Friday, April 18, 2008


Opini

Islam Menakar Demokrasi
Media Indonesia
, Jum’at, 18 April 2008

A. Bakir Ihsan

Demokrasi tampaknya semakin bersemi. Paling tidak dari wacana yang terus bergulir menunjukkan urgensi demokrasi, termasuk di negara-negara muslim yang tandus demokrasi. Hal ini bisa dilihat dari intensitas penyelenggaraan Doha Forum on Democracy yang diselenggarakan setiap bulan April di Qatar. Tahun ini merupakan penyelenggaraan yang ke-8 dengan melibatkan ratusan partisipan dari berbagai negara dan profesi. Intensitas wacana demokrasi di negara Timur Tengah ini menunjukkan urgensi sekaligus problem demokrasi, khususnya di negara-negara muslim.

Beberapa waktu lalu, dalam sidang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-11 Organisasi Konferensi Islam (OKI) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan relevansi Islam dan demokrasi yang berhasil dijalankan di Indonesia. (Senegal, 14/3).

Atensi atas demokrasi di atas menyiratkan dua sisi demokrasi. Pertama, secara internal demokrasi bisa tumbuh berlandaskan nilai-nilai Islam. Penempatan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga (freedom house, 2006) secara tidak langsung menunjukkan akseptabilitas Islam terhadap demokrasi.

Kedua, demokrasi sebagai bagian dari arus global, mensyaratkan keterlibatan faktor eksternal untuk merawat dan memperkuat tatanan demokrasi. Faktor eksternal ini penting karena secara faktual, demokrasi sering direcoki oleh kepentingan lain (ekonomi) yang berlindung di balik demokrasi. Dan inilah yang sedang menyelimuti sebagian negara Islam di tengah kepentingan global yang kompleks.

Bahwa demokrasi sudah menjadi kehendak global sulit dibantah. Bahkan Afrobarometer dengan merujuk pada realitas politik di Mali, Nigeria, Tanzania, dan Uganda, menyimpulkan bahwa mayoritas penduduk muslim mendukung demokrasi. Problem demokrasi di negara muslim bukan karena faktor keyakinan agama, tapi lebih disebabkan problem pendidikan dan modernisasi yang belum maksimal. Begitu pun yang terjadi di Asia Tengah dan Timur Tengah (Larry Diamond, 2003). Namun demikian, sulit pula dimungkiri bahwa dalam praktiknya demokrasi sering menjadi taktik pertahanan politik (political survival) kekuasaan yang menyebabkan demokrasi menjadi semu (pseudodemocracy) dan terasing dari rakyat. Inilah tantangan bagi negara-negara demokrasi baru, termasuk di Indonesia.

Gerakan alternatif
Problem demokrasi tidak hanya dialami negara-negara muslim. Kecenderungan umum di negara-negara demokrasi baru juga mengalami hal yang sama karena perbedaan sistem dan budaya yang ada. Namun tingkat akseptabilitas masing-masing negara, termasuk negara-negara muslim, terhadap demokrasi membuktikan bahwa tidak ada problem substantif bagi aktualisasi demokrasi.

Bahkan demokratisasi yang berlangsung di negara-negara muslim sering memunculkan, meminjam istilah Francis Fukuyama, the great disruption (guncangan besar) akibat paradigma stigmatis yang terlanjur melihat Islam tidak relevan dengan demokrasi. Melalui demokrasi yang diterapkan di negara-negara muslim, dunia sering dibuat tersentak, tak percaya, dan sebagian merasa terancam. Inilah paradoksalitas implementasi demokrasi ketika dipasarkan berdasarkan kepentingan-kepentingan berstandar ganda.

Gerakan Islam yang disepelekan karena dianggap tidak punya landasan nilai demokrasi, ternyata membalikkan semua praduga. Kemenangan beberapa tokoh Islam yang tampil sebagai oposisi pada tahun 1990-an dalam kontestasi demokrasi baik yang terjadi di Mesir, Tunisia, dan Yordania, menjadi benih yang menyulut kejutan-kejutan demokrasi di negara muslim. Kemenangan FIS di Aljazair dan Hamas di Palestina serta tampilnya “politisi Islam” di tampuk kekuasaan Turki yang mengagungkan sekularisme menambah panjang daftar kemenangan politik Islam yang tak terpikirkan.

Beberapa fakta di atas memperlihatkan bahwa kehadiran tokoh atau gerakan Islam di tengah krisis yang melanda dunia membuka peluang bagi gerakan-gerakan Islam sebagai alternatif. Inilah yang sering terlewatkan dalam memetakan kekuatan politik Islam. Paradigma oposisi biner yang saling menegasikan antara Islam dan demokrasi dan dikembangkan dalam memotret Islam justru menjadi bumerang dan gagal memahami realitas politik Islam secara komprehensif.

Perjuangan melalui sistem yang diakomodir dalam sistem demokrasi memberi ruang yang luas bagi setiap kepentingan untuk mengaktualisasikan dirinya. Dan peluang inilah yang dikembangkan oleh kelompok Islam untuk menawarkan langkah-langkah solutif sehingga ia tampil menjadi partai atau gerakan alternatif. Dan efektivitas gerakan alternatif ini akan ditentukan oleh daya tahan dan kemampuan untuk mengaktualisasikan dan mengkontekstualisasikan diri sesuai dengan ruh demokrasi itu sendiri.

Penguatan politik
Demokrasi membutuhkan legitimasi publik agar tetap eksis. Legitimasi itu muncul ketika publik mendapatkan manfaat dari demokrasi, berupa agregasi terhadap segala aspirasi. Belum kuatnya bangunan demokrasi di beberapa negara muslim memungkinkan terjadinya involusi dan ilusi demokrasi. Bila ini terjadi, maka asumsi diskoneksitas Islam dan demokrasi semakin mendapat legitimasi.

Karena itu, diperlukan langkah-langkah yang urgen untuk memperkuat harmoni Islam dan demokrasi. Pertama, penguatan faktor-faktor eksternal. Menurut Samuel P Huntington sebagian besar dari tanggungjawab terjadinya gelombang ketiga demokrasi adalah pada kebijakan-kebijakan, tekanan-tekanan, dan harapan-harapan dari Amerika Serikat dan komunitas Eropa. Asumsi ini menguatkan pandangan bahwa apatisme dan optimisme terhadap demokrasi tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politik internasional Amerika dan Eropa. Ketika perilaku politik internasional menghadirkan suasana politik yang diskriminatif dan hegemonik, maka demokrasi pun akan mengalami degradasi akseptabilitasnya.

Kedua, legitimasi internal. Konsolidasi demokrasi juga dipengaruhi oleh apa yang oleh Juan J. Linz disebut sebagai loyalitas pada rezim demokrasi. Karenanya konsolidasi demokrasi tidak hanya mengacu pada penguatan norma, tapi juga perilaku politik yang diperlihatkan oleh para elite. Dibutuhkan pembiasaan untuk menempatkan prosedur dan norma-norma sebagai rujukan utama dalam bertingkahlaku.

Kedua hal tersebut masih mejadi ganjalan bagi optimalisasi demokrasi khususnya di negara-negara muslim. Kepentingan hegemonik Amerika yang berlindung di bawah misi demokratisasi di Irak misalnya justru berbuah konflik yang memakan banyak korban. Dalam konteks ini relevan ketika Presiden SBY mengusulkan penarikan tentara Amerika dari Irak sebagai solusi harmoni di negeri seribu satu malam itu. Usulan ini secara tidak langsung melihat langkah Amerika di Irak sarat dengan kepentingan dan ikut mengeruhkan demokrasi di Irak.

Di samping realitas eksternal tersebut, demokrasi sering terganjal oleh perilaku para elite yang menjadikan demokrasi sebagai taktik pertahanan politik kekuasaan. Norma atau aturan main yang dibuat dan disahkan oleh DPR misalnya, tak lebih dari kalimat-kalimat pernyataan tanpa pijakan dalam kenyataan. Kepentingan pribadi dan kelompok mensubordinasi kepentingan publik yang menjadi esensi demokrasi.

Inilah tantangan konsolidasi demokrasi di negara-negara demokrasi baru, termasuk di Indonesia. Dalam konteks negara-negara muslim, ketika Islam diyakini berkorelasi dengan demokrasi, bahkan dipraktikkan secara prosedural seperti di negeri ini, umat Islam, khususnya para politisi muslim, memiliki tanggungjawab moral untuk mengaktualisasikannya dalam budaya dan perilaku politiknya. Hanya dengan cara ini, Islam akan semakin membumi di ranah politik (demokrasi). Begitupun sebaliknya. Demokrasi akan semakin mekar di bawah nilai-nilai Islam. Semoga.*

No comments: