitu tindakan yang benar untuk kepentingan publik. Politik bukan sekadar retorika, tapi juga bersinergi dengan realita. Politik bukan sekadar janji, tapi konsistensi untuk menepati sebagai pertaruhan integritas diri. Dalam bahasa berbeda, Mahatma Gandhi menyebutnya sebagai politik terbaik (the best politics is right action). Dengan demikian, politik berkarakter merupakan sebuah kerja politik yang berpijak pada kehendak umum dan mendegradasi kepentingan kelompok dan individu. Hanya dengan politik berkarakter ini, demokrasi akan terawat dan kuat.
Tentu tak mudah mewujudkannya di tengah pluralitas publik. Namun dinamika politik yang terus bermain dalam politik simbolik dan partikular akan memperlambat, bahkan memupus asa bagi lahirnya politisi-politisi yang berkarakter.*

No comments: