Wednesday, January 26, 2011

Politik Identitas


Opini

Politik Identitas & Kekerasan
Koran TEMPO, Rabu, 26 Januari 2011

Ahmad Bakir Ihsan

Dalam perayaan Natal bersama tingkat nasional, Presiden SBY menegaskan kerukunan, kebersamaan, dan persaudaraan merupakan modal sosial bagi keberadaban bangsa. (27/12/2010). Penegasan dari seorang presiden sebagai pemegang tampuk pemerintahan tertinggi ini penting di tengah rapuhnya kolektivitas anak bangsa.

Potensi konflik dan tindak kekerasan khususnya yang bernuansa agama tampaknya akan menghantui perjalanan 2011. Faktornya karena akar persoalan yang selama ini memicu kekerasan belum tuntas. Bahkan cenderung terabaikan.

Upaya penguatan persaudaraan kebangsaan yang dimotori oleh beberapa organisasi kemasyarakatan berjalinkelindan dengan eksklusivitas sebagian kelompok masyarakat. Ketegangan bahkan tindak kekerasan pun sulit dihindari.

Kekerasan atas nama agama merupakan sebuah paradoks. Di era yang oleh banyak pakar disebut sebagai kembalinya peran agama di ranah publik (Jose Casanova, 2004), ternyata berjalin kelindan dengan eksklusivitasnya. Akibatnya agama mewujud dalam perannya yang mencemaskan dan tak ramah sosial.

Di sisi lain, era politik yang mewarnai abad ini juga belum memberi harapan baru. Bahkan politik dalam hal tertentu, memberi sumbangsih terhadap kekerasan agama (religious violonce). Abai dan pembiaran terhadap (potensi-potensi) kekerasan merupakan sumbangan minimal politik bagi tindak kekerasan. Ironisnya, satu sisi peran publik agama dimainkan melalui politik identitas, tapi kekerasan bercorak agama diabaikan.

Politik agama
Peran agama di ranah publik bukan hal baru di Republik ini. Simbol-simbol idiomatik keagamaan dalam konstitusi negara menunjukkan relasi simbolik agama dan politik. Bahkan atasnama demokrasi, eksistensi peran publik agama menginstitusionalisasi dalam partai politik.

Relasi agama dan politik merupakan keniscayaan dalam demokrasi. Dalam sejarah panjang demokrasi, partai beridentitas agama hadir dengan tingkat degradasi ideologisnya. Partai Kristen dengan segala variannya, misalnya, hadir di berbagai negara yang notabene sekuler. (Stathis N Kalyvas, 1996).

Era reformasi meniscayakan ruang politik identitas (agama) setelah 30 tahun lebih diasastunggalkan. Sayangnya, kehadiran partai politik bercorak agama ini tak banyak memberi solusi bagi persoalan kekerasan yang dipicu oleh sentimen keberagamaan. Partai politik kehilangan fungsi “penata konflik"nya. Bahkan tak jarang identitas agama menjadi pembeda yang dipolitisasi. Alih-alih melerai konflik, keberadaan partai beridentitas agama ikut merawat potensi konflik.

Wajar bila masyarakat kehilangan momentum era politik yang sejatinya memberi harapan. Pun agama hanya menjadi identitas formalistik yang pada titik tertentu meneguhkan politisasi identitas (agama).

Kubur demokrasi
Relasi agama dan politik sejatinya memberi dampak konstruktif bagi penguatan interaksi kebangsaan. Apalagi sebagian partai yang notabene sekuler pun “mengidentitaskan” agama pada dirinya. Sayangnya, identifikasi tersebut sekadar kepentingan kalkulatif politis daripada konstruksi ideologis kebangsaan.

Agenda partai lebih fokus pada transaksi politik kekuasaan dan mengabaikan identitas politik yang diusungnya. Agenda transformasi identitas primordial ke kebangsaan yang sejatinya teraktualisasi, tak lebih pemanis AD/ART partai. Akibatnya diskriminasi dan kekerasan tak juga menemukan solusi.
Bila hal tersebut berlanjut, partai politik, sebagaimana ujar Benjamin Reilly dan Per Nordlund (2008), bisa menjadi ancaman demokrasi. Yaitu ketika partai tak mampu meneguhkan perannya dalam mengintegrasikan sekat-sekat sosial. Dengan kata lain, membiarkan konflik dalam masyarakat, termasuk konflik yang didorong oleh isu agama, berarti sedang menggali kubur bagi demokrasi.

Ko-eksistensi
Di era politik, partai merupakan epicentrum demokrasi. Agenda-agenda kenegaraan "dikendalikan" oleh partai politik. Sayangnya, kekuatan itu masih melingkar demi eksistensi dirinya. Belum sampai pada ko-eksistensi dalam sebuah langgam kebangsaan.

Karena itu, partai politik dengan beragam identitasnya harus bersinergi dalam upaya meretas sengkarut kekerasan dan memperkuat harmoni tanpa kehilangan kompetisi. Demokrasi sebagai jalan setara (equal) seluruh eksistensi anak bangsa, sejatinya mendorong partai untuk mengedepankan penguatan toleransi dan harmoni. Apalagi di tengah realitas sosial keagamaan yang plural dengan warna-warni identitas politiknya.

Inilah tantangan demokratisasi di tengah masyarakat yang majemuk. Bila demokrasi hanya tumbuh kuat dalam sebuah tata kebangsaan yang setara, maka partai politik sebagai elan vital demokrasi mengharuskan ko-eksistensi. Ko-eksistensi bukan koalisi partai, apalagi fusi. Ko-eksistensi justru memberi ruang bagi eksistensi identitas politik sebagai pertaruhan bagi penguatan kebangsaan warga. Ini penting, bukan hanya bagi warga, tapi juga bagi partai agar tak menjelma menjadi apa yang John Keane (2009) sebut sebagai viral politics yang mengkroposkan demokrasi. Semoga.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/26/index.shtml

No comments: