Monday, November 06, 2006

Opini

Cermin Retak Presiden Yudhoyono
Republika, Senin, 6 Nopember 2006

A. Bakir Ihsan

Istana kembali menjadi sorotan. Kali ini terkait pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R). Ada yang optimistis, ada pula yang pesimistis. Bahkan sebagian menganggapnya kontraproduktif. Seakan telah menjadi tradisi, setiap rezim memiliki logika untuk menambah atau membentuk lembaga penunjang di sekitarnya. Tampaknya di usia kekuasaannya yang genap dua tahun, Presiden Yudhoyono melihat ada kelemahan yang dapat menjadi duri bagi kinerja pemerintahannya, sehingga perlu ditutupi. Secara tidak langsung Yudhoyono menyadari bahwa pemerintahannya belum berjalanan maksimal.

Tulisan ini berusaha melihat prospek lembaga tersebut, begitu juga lembaga-lembaga negara lainnya, dalam sistem presidensial sebagai sistem yang konstitusional. Dalam sistem presidensial semua realitas sosial menjadi 'beban presiden'. Karena itu, sejatinya, presiden memiliki tanggung jawab sekaligus otoritas yang cukup besar.

Namun dalam praktiknya, sistem tersebut tersubordinasi oleh perilaku parlementaristik. Presiden dibuat 'terkekang' oleh sepak terjang politik Senayan sebagai representasi dari partai politik. Senayan adalah simbol kekuasaan yang sesungguhnya. Mereka adalah perwakilan partai politik yang menjadi pintu masuk satu-satunya untuk meraih kekuasaan. Dari jabatan bupati sampai presiden, harus seizin parpol untuk meraihnya.

Kenyataan tersebut menjadi beban tersendiri bagi langkah Yudhoyono. Kehati-hatian bahkan mungkin keragu-raguan Yudhoyono menjadi pilihan untuk 'menyenangkan' semua pihak. Dan tidak jarang keputusan harus diambil berdasarkan kepentingan elite partai, termasuk penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Konsekuensinya, loyalitas para anggota KIB bukan pada negara (presiden), tapi pada partai politik. Otomatis hal tersebut mengangkangi otoritas presidensial.

Dampak dari loyalitas kepartaian ini dirasakan betul oleh Yudhoyono. Garansi politik yang diberikan presiden takluk di bawah garansi partai politiknya. Ini tentu menjadi duri bagi langkah Yudhoyono. Tak berlebihan apabila anggota kabinet merasa punya posisi tawar dengan presiden yang mengangkatnya. Di sinilah problemnya. Satu sisi kebijakan pemerintah merupakan garansi sepenuhnya presiden, tapi di sisi lain kabinet bertindak berdasarkan kepentingan partainya. Wajar apabila dalam suatu kesempatan terbatas, Yudhoyono mengeluh karena salah satu menterinya masih menjadi kuda troya partai dan tidak seirama dalam mengambil kebijakan. Secara yuridis, fenomena tersebut merupakan sebuah bentuk pembangkangan terhadap presiden. Namun Yudhoyono, tampaknya tetap berpijak pada kalkulasi politik dalam mengambil tindakan terhadap anggota kabinetnya yang tidak loyal.

Belum lagi adanya lembaga-lembaga negara yang ditengarai sebagai negara dalam negara. Misalnya ada lembaga yang melantik dirinya sendiri dan mengabaikan presiden (Mahkamah Konstitusi), atau memperpanjang masa jabatannya tanpa bisa diganggu gugat oleh lembaga lainnya (Mahkamah Agung). Kenyataan ini tentu sedikit banyak memengaruhi kinerja maksimal dari sebuah sistem presidensial di alam reformasi. Selain persoalan mekanisme demokrasi tersebut, pemerintahan Yudhoyono juga dihadapkan pada problem sosial baik sebagai akibat kebijakan yang dibuatnya maupun warisan rezim sebelumnya.

Koreksi demokrasi
Demokrasi menawarkan kebebasan. Kebebasan untuk menentukan sikap dan kebebasan untuk membatasi sikap. Inilah dua fenomena yang mewarnai perjalanan demokrasi di negeri ini. Euforia kebebasan telah menyebabkan laju reformasi terhambat. Liberalisme pasar tampaknya betul-betul dipergunakan oleh berbagai elemen masyarakat untuk 'memasarkan' aspirasinya, sehingga terjadi involusi bahkan menjurus pada tindakan anarkhis.

Pada dasarnya demokrasi adalah lokalisasi aspirasi melalui konstitusi dan toleransi. Paling tidak prasyarat-prasyarat yang direkomendasikan bagi terwujudnya konsolidasi demokrasi, sebagaimana diajukan Juan J Linz dan Alfred Stepan, menandakan bahwa kebebasan harus dilokalisasi, sehingga tidak terjadi anarki.

Namun yang berkembang di era reformasi ini adalah sebuah paradoks. Sebagian masyarakat bernafsu memproduksi peraturan untuk melokalisasi kebebasan, sebagian lainnya berhasrat melepaskan segala aturan main karena dianggap mengekang ranah publik. Di sinilah otoritas negara dipertaruhkan: antara masyarakat yang menghendaki adanya campur tangan (intervensi) negara melalui pembuatan undang-undang, dan kelompok masyarakat yang mempertaruhkan otonomi (independensi) dirinya berhadapan dengan negara.

Cermin retak
Demokrasi bukanlah tujuan. Ia hanya jalan mencapai cita-cita negara ideal. Demokrasi mensyaratkan adanya stratifikasi dan distribusi peran. Distribusi peran ini penting ditegakkan dan ditaati agar mekanisme kenegaraan menjadi efektif dan kecenderungan koruptif di lingkungan elite dapat diminimalisasi.

Eksistensi lembaga-lembaga negara maupun sistem pemerintahan menjadi bermakna ketika berfungsi secara maksimal. Sehingga seluruh prosesi demokrasi bisa berlangsung secara fungsional dan tidak melahirkan letupan-letupan yang tidak perlu. Munculnya reaksi atas rancangan kebijakan maupun kebijakan pemerintahan membuktikan bahwa prosesi dan mekanisme demokrasi tersumbat.

Kondisi tersebut diperkeruh oleh orientasi kekuasaan yang lebih mengemuka di sebagian elite daripada mencari solusi demi kepentingan rakyat. Konsekuensinya kekuasaan menjadi ajang kritik dan perebutan wacana dan citra yang tidak bersentuhan langsung dengan substansi persoalan rakyat. Dalam jangka panjang fakta tersebut dapat mengancam konsolidasi demokrasi. Karena, sebagaimana dikatakan Adam Prezeworski (2006) bahwa konsolidasi demokrasi akan tercipta ketika semua orang bertindak menurut sistem demokrasi.

Di sini jelas bahwa kehendak untuk mengkonsolidasikan demokrasi ditentukan oleh kesediaan semua pihak untuk mengikuti prosedur demokrasi, yaitu suksesi melalui pemilu, kontrol melalui lembaga DPR, dan pengadilan melalui lembaga yudikatif. Dari sini kita bisa berharap konsolidasi demokrasi yang berpijak pada sistem presidensial secara konsisten akan mendorong kerja maksimal pemerintahan Yudhoyono. Jika tidak, maka pemerintahan akan menggali kuburnya sendiri.

Melihat kondisi sosial dan realitas politik yang masih jauh panggang dari api, sulit bagi kita untuk mendapatkan potret sempurna dari kinerja Presiden Yudhoyono. Kehendak-kehendak primordial yang melampaui altar kebangsaan, sedikit banyak memberi sumbangsih atas kinerja pemerintah selama ini. Belum lagi faktor pencitraan yang sangat memengaruhi opini publik yang menurut The Media Center, Amerika Serikat (Maret, 2006), 86 persen rakyat Indonesia lebih percaya media daripada pemerintah.

Untuk itu, negara dengan sistem presidensialnya akan tampil dalam potret sempurna apabila nafas kebangsaan mampu mengeliminasi nafsu-nafsu primordial. Kalau tidak, maka apapun usaha pemerintah saat ini, termasuk membentuk UKP3R, hanya menjadi serpihan dari cermin retak.

1 comment:

Nisa' said...

Salam,
Bapak, apa kabar?
Salut atas produktifitas menulisnya..
Btw, blognya boleh dilink ke blog saya ya, Pak? He2
Terima kasih,
Nisa'
PPI 2002