Tuesday, February 14, 2006

Opini

SBY & Upaya Memutus Sejarah Korupsi
Seputar Indonesia, Jum’at, 6 Januari 2006

A. Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ushuluddin & Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Korupsi di negeri ini seperti bara yang tak pernah mati. Ia siap membakar dan menghanguskan berbagai bagian dari bangunan bangsa ini. Mulai dari KPU sampai Departemen Agama, dari anggota legislatif sampai penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bahkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun ini, menurut Transparency International (18/10/05), tak beranjak jauh, yaitu peringkat 20 negara terkorup. Masih adakah peluang untuk keluar dari korupsi sistemik ini?
Selama ini ada dua paradigma dalam menelaah persoalan korupsi di Indonesia, yaitu problem budaya dan sistem yang memaksa setiap orang melakukan korupsi, baik secara individu maupun berjamaah serta turun temurun. Ada sisi lain yang belum banyak diungkap terkait dengan mengguritanya tindak korupsi, yaitu faktor historis. Bahwa korupsi telah menjadi ruh dari sejarah bangsa di republik tercinta ini.
Secara historis bangsa Indonesia telah mewarisi tiga periode korupsi. Pertama, pada masa pascakemerdekaan bersamaan dengan proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Pada masa ini, sumber daya dikendalikan oleh elit penguasa termasuk militer yang memilliki peran penting dan strategis saat itu. Kendali kekuasaan di masa transisi tersebut telah memungkinkan terjadinya distorsi dan penyimpangan, karena tidak adanya kontrol yang kuat baik secara hukum maupun sosial.
Kedua, pada masa Demokrasi Terpimpin. Periode ini merupakan puncak personifikasi negara yang menghegemoni seluruh sistem kehidupan, termasuk dalam masalah ekonomi dan hukum. Kondisi ini telah merangsang bersemainya korupsi, karena hukum menjadi tidak berdaya dan berada di bawah ketiak kekuasaan. Penyimpangan dan penyelewengan yang melibatkan elit tak tersentuh, karena hukum di bawah kendali mereka.
Ketiga, pada masa Orde Baru yang mengembangkan kapitalisme rente. Masa ini telah menjadi ladang subur perselingkuhan para pemilik modal dengan penguasa. Atas nama pembangunan dan stabilitas, praktik korupsi di lingkaran kekuasaan menjadi hal yang lumrah dan tak tersentuh oleh undang-undang apapun. Proyek depolitisasi menjadi tameng penguasa atas kontrol sosial yang dikebiri. Upeti bagi penguasa menjadi pembuka proyek para pengusaha.
Realitas historis di atas seharusnya cukup memberi pelajaran bagi kita bahwa kekuasaan dan korupsi seperti dua sisi mata uang. Keduanya sulit dipisahkan walau dengan aturan atau hukum yang mereka buat sendiri.
Sebagaimana dimaklumi, secara yuridis, sejak awal kita sudah memiliki peraturan yang berupaya mempersempit ruang gerak bagi tindak korupsi. Pada masa Orde Lama, misalnya, ada Peraturan Penguasa Militer –Angkatan Darat dan Angkatan Laut RI, Nomor PRT/PM/06/1957 yang berupaya menghentikan meluasnya korupsi pada saat itu. Langkah ini dilakukan karena KUHP dianggap tidak mampu menanggulangi menjalarnya tindak korupsi.
Begitu juga pada masa Orde Baru, ada beberapa peraturan yang dibentuk untuk meminimalisir tindak korupsi yang semakin menggurita. Misalnya, pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (1967), UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (1971), Operasi Tertib (1977), dan Operasi Khusus Perpajakan (1987). Namun sayang, banyaknya aturan main tersebut berjalin berkelindan dengan kuantitas tindak korupsi itu sendiri. Maka jadilah peraturan anti korupsi tersebut hanya menjadi pajangan pelengkap tata hukum kenegaraan.
Energi untuk memberantas korupsi tampaknya tak pernah habis. Seiring dengan era reformasi, langkah serius untuk menindak para koruptor terus berkobar. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari beberapa fenomena. Pertama, dibentuknya beberapa lembaga dan peraturan bagi tindak korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (2003), Pengadilan Khusus Tipikor (2004), dan Tim Tastipikor (2005). Kedua, dukungan dan langkah berani beberapa LSM dalam mengungkap tindak korupsi dan peran media massa yang ikut menginformasikan penyimpangan dan penyelewengan baik yang melibatkan pemerintah maupun swasta. Ketiga, ditangkapnya beberapa koruptor yang dianggap merugikan negara.
Ketiga realitas tersebut menjadi pemantik optimisme bagi pemberantasan korupsi. Namun kita masih saja menyisakan kekhawatiran dan pesimisme ketika melihat sikap dan perilaku pejabat yang arogan atas nama kepentingan korps atau lembaga yang dipimpinnya. Sehingga menyulitkan langkah pengusutan dan penyidikan tindak korupsi.

Parpol antara Kendala atau Kendali
Secara politik, kekuasaan saat ini dipegang oleh parpol. Seluruh proses kekuasaan harus melalui pintu parpol, mulai dari kepala daerah sampai presiden. Tanpa parpol ranah politik kekuasaan tak mungkin terjamah. Dan tesis bahwa kekuasaan menjadi lumbung korupsi semakin menemukan legitimasinya ketika parpol dan DPR menjadi dua lembaga yang paling tinggi tingkat korupsinya. Seperti hasil survei Gallup International yang kemudian dilansir oleh lembaga Transparency International (2005) parpol dan DPR merupakan dua institusi yang memiliki nilai tertinggi tindak korupsinya (4,2) di antara institusi lainnya. Terjadinya korupsi secara berjamaah yang melibatkan anggota legislatif di tingkat daerah dan adanya percaloan di legislatif pusat menjadi cermin nyata dari tak terkendalinya kekuasaan yang mereka pegang sehingga dengan mudah melakukan tindak penyimpangan.
Kekuasaan dengan segala tindak penyimpangan yang dilakukan oleh parpol dan para politisi tersebut bisa menjadi ancaman bagi masa depan pemberantasan korupsi. Karena bisa saja lembaga yang selama ini gigih melakukan investigasi dan penyidikan tindak korupsi, seperti KPK dan lembaga lainnya, terancam oleh ulah parpol yang overacting sebagaimana sepak terjang kekuasaan pada masa lalu. Kekhawatiran KPK, yang sampai saat ini belum menerima gaji resmi, tentang kemungkinan terhambatnya langkah penyidikan tindak korupsi sangat wajar karena manuver-manuver politik kekuasaan yang sering tak terduga.

Modal Politik & Budaya
Secara de jure dan de facto, sebenarnya kita memiliki modal yang sangat kuat untuk memberantas tindak korupsi. Pertama, adanya komitmen dan political will yang ditunjukkan oleh SBY untuk memberantas korupsi menjadi modal optimisme kita bagi masa depan Indonesia yang bebas korupsi. Kedua, adanya kontrol masyarakat yang terus bergerak mempersempit ruang korupsi melalui lembaga-lembaga anti korupsi maupun media massa yang ikut mengawasi, mengungkap, dan menyebarkan berbagai kasus tindak korupsi merupakan modal yang sangat penting bagi kepentingan pemberantasan korupsi.
Kedua modal tersebut harus dibarengi oleh kesadaran yang bersinergi untuk tidak bersikap koruptif dalam segala bentuknya. Hal ini menjadi penting karena kesadaran merupakan kekuatan yang bisa tumbuh pada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Kesadaran merupakan energi yang bisa hadir pada setiap orang tanpa tersekat oleh perbedaan usia. Kalau sinergi kesadaran anti-korupsi ini tumbuh, maka negara ini akan terbebas dari beban sejarahnya sebagai negara terkorup. Dan inilah agenda sejarah yang harus dituntaskan oleh SBY. Semoga.*

No comments: