Monday, July 07, 2008



Opini

Agenda Menormalkan Negara
Koran Tempo, Minggu, 6 Juli 2008

A. Bakir Ihsan

Secara kasat mata, Indonesia adalah negara yang normal. Paling tidak kehadirannya sampai saat ini menunjukkan bahwa negara ini eksis. Bahkan beberapa waktu lalu, dua pengamat politik Andrew MacIntyre dan Douglas Ramage menyebut Indonesia sebagai negara yang stabil, demokratis (competitive democracy), dan ikut berperan konstruktif pada masalah-masalah dunia. Karena itu, lanjut mereka, Indonesia saat ini berhasil menjadi negara yang normal. (Reuters, 27/5).

Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Australian Strategic Policy Institute ini memberi optimisme akan kelangsungan negara ini. Paling tidak kita punya modal sejarah bahwa pasca otoritarianisme, Indonesia berhasil melepaskan itu semua dan menggantikannya dengan demokrasi. Seperti kopompong yang memetamorfose ulat represi menjadi kupu-kupu demokrasi.

Bahkan, menurut MacIntyre dan Ramage, Indonesia berhasil menghapus trauma radikalisme dan terorisme yang sempat menyeruak dan menghantui dunia internasional pasca bom Bali 2002 lalu. Karenanya, menurut kedua pengamat tersebut, sudah waktunya dunia internasional melihat Indonesia sebagai negara yang normal (start treating it as a "normal" country).

Hegemoni kekerasan
Tampaknya optimisme itu harus diletakkan dalam tanda kurung. Karena lima hari kemudian (1/6) kekerasan menyeruak justru di saat bangsa ini memperingati hari lahir Pancasila yang berlandaskan kebhinnekaan. Sebuah tindak kekerasan yang terjadi sebagai ekspresi antagonisme kelompok. Kasus ini menjadi krusial bukan saja pada kuantitas korban atau skala peristiwa, tapi lebih pada kecenderungan eskalasi kekerasan yang sangat mudah dilakukan oleh segerombolan orang atas nama apapun.

Ini bisa menjadi benih terjadinya efek domino tindak kekerasan lainnya. Karena itu, peran negara dibutuhkan untuk menetralisasi setiap kecenderungan kekerasan yang terjadi di masyarakat. Upaya menetralisasi tersebut tidak sekadar optimalisasi peran aparat keamanan. Tapi juga, dan ini sangat urgen, kehendak kolektif baik secara struktural (ketersediaan sistem) maupun kultural (kesepahaman) untuk mengawal kedamaian warga di tengah menguatnya kepentingan kelompok.

Dalam konteks itu, maka pernyataan keras Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap tindak kekerasan merupakan modal awal (political will) untuk mengeliminasi segala bentuk kekerasan. Ia memerlukan kaki untuk mengefektifkan kerja-kerja keharmonisan sosial. Karena itu, political will akan optimal dan efektif apabila didukung oleh pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai kebangsaan yang plural. Inilah yang sampai saat ini belum mencapai optimalitas, sehingga kekerasan akibat ketidaksiapan menerima perbedaan sering muncul.

Kekerasan dan segala tindak penyimpangan yang melanggar hukum publik merupakan pelecehan dan ancaman terhadap eksistensi negara yang multikultural. Bahkan secara tidak langsung Presiden SBY menyebutnya sebagai bentuk kekalahan. Pertanyaan besarnya, apakah bangsa ini, baik pada level elite maupun grassroot menyadari tentang pelecehan dan kekalahan tersebut? Pertanyaan ini penting karena secara faktual masih sering terjadi simpang jalan antara wacana dan fakta (praktik) kebangsaan. Begitu semaraknya kita menyambut 100 tahun kebangkitan nasional. Begitu antusiasnya kita merayakan hari kelahiran Pancasila. Tapi begitu rentannya soliditas antar kita. Begitu rapuhnya solidaritas antar warga. Ikatan kebangsaan hanya pada simbol, selebihnya hanya wacana.

Kesadaran elitis
Salah satu problem yang mencuat sejak reformasi bergulir adalah menguatnya kesadaran elitis dan eksklusif. Masing-masing pihak merasa berhak untuk menafsirkan kebebasannya dan mengekspresikan aspirasinya tanpa berusaha memahami eksistensi yang lain (the others). Dalam konteks ini, adu kuantitas kekuatan lebih diperhitungkan daripada kualitas. Mayoritas merasa paling berhak menentukan salah dan benar, dan minoritas harus selalu menjadi yang salah dan kalah.

Ironisnya, hal ini diperkuat oleh kecenderungan politik numerik yang lebih mengedepankan perolehan (kuantitas) suara daripada menyuarakan (kualitas) suara itu. Pernyataan lebih bermakna daripada kenyataan. Kata lebih hegemonik daripada fakta. Orang mempertaruhkan (menjual) atas nama “suara” untuk meraih dan memaksakan kepentingannya, bukan sejauhmana suara itu urgen untuk diaktualisasikan. Akibatnya pertarungan legitimasi berdasarkan kuantitas suara (das sien) lebih ekpresif daripada kualitas suara yang seharusnya diperjuangkan (das sollen).

Problem ini menjadi krusial karena ditunjang oleh politik kekuasaan yang menafikan fakta sosial. Padahal politik, mengutip sosiolog politik asal Perancis, Maurice Duverger, merupakan usaha terus-menerus untuk mengeliminasi kekerasan fisik dan mentransformasikan antagonisme sosial ke dalam budaya dialogis dan menyelesaikannya melalui kontak-kotak suara (pemilu).

Upaya ke arah tersebut tidak cukup dengan aturan main, prosedur, pembubaran, atau sekadar kecaman. Tapi pada keteladanan melalui sikap empatik dan simpatik atas kepentingan bangsa yang multikultural. Hampanya keteladanan kebangsaan khususnya di kalangan elit menggiring masyarakat memainkan logikanya sendiri dengan berusaha mengeliminer setiap yang berbeda.

Konsentrasi kekuatan-kekuatan sosial politik pada kekuasaan an sich telah menerbengkalaikan proses integrasi sosial yang masih berkubang dalam antagonisme. Integrasi tidak sekadar mengelimir separatisme dan konflik, tapi juga memperkuat solidaritas di tengah kesenjangan dan toleransi di tengah keragaman. Karena itu, selama politik mengabdi untuk kekuasaan semata, maka selama itu pula benih-benih kekerasan akan menggeliat di ranah warga dan akan menjadi duri negara. Inilah agenda normalisasi negara yang seharusnya diperjuangkan selama proses reformasi ini. Kalau ini berhasil, maka integrasi warga dan negara akan semakin terkonsolidasi dan dunia dengan sendirinya akan melihat kembali (to update its image of) Indonesia sebagai negara yang normal. Sebaliknya, kegagalan mentrasformasikan kekerasan fisik ke dalam budaya dialogis, akan mengancam integrasi sekaligus menodai demokrasi.*
http://www.korantempo.com/korantempo/2008/07/06/Ide/

No comments: