Monday, July 07, 2008



Opini

Ambiguitas Politik Senayan
Koran Jakarta, Senin, 30 Juni 2008

A. Bakir Ihsan

Untuk kesekian kalinya DPR RI menggunakan haknya. Hak angket (penyelidikan) terkait kebijakan kenaikan BBM menjadi keputusan melalui mekanisme voting; 233 mendukung dan 127 menolak. Sebagaimana diungkapkan oleh penggagasnya, hak angket ini merupakan upaya untuk membongkar dan menyibak tabir di balik carut marut dunia migas (energi) yang menjadi pendulum kenaikan harga BBM.

Keberhasilan penggunaan hak angket ini mencerminkan tiga fakta politik. Pertama, kekuatan koalisi partai di parlemen semakin mencair. SBY-JK praktis hanya menyisakan dukungan dua partai, yaitu Partai Demokrat dan Partai Golkar. Selebihnya adalah “partai mengambang” yang sarat dengan kepentingan politiknya masing-masing.

Kedua, kegagalan pemerintah melakukan komunikasi dengan partai politik dalam mengamankan kebijakan yang diambilnya. Para pembantu presiden yang notabene orang partai sejatinya bisa memaksimalkan komunikasi dengan partai politiknya, sehingga dapat meminimalisasi penolakan terhadap kebijakan pemerintah. Hal ini tidak hanya dalam konteks kenaikan BBM, tapi juga kebijakan lainnya yang rentan mendapat reaksi dari masyarakat.

Ketiga, menguatnya politisasi. Hak angket yang diajukan DPR lebih bernuansa politis daripada memperjuangkan kepentingan rakyat. Seharusnya DPR dari awal tidak memberi peluang sedikit pun pada pemerintah untuk menaikkan BBM. Namun apa yang terjadi, DPR “bermain mata” dengan pemerintah untuk kemudian mementahkannya (cuci tangan) melalui hak angket.

Simpati Tanpa Empati
Politisasi berbagai isu sulit dimungkiri. Apalagi menjelang pemilu 2009. Presiden SBY sendiri sudah mewanti-wanti tentang suasana politik yang semakin panas ini. Namun semua itu harus tetap dalam lingkup kepentingan rakyat, sehingga ekspektasi dan kepecayaan masyarakat (interpersonal trust) tetap terjaga. Inilah modal sosial yang seharusnya dipertaruhkan para anggota dewan dalam mengontrol pemerintah, sehingga demokrasi bisa terkonsolidasi.

Namun fakta berbicara lain. Beberapa kali usulan hak angket diajukan, selama itu pula gagal. Begitupun interpelasi dapat terlaksana setelah melalui perdebatan yang melelahkan dan menguras energi melampaui substansi yang hendak diinterpelasi. Ini merupakan potret kegagalan DPR mengapresiasi aspirasi warga. DPR dengan segala kepentingannya gagal menggunakan hak-haknya secara maksimal demi kepentingan rakyat.

Kalau berkaca pada beberapa penggunaan hak interpelasi, tak ada dampak substantif yang signifikan dirasakan rakyat. Walaupun kali ini DPR berhasil menggolkan hak angket terkait kenaikan BBM, namun pemerintah telah terlanjur menaikkannya berlandaskan UU APBN-P 2008 yang disetujui oleh DPR. Sungguh sebuah ironi politik yang menyakiti hati rakyat.

Kalaupun alasan penggunaan hak angket adalah ingin membongkar politik energi di balik kenaikan tersebut, mengapa masalah ini baru muncul belakangan menjelang pemilu 2009. Mengapa DPR tidak menggunakannya secara maksimal saat pemerintah menaikkan BBM melebihi 100%. Ini semakin menunjukkan dimensi politis di balik penggunaan hak anggota dewan.

Output yang dihasilkan dari “atraksi politis” ini adalah upaya meraup simpati rakyat bahwa para wakilnya peduli dengan derita rakyat. Namun sayang, rakyat terlanjur apatis atas kinerja para wakilnya. Lihatlah aksi anarkis yang mengiringi sidang anggota dewan saat membahas masalah penggunaan interpelasi atau angket. Ini mencerminkan bahwa begitu tipis kepercayaan masyarakat terhadap para wakilnya dalam memperjuangkan aspirasinya, sehingga harus ditekan sedemikian rupa.

Kenyataan ini sekaligus mempertegas bahwa langkah angket diambil hanya untuk mendapatkan keuntungan politik berupa simpati rakyat tanpa sikap empatik. Mereka bereaksi setelah ada aksi dari masyarakat. Isu-isu dikembangkan dan mencuat ketika memberi keuntungan bagi kepentingan eksistensi diri maupun partainya. Akibatnya pagelaran rapat-rapat DPR jauh dari harapan rakyat. Inilah ambiguitas politik di Senayan.

Politik Pembelajaran
Politik sejatinya bukan berorientasi kekuasaan (vertikal) semata. Politik, demikian Maurice Duverger, juga mensinergikan kepentingan melalui komunikasi, konsultasi, sharing ideas di ruang-ruang rapat, dan bertaruh di bilik-bilik pemilihan. Hal ini sangat dimungkinkan dengan menyadari kelemahan masing-masing berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya.

Masalah BBM yang selalu menjadi hantu APBN seharusnya bisa diselesaikan bersama. Sejak Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati masalah ini tak pernah teratasi. Karena itu, melalui proses pembelajaran sejarah, masing-masing partai khususnya yang pernah berkuasa dan gagal menyelesaikan masalah BBM ini punya concern yang sama untuk memberikan solusi-solusi alternatif dan konstruktif bagi kelangsungan migas dan energi di negeri ini. Bukan dijadikan pendulum isu untuk kepentingan sesaat dan sempit; sekadar mendapat simpati.

Mengurai problem dunia migas (energi) yang sudah akut tidak bisa diselesaikan hanya melalui angket. Tak banyak yang bisa diungkap dalam waktu terbatas. Sebagai sebuah sistem, mengurai problem di negeri ini tidak bisa dilihat secara parsial. Keteledoran pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan merupakan kegagalan DPR menjalankan fungsi kontrolnya. Karena itu mengkaji problem energi tanpa melibatkan problem kinerja DPR yang memiliki fungsi kontrol tak lebih dari basa-basi.

Kini rakyat bertaruh, apakah penggunaan hak angket ini bisa menjadi pintu masuk bagi terciptanya transparansi sebagaimana diinginkan oleh para penggagasnya. Atau justru menjadi pentas baru ajang dagelan politik yang memuakkan rakyat. Kita hanya bisa menunggu dan memantau, apakah substansi yang diajukan anggota DPR terkait kenaikan BBM ini betul-betul layak disuarakan melalui hak angket atau justru mereka mendistorsi fungsi hak angket itu karena gagal mengungkap apa yang diinginkan.

Kalau melihat hasil interpelasi selama ini, kita mesti sabar untuk menyaksikan ulah anggota dewan yang selalu terjebak pada persoalan teknis (kehadiran presiden) dengan berbagai cara termasuk melakukan aksi walk out. Akibatnya substansi dan tujuan interpelasi menjadi terlewatkan dan karenanya usur politisasi semakin tak terbantahkan. Kalau demikian, kapan mereka bekerja untuk rakyat.*

http://www.koran-jakarta.com/search.php?keyword=bakir+ihsan&cari=Cari

No comments: