Friday, July 18, 2008



Opini

Anarkisme dalam Demokrasi
Media Indonesia, Jum’at, 18 Juli 2008

A. Bakir Ihsan

Anarkistis! Itulah vonis terhadap aksi mahasiswa yang memprotes kenaikan BBM beberapa waktu lalu. Hampir semua media seirama “menyuarakan” anarkisme itu. Membakar ban, merobohkan pagar DPR, merusak dan membakar mobil negara, serta memacetkan jalan kehidupan masyarakat yang hendak bekerja dijadikan bukti konkret tindakan anarkistis.

Beberapa tokoh ikut menyayangkan tindakan anarkis yang dipertontonkan oleh para tunas intelektual itu. Bahkan menurut survei Kompas 6/7, aksi-aksi demonstrasi belakangan ini lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.

Kalangan mahasiswa menganggap tudingan itu tidak proporsional bahkan cenderung stigmatis dan provokatif. Bagi para aktivis, tindakan anarkis yang dilakukannya tak separah dampak kenaikan BBM yang dirasakan masyarakat. Kalau demonstrasi hanya memacetkan jalan dan merusak fasilitas umum, maka kenaikan BBM menyebabkan rakyat sengsara bahkan sebagian mati kelaparan.

Sudut pandang yang berbeda ini akan terus merawat antagonisme dengan legitimasi (apologi?) masing-masing. Konsekuensinya, ekspresi protes akan tampil dalam bentuk ektrem yang bisa jadi “melampaui” batas-batas demokrasi. Inilah paradoks-paradoks di tengah transisi yang dapat mengaburkan arah reformasi dan “mengambangkan” demokrasi.

Matinya demokrasi
Konsepsi ideal yang ditawarkan demokrasi sejatinya menjadi jalan mudah untuk mencairkan konflik dan anarkisme. Demokrasi menyediakan lahan dialog, komunikasi, dan diskusi untuk mengartikulasi segala aspirasi. Tinggal bagaimana lahan tersebut digunakan secara maksimal dan efektif, sehingga demokrasi mampu memberi solusi atas beragam mudarat yang dirasakan rakyat.

Perangkat aturan dan kelembagaan (institusi) yang dibangun dalam sistem demokrasi merupakan alat untuk melancarkan proses sirkulasi aspirasi masyarakat. Titik simpang antara aspirasi sangat niscaya terjadi. Apalagi di tengah masyarakat yang multikultural. Di sinilah kapasitas dan kapabilitas agregatif institusi demokrasi untuk mengurai sekaligus mensinergikan beragam aspirasi dipertaruhkan.

Di sisi lain, keragaman dan pluralitas budaya dalam masyarakat sejatinya menjadi modal penguatan nilai-nilai inklusif, toleran dan apresiatif terhadap kelompok yang berbeda (the others). Inilah landasan nilai yang dapat mengawal dan merawat demokrasi.

Kedua modal (institusi dan landasan nilai) demokrasi itu masih belum maksimal akibat distorsi sejarah rezim yang otoriter dan liarnya komitmen penguatan esensi demokrasi di era reformasi. Elitisme, egopolitik, dan obsesi pada kekuasaan an sich menyumbat lancarnya proses konsolidasi demokrasi. Akibatnya prosedur demokrasi diabaikan dan dinafikan demi merengkuh kekuasaan secara instan.

Karena itu, mudah dipahami ketika kalangan mahasiswa dan sebagian kelompok masyarakat mengambil jalan pintas yang sama untuk menggugah kepedulian atas aspirasi yang diperjuangkan. Mereka membongkar simbol-simbol yang dianggap ikut bertanggungjawab atas kegagalan mengapresiasi aspirasi masyarakat. Perubuhan pagar DPR dan perusakan simbol-simbol negara adalah ekspresi atas tidak berfungsinya (matinya) mekanisme demokrasi.

Saluran dialog dan komunikasi yang seharusnya dioperasikan oleh lembaga wakil rakyat tidak efektif. Dari beberapa interpelasi, tak ada substansi yang bisa diapresiasi bagi kepentingan rakyat. Bahkan belakangan DPR lebih banyak berkubang dalam tindak korupsi dan tindakan tidak bermoral lainnya yang secara tidak langsung menodai kepercayaan rakyat.

Ketika dialog dengan DPR berhenti pada kata-kata, ketika dengar pendapat tak memberi manfaat, ketika rapat komisi tak lebih lahan berbagi upeti, ketika sidang paripurna hanya menjadi ladang politisasi, dan ketika interpelasi hanya menjadi ajang adu gengsi, tak ada yang bisa diharapkan dari para wakil rakyat. Berdasarkan realitas politik yang berlangsung di Senayan selama ini tak ada yang bisa dibanggakan kecuali kemirisan atas perilaku anggota dewan yang semakin tak terhormat. Dan rakyat pun tak bisa berharap pada para wakilnya yang secara moral semakin rapuh dan secara institusi semakin jauh dari jangkauan rakyat.

Revitalisasi anarkisme
Dalam kondisi demikian, rakyat harus berjuang sendiri dengan segala ekspresi, termasuk melalui tindakan anarkis. Pada titik tertentu kondisi ini dapat memacu independensi dalam memperjuangkan aspirasi sekaligus menjadi landasan penguatan civil society. Masyarakat bergerak menurut kesadaran politiknya sendiri (partisipasi), bukan karena dimobilisasi.

Secara ekstrem, penguatan civil society ini pada akhirnya bermuara pada apa yang oleh filosof Yunani, Zeno, disebut sebagai “anarki” (a-narchos). Yaitu penguatan tanggungjawab (moral) individual (the sovereignty of the moral law of the individual) tanpa paksaan dan tekanan otoritas eksternal (external authority) yang cenderung distortif dan represif.

Moral individual tersebut mendorong tumbuhnya sinergi dan “objektivikasi” bagi penguatan nilai dan institusi demokrasi. Lebih dari itu, ia dapat meruntuhkan paternalisme dan politisasi (atas nama) warga oleh para elite yang selama ini berlangsung dan mengorbankan rakyat.

Inilah yang langka dalam demokrasi kita. Aturan main diproduksi tanpa landasan moral individual sebagai penggerak prosedur-prosedur demokrasi. Akibatnya prosedur (aturan main) yang dibuat dengan susah payah, diabaikan dan dipermainkan dengan begitu mudahnya. Bukti yang paling hangat adalah “legalisasi” kenaikan harga BBM melalui UU APBNP yang disetujui DPR, tapi digugat kembali melalui hak angket. Bukti lain adalah ambang batas electoral treshold 3% yang ditetapkan dalam UU Nomor 12 tahun 2003 “diabaikan” demi kompromi politik Senayan yang sungguh diskriminatif. Wajar bila Mahkamah Konstitusi membatalkan “kompromi” tersebut. Inilah kontradiksi-kontrdiksi prosedural dan substansial yang menghegemoni pilar-pilar demokrasi, khususnya di Senayan. Dan kita tidak bisa berharap fakta-fakta tersebut dapat diselesaikan hanya melalui ritual konstestasi pada 2009 nanti.

Selama moral individual lemah, demokrasi hanya menjadi ladang petualangan demi kekuasaan. Kekuasaan memang sebuah keniscayaan dalam politik. Tapi kekuasaan tanpa moral individual akan menjelma menjadi ajang eksploitasi yang mengalienasi kepentingan rakyat. Dan ketika ini terjadi, jangan salahkan rakyat bila bertindak menurut caranya sendiri demi sebuah aspirasi yang tak lagi terapresiasi.*

No comments: