Thursday, April 03, 2008



Opini

Urgensi Jalan Tengah Indonesia
Koran Tempo, Kamis, 3 April 2008

A. Bakir Ihsan

Beberapa waktu lalu, muncul gagasan Islam jalan tengah yang dilontarkan pengurus Yayasan Wakaf Paramadina saat diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (28/2). Gagasan ini, menurut mereka, berpijak pada kerangka keberagamaan yang damai, modern, dan berkarakter Indonesia yang khas dan inklusif.

Wacana jalan tengah ini menarik ditelaah tidak hanya terkait dengan sikap keberagamaan, tapi juga di bidang lainnya. Termasuk dalam politik yang cenderung bergerak ekstrem, eksklusif, dan elitis. Jalan tengah menjadi alternatif di antara tarikan dua garis ekstrem yang hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Jalan tengah bukan sebuah sikap hipokrit untuk mencari selamat. Justru ia bisa menjadi jalan penyelamatan dari dua titik yang diametral.

Ada dua hal penting terkait jalan tengah yang perlu dibangun di negeri ini. Pertama, diplomasi internasional di tengah konstelasi global yang semakin kompleks dan hegemonik. Tarikan-tarikan kepentingan global bisa menjebak negara untuk berpihak apabila tidak disikapi secara moderat. Kedua, ekstremisme sikap keberagamaan yang berdampak pada homogenisasi pemaknaan. Ekstremisme ini bisa memicu involusi bahkan destruksi di tengah keragaman makna, aliran, dan mazhab.

Masalah diplomasi dan sikap keberagamaan ini penting karena adanya keinginan makin kuat di tingkat internasional terhadap peran Indonesia baik sebagai representasi negara muslim terbesar yang berhasil membumikan demokrasi maupun sebagai negara yang dianggap concern terhadap perdamaian dan penyelesaian konflik.

Moderasi diplomasi
Ketegangan yang terjadi pada tingkat global merupakan akibat arogansi berebut hegemoni. Paradigma benturan peradaban yang dilontarkan Samuel P Huntington mempertontonkan apa yang disebut Maurice Durverger sebagai antagonisme politik. Inilah yang sedang mewarnai dunia global saat ini. Masing-masing bergerak untuk menandaskan kekuatannya di atas kekuatan lainnya. Lihatlah ketegangan Amerika versus Iran yang terus memacu sanksi-sanksi, bukan diplomasi, melalui legitimasi Dewan Keamanan PBB.

Beberapa waktu lalu Indonesia mengambil langkah penting dalam resolusi Dewan Keamanan PBB. Indonesia menjadi satu-satunya negara yang bersikap abstain di antara 15 anggota DK PBB. Sikap abstain atas resolusi 1803 memperlihatkan upaya jalan tengah diplomasi Indonesia. Di tengah hegemoni untuk memberi sanksi tambahan pada Iran, Indonesia bersikap memilih cara lain. Kunjungan kenegaraan Presiden SBY ke Iran beberapa hari setelah keputusan abstain tersebut memperkuat cara baru diplomasi di tengah hegemoni.

Fakta tersebut menjadi bukti kuat politik Indonesia yang bebas aktif. Selama ini persepsi yang muncul terkait dengan sikap politik luar negeri Indonesia adalah keberpihakannya pada negara-negara Barat (Amerika dan sekutunya). Bahkan sebagian pengamat menyebut Indonesia sebagai boneka Amerika. Klaim tersebut tampaknya harus dikubur di tengah “langkah zigzag” politik luar negeri yang dimainkan Presiden Yudhoyono.

Sejarah membuktikan, keberpihakan (monolitas) politik luar negeri yang dipraktikkan oleh rezim orde lama dan orde baru gagal mempertahankan wibawa kedaulatan dan martabat bangsa. Kedua rezim itu runtuh dan gagal membawa negeri ini menjadi lebih baik, bahkan mengubur eksistensi dirinya sendiri.

Momentum reformasi sejatinya melepaskan segala orientasi kekuasaan yang monolitik tersebut. Intimasi dengan negara-negara tertentu di samping tidak akan menghasilkan output yang maksimal, juga bisa membatasi gerak diplomasi yang selama ini mulai mencair. Apalagi di tengah globalisasi dengan tingkat keragaman kepentingan begitu mencair. Sikap kaku dan monolitik akan menyebabkan alienasi. Sebaliknya inklusivitas dapat menjadi jembatan di antara beragam kepentingan yang cenderung dioperasikan secara eksklusif.

Atas inklusivitas politik luar negeri tersebut, berbagai dukungan dan harapan terhadap peran Indonesia mulai banyak dipertaruhkan. Khusus dalam hal penyelesaian konflik dan perdamaian, Indonesia cukup diperhitungkan. Paling tidak dilibatkan dalam berbagai proses perdamaian dan penghentian konflik baik regional maupun global.

Semua ini merupakan buah dari politik bebas aktif yang mulai dioptimalkan oleh Presiden SBY. Keuntungan yang diperoleh dari politik bebas aktif itu tidak hanya di bidang politik, tapi juga di bidang ekonomi. Misalnya dari kunjunganya ke Cina beberapa waktu lalu, Presiden SBY berhasil membawa pulang realisasi investasi US$ 4,3 milyar dari Cina. Cina menjadi mitra dagang terbesar keempat Indonesia. Bahkan pemerintah menargetkan volume perdagangannya hingga US$ 30 milyar pada 2010. Begitu juga dengan Iran berhasil ditandatangani berbagai kontrak dengan tingkat perdagangan yang terus meningkat. Sebagai contoh, tahun lalu total perdagangan mencapai US$409 juta, atau naik sekitar 22 persen dibanding tahun sebelumnya. Demikian juga kerjasama yang lain, seperti di bidang kesehatan, kepariwisataan serta kerjasama di bidang energi.

Moderasi agama
Begitu pun dalam sikap keberagamaan. Sebagai bangsa yang religius sejatinya agama menjadi nilai positif bagi transformasi sosial. Dan ini akan terjadi apabila agama diletakkan sebagai jalan tengah di antara paham, mazhab, dan aliran yang ada di dalam masyarakat. Islam jalan tengah menjadi jembatan dari beragam penafsiran dan pemaknaan terhadap ajaran agama, sehingga muncul sinergi Islam keindonesiaan.

Kekhasan budaya Indonesia telah menampilkan wajah Islam yang berbeda dengan negara muslim lainnya. Salah satu bukti konkret perbedaan tersebut adalah respon positif Islam Indonesia terhadap sistem demokrasi. Dan inilah yang “dipasarkan” Yudhoyono dalam KTT ke-11 OKI di Senegal lalu dengan mengangkat optimisme demokrasi yang seiring sejalan dengan Islam. Hal ini sekaligus meruntuhkan tesis Samuel P Huntington dan Bernard Lewis yang melihat Islam tidak bersinergi dengan demokrasi.

Muslim Indonesia justru mampu menampilkan dirinya sebagai komunitas yang sangat akomodatif terhadap nilai-nilai demokrasi. Realitas ini menunjukkan bahwa pola pandang dan pemahaman keagamaan (keislaman) di Indonesia memiliki kekhasan yang tidak bisa digeneralisasi dengan komunitas muslim di negara lain. Kekhasan inilah yang perlu terus dirawat sebagai bentuk jalan tengah di antara beragam mazhab dan aliran. Proses generalisasi (homogenisasi) justru akan mengancam keragaman sekaligus demokrasi yang sedang bersemi.

Di sinilah jalan tengah semakin urgen untuk dikembangkan di tengah ekstremisme paradigmatik yang menghantui dunia baik pada tataran politik maupun budaya (paham keagamaan). Indonesia dengan segala keberhasilannya dapat menjadi jalan lain bagi mencairnya antagonisme global. Jalan tengah baik dalam konteks diplomasi maupun pengembangan keagamaan akan menjadi kunci yang konstruktif di tengah arus globalisasi yang hegemonik dan paham keagamaan yang eksklusif dan ekstrem. Jalan tengah sebagai realitas khas keindonesiaan menjadi pertaruhan bagi masa depan agama dan negara di mata dunia.*

No comments: