Tuesday, April 29, 2008

Opini

Kemenangan Semu Parpol
Seputar Indonesia, Selasa, 29 April 2008

A. Bakir Ihsan

Pelaksanaan Pilkada di awal 2008 ini menyajikan fakta-fakta baru. Kemenangan beberapa calon yang tidak diunggulkan dan diusung oleh “partai menengah” dianggap sebagai terobosan yang akan mengguncang pemilu 2009. Beberapa asumsi antitesis pun dibangun untuk menjelaskan “era baru” yang akan mewarnai pemilu mendatang. Kemenangan calon parpol menengah dipahami sebagai antitesa dari dominasi parpol besar. Keunggulan calon baru ditahbiskan sebagai antitesa dari eksistensi incumbent. Kekalahan pensiunan jenderal dianggap sebagai monumen kebangkitan politisi sipil. Dan kemunculan pemimpin muda diyakini sebagai masa renta politisi tua.

Pola pandang antitesis dan biner tersebut di satu sisi dapat memacu sirkulasi atmosfir politik yang menurut Presiden SBY semakin “panas”. Tapi di sisi lain bisa mengaburkan (memanipulasi) peta politik yang sesungguhnya. Asumsi bahwa parpol besar mulai keropos dan partai menengah mulai bangkit masih harus dibuktikan secara lebih konkret. Karena pada kenyataannya, partai besar masih mendominasi kemenangan dalam kontestasi Pilkada. Nah, fenomena kemenangan partai menengah dalam beberapa pilkada justru memperlihatkan ambiguitas eksistensi parpol. Parpol tidak memiliki pijakan kuat, sehingga eksistensinya tidak bisa dijadikan garansi kemenangan.

Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan rapuhnya garansi parpol tersebut. Pertama, kondisi masyarakat yang masih mengambang. Realitas sosial yang labil secara politik tidak bisa dipetakan secara sistemik. Kemenangan partai pada pemilu lalu tidak menjadi garansi kemenangan calon yang diusungnya dalam kontestasi pilkada. Kedua, kinerja parpol yang belum maksimal. Rendahnya ikatan emosional dan rasional masyarakat terhadap partai merupakan efek dari rendahnya tingkat artikulasi, agregasi, dan apresiasi parpol atas aspirasi masyarakat. Ketiga, kuatnya faktor personal. Kekalahan parpol-parpol besar dalam beberapa pilkada, bahkan dalam pilpres yang lalu menjadi bukti konkret kuatnya faktor personal dalam kontestasi.

Dalam kondisi demikian apakah partai patut mengklaim kemenangan dalam kontestasi pilkada sebagai cermin sukses peran dan eksistensinya?

Nasib parpol
Secara historis peran parpol di negeri ini belum pernah berkibar mengantarkan optimisme masyarakat untuk menyongsong demokrasi. Sejarah rezim di republik ini terjebak dalam paradoksalitas partai. Musim semi parpol yang ditabuh Mohammad Hatta melalui Maklumat 3 November 1945 “diakhiri” oleh pidato Soekarno Oktober 1956. Dan Soeharto menjadikan partai sekadar penyemarak demokrasi basa-basi.

Di awal reformasi, partai menjadi sebuah mesianisme politik. Pengebirian partai pada masa lalu dianggap sebagai petaka bagi tata negara bangsa. Partai pun bak ratu adil. Ia disanjung, disambut, bahkan diyakini sebagai jalan menuju kehidupan politik yang lebih baik. Melalui partai aspirasi bisa diapresiasi, konflik bisa diatasi, dan masyarakat bisa berserikat sebagai hak asasi.

Atas kerangka itu, partai hadir begitu menggurita. Ia mengendalikan nafas kekuasaan. Warna-warni kekuasaan sepenuhnya di tangan partai. Namun sayang, otoritas hegemonik partai ini dioperasikan sepenuhnya untuk kekuasaan. Konsekuensinya harapan besar atas peran partai bagi rakyat terkubur.

Kehadiran partai yang begitu memesona di awal reformasi, kian hari semakin meredup seiring memudarnya ikatan emosi rakyat akibat erosi ulah politisi. Wajar bila hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) Maret 2007, menemukan kesenjangan aspirasi pemilih (65%) dengan sikap dan perilaku partai. Partai telah bermatamorfose menjadi singgasana kaum elit.

Namun politisi seakan tak kehabisan energi dan obsesi. Gugur satu tumbuh seribu. Menyambut pemilu 2009, terdapat 24 partai baru yang lolos verifikasi Depkum-HAM atau 58 partai yang sedang diverifikasi KPU. Semuanya mempertaruhkan rakyat yang selama ini diabaikan.

Krisis partai
Deskripsi di atas memperlihatkan paradoksalitas partai. Di balik kelemahannya tersisa semangat untuk tetap eksis. Di balik kewenangannya yang begitu menggurita bahkan hegemonik, terhampar kelemahannya akibat pengabaiannya pada aspirasi rakyat. Sepak terjang partai seperti macan tua yang sedang membunyikan lonceng kematiannya. Ia besar tapi tak berdaya. Ia berkuasa tapi tak dipercaya. Ia bertahta tanpa wibawa.

Fenomena krisis eksistensi partai sebenarnya sudah terbaca sejak pemilu 2004. Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) memperlihatkan minimnya peran partai dalam pemilihan tampuk kekuasaan. SBY diusung oleh partai yang baru pertama kali bertarung di pemilu (partai Demokrat), sementara JK hanya “orang biasa”, kalau bukan terasing, di Golkar. Tanpa basis partai yang kuat, keduanya bisa mengalahkan calon dari partai besar seperti Golkar dan PDIP.

Dalam beberapa Pilkada pun kemenangan calon tidak sepenuhnya ditentukan partai. Kemenangan partai menengah menunjukkan bahwa partai besar bukan jaminan untuk memenangkan calonnya. Bahkan untuk kasus Nanggroe Aceh Darussalam justru calon independen yang berhasil meraih kursi gubernur dan beberapa kursi bupati. Dan tidak tertutup kemungkinan, apabila kran calon independen dibuka, akan muncul pemimpin-pemimpin kepala daerah yang independen. Kemungkinan ini terbuka lebar di tengah wibawa partai semakin merosot di mata publik akibat ulah sendiri.

Krisis yang dialami parpol ini seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi partai dalam memposisikan dirinya sebagai medium kaderisasi politik maupun medium resolusi konflik. Partai akan efektif menjadi media perjuangan ketika ia hadir sebagai tumpuan harapan rakyat. Namun yang terjadi, partai tumbuh di atas angan-angan segelintir orang yang hendak berkuasa. Bahkan tidak jarang partai menjadi meja kasino untuk mendapatkan berbagai keuntungan berlipat.

Orientasi (personifikasi) kekuasaan yang begitu besar di lingkungan elit parpol telah mempersempit ruang gerak sekaligus memperlambat peran parpol. Dalam kondisi demikian, partai mudah menjadi ajang perebutan antar elit partai itu sendiri. Di sinilah benih perpecahan bersemi yang berakibat pada inefektivitas kerja partai. Tidak heran apabila hampir semua partai mengalami perpecahan, baik secara permanen maupun temporer. Konflik yang mencengkram PKB saat ini merupakan bagian dari perebutan personifikasi kekuasaan itu. Dalam kondisi partai yang rapuh itu, artikulasi atas aspirasi rakyat hanya mimpi. Eksistensi partai di tengah menguatnya egosentrisme menjadi ajang personifikasi kepentingan.

Mempublikkan parpol
Personifikasi partai merupakan deviasi dari esensi partai sebagai jembatan antara publik (rakyat) dan republik (pemerintah). Parties as the only true linkage between society and government (Epstein, 1980). Partai menjadi penting, ketika ia mementingkan rakyat. Dan partai menjadi media paling efektif untuk mengontrol kekuasaan, ketika ia bersama rakyat.

Selama sepak terjang parpol untuk kepentingan parpol, maka demokrasi berubah menjadi partaiokrasi (partyocracy). Kekuasaan menjadi kue yang diperebutkan, diolah, dan dinikmati oleh elit-elit parpol sendiri. Kedaulatan rakyat berubah menjadi kedaulatan partai. Apabila fenomena ini dibiarkan, maka perlahan tapi pasti partai akan mengalami pembusukannya.

Kini kembali pada parpol, apakah ia mampu melepaskan dirinya dari jeratan egosentrisme kekuasaan yang membuat dirinya teralienasi dari rakyat, atau bermetamorfose menjadi alat perjuangan, sehingga ikatan emosional dan rasional menguat dalam diri rakyat. Kalau tidak, kemenangan demi kemenangan yang diraih parpol dalam kontestasi pilkada hanyalah kemenangan semu.*

No comments: