Monday, June 09, 2008



Opini

Tafsir Politis Kenaikan BBM
Media Indonesia, Sabtu, 31 Mei 2008

A. Bakir Ihsan

Kenaikan harga BBM bukan sekadar hitung-hitungan matematik, tapi juga politik. Lihatlah reaksi yang beragam terkait kenaikan tersebut. Logika-logika matematik yang disajikan pemerintah tak mampu memberi pemahaman yang substantif terhadap publik, sehingga kontraproduktif.

Kegagalan tersebut lebih disebabkan oleh disparitas pemaknaan atas kebijakan yang diambil oleh negara. Bukan pada substansi yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut. Di sinilah simulakra kata dan wacana dapat menentukan benar tidaknya sebuah fakta. Dalam konteks dominasi (permainan) wacana ini ada beberapa hal yang menarik ditelaah.

Pertama, polemik tentang janji Presiden untuk tidak menaikkan BBM yang dilansir Wiranto dan direspon pihak istana. Tak ada substansi yang bisa dilihat dari perdebatan tersebut kecuali upaya pergumulan dominasi wacana. Pergumulan ini pada akhirnya bermuara pada perebutan citra untuk masing-masing pihak. Karena itu, perdebatan tersebut lebih bernuansa politis daripada mengungkap kebenaran.

Dan inilah yang berkembang saat ini. Penebaran wacana lebih mengemuka daripada kerja nyata. Janji lebih penting daripada bukti. Kesan dan pesan lebih bermakna daripada kenyataan. Karenanya kampanye lebih dihargai dan menarik diekspos daripada kerja-kerja sosial yang bergumul langsung dengan rakyat.

Kedua, tentang kebijakan kenaikan itu sendiri. Dalam beberapa kesempatan pemerintah menjelaskan logika-logika kenaikan BBM dan dampak yang akan dihasilkan. Namun logika tersebut tidak mendapat respon positif dari masyarakat, sehingga muncul reaksi. Dalam kacamata komunikasi politik, penolakan tersebut bukan sepenuhnya disebabkan oleh lemahnya logika kenaikan. Tapi juga karena kurang intensifnya penjelasan (komunikasi) sehingga gagal dipahami secara komprehensif. Hal ini bisa dibandingkan dengan kenaikan BBM pada 2005 lalu yang reaksinya tidak sebesar saat ini. Padahal tingkat kenaikannya jauh lebih besar saat itu.

Sosialisasi dan komunikasi yang dibangun pemerintah pada 2005 jauh lebih intensif dan komprehensif dibandingkan saat ini. Dua langkah yang dilakukan pemerintah pada saat itu adalah pertama, pendekatan terhadap para tokoh masyarakat (opinion leader), seperti kiai dan pemuka masyarakat, sehingga mereka bisa memahami dan mensosialisasikan kebijakan kenaikan harga BBM pada masyarakatnya. Pada waktu itu, Presiden SBY secara khusus bertemu dengan beberapa kiai di Jawa Timur untuk menjelaskan hal tersebut. Kedua, keterlibatan kaum profesional baik dari kalangan media maupun konsultan yang bersedia memberikan dukungannya terhadap kenaikan tersebut. Waktu itu beberapa kalangan profesional, cendekiawan, dan tokoh masyarakat secara khusus membuat iklan dukungan terhadap kenaikan BBM di beberapa media nasional yang dilengkapi dengan hasil riset. Kedua langkah ini tidak dilakukan pada kenaikan BBM 24 Mei lalu.

Soliditas
Sulit dimungkiri bahwa eskalasi politik yang semakin memanas menjelang 2009 ikut mengeruhkan kebijakan kenaikan BBM ini. Masing-masing kekuatan politik, termasuk partai pendukung pemerintah ikut memainkan wacana untuk “mencari keuntungan” secara efektif. Inilah yang menyebabkan barisan koalisi di dalam kabinet tidak maksimal dalam menerjemahkan kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal kenaikan BBM.

Gejala ini tidak hanya terjadi di internal pemerintah. Lembaga negara lainnya juga belum konsisten menjalankan fungsinya sehingga menjadi bagian dari kegaduhan republik ini Lihatlah sikap inkonsistensi anggota DPR yang memberi “cek kosong” pada pemerintah untuk mengambil kebijakan masalah BBM yang harganya fluktuatif. Adanya cek kosong ini sekaligus mengurangi fungsi kontrol DPR yang seharusnya menjadi benteng pertahanan bagi kepentingan rakyat.

Kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal kenaikan BBM, merupakan rangkaian dari kesepakatan dengan legislatif. Keberanian pemerintah menaikkan harga BBM karena DPR telah memberi cek kosong pada pemerintah untuk memperlakukan harga BBM berdasarkan harga global yang fluktuatif. Karena itu aneh kiranya apabila ada anggota dewan yang memprotes kenaikan tersebut, apalagi berupaya memakzulkan presiden karena kebijakan yang sesungguhnya mendapat dukungan dari DPR. Hal ini sekaligus menunjukkan retaknya soliditas antara lembaga yang sejatinya menjadi pijakan bagi soliditas masyarakat.

Sebagai rangkaian pilar kenegaraan, maka legislatif, eksekutif, dan yudikatif merupakan kekuatan kolektif yang bertanggungjawab atas pelaksanaan dan kebijakan negara. Karena itu apapun yang terjadi, termasuk dalam kebijakan kenaikan BBM merupakan tanggungjawab kolektif. Eksekutif, dalam hal ini Presiden, tidak bisa, dan tidak boleh, mengeluarkan kebijakan semaunya sendiri. Kalau ini terjadi berarti bangsa ini, terutama pihak DPR sebagai kontrol eksekutif, membiarkan tumbuhnya benih otoritarianisme.

Depolitisasi
Keputusan pemerintah menaikkan BBM adalah keputusan politik. Namun unsur politisasi dalam kebijakan tersebut tentu sulit dipahami. Sejatinya SBY bisa mengambil keuntungan dari kebijakan tersebut. Alih-alih keuntungan, justru ia menuai protes, unjuk rasa, bahkan tindakan anarkis. Kebijakan yang tidak populer ini sedikit banyak menyumbang delegitimasi dan penurunan citra pemerintah. Karena itu, apapun upaya pemerintah untuk “meninabobokan” rakyat, sebagaimana ditudingkan, termasuk melalui pemberiaan beasiswa bagi mahasiswa tidak akan bisa menutupi beban hidup dan kritisisme mahasiswa.

Pada titik ini secara tidak langsung SBY menunjukkan dirinya bahwa bukan pencitraan yang ia bangun, tapi logika-logika kebijakan yang tentu menurut pertimbangannya lebih besar manfaatnya daripada membiarkan (tidak menaikkan) demi citra. Hal ini dengan sendirinya menegasikan segala bentuk politisasi dalam menaikkan harga BBM.

Dan yang menuai untung dalam konteks pencitraan dari kenaikan tersebut adalah lawan-lawan politiknya yang akan bertarung pada pemilu 2009, seperti Wiranto dan Megawati. Bahkan Megawati secara terus terang melarang pendukungnya menerima bantuan langsung tunai. Kalau ini terjadi, proses delegitimasi terhadap pemerintah semakin kuat.

Ini semua merupakan efek dari tafsir politik (politisasi?) terhadap sebuah kebijakan. Tentu sejarahlah yang akan menjawab apakah kebijakan tersebut lebih membawa madarat atau justru menambah manfaat bagi kemandirian rakyat.*

No comments: