Tuesday, November 07, 2006

Opini

SBY dan Seribu Napas Korupsi
Seputar Indonesia, Selasa, 7 November 2006

A. Bakir Ihsan

ENTAH berapa banyak lagi energi yang harus terkuras di republik ini untuk mengenyahkan korupsi. Baru-baru ini (17/10), Kejaksaan Agung mengumumkan dan menayangkan wajah 14 koruptor yang dinyatakan buron.

Beberapa waktu sebelumnya tiga lembaga; Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bergandeng tangan untuk mempersempit ruang licik para koruptor. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seakan tak pernah lelah untuk ”membenci” korupsi.

Namun, usaha tersebut tak berjalin berkelindan dengan output yang dihasilkan. Korupsi yang melibatkan hampir seluruh ranah kehidupan, bergeming atas langkah jihad yang dikumandangkan SBY sejak awal kekuasaannya. Berbagai langkah antikorupsi di atas merupakan api yang bisa terus bersinar, tapi juga bisa padam ketika harus berhadapan dengan turbulensi konspirasi para koruptor yang tak sudi dijamah. Kenyataan ini telah memaksa pemerintah memutar otak untuk menjeratnya.

Komitmen pemerintah untuk tidak berkompromi dengan para koruptor tentu terkait dengan dampak destruktif korupsi yang mengancam bukan hanya dalam bentuk kerugian material, namun menodai moral (budaya) bangsa. Lebih dari itu, korupsi bisa menjelma secara terselubung dalam anggaran (kebijakan) yang dilegalkan. Pada titik ini korupsi tidak hanya terkait dengan pelanggaran terhadap aturan hukum (legal-formal), tetapi juga pada kerugian akibat kebijakan yang menyimpang.

Tiga Ranah Korupsi
Presiden SBY menyadari bahwa ketegasannya dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu menyebabkan munculnya kekhawatiran dan ketakutan di lingkungan aparatur negara untuk bertindak dan mengeluarkan kebijakan. Mereka khawatir terjebak dalam jaring-jaring korupsi. Kekhawatiran tersebut patut muncul karena korupsi telah menjadi realitas sistemis.

Bahkan tidak jarang, para pejabat terjerat dalam korupsi tanpa mereka sadari. Orang susah membedakan antara korupsi dan upeti, antara hadiah dan sogokan, antara keikhlasan dan kepura-puraaan. Korupsi telah menjadi simulakra yang menghegemoni sekaligus mencabik-cabik kesucian hati nurani tentang penyimpangan yang menyebabkan orang lain merugi. Kalau merujuk pada klasifikasi korupsi yang ditawarkan Syed Husein Alatas (1987), korupsi bisa dipilah dalam tiga bentuk.

Pertama, korupsi kelas teri; yaitu korupsi sebagai tindakan pengkhianatan terhadap kepercayaan (betrayal of trust). Korupsi pada level ini bisa terjadi pada siapa, kapan, dan di mana saja. Transformasi kultural menjadi kunci penyelesaian bagi penyakit korupsi stadium rendah ini. Namun kalau dibiarkan, penyakit ini bisa melahirkan sel-sel baru yang menyebabkan terjadinya pembusukan pada ranah struktural. Kedua, korupsi kelas menengah; yaitu penyimpangan kekuasaan (abuse of power) untuk kepentingan diri maupun kelompoknya tanpa memperoleh keuntungan material.

Lobi-lobi via telepon atau memo yang dikirim anggota DPR untuk mengegolkan kepentingan kelompoknya, walaupun tanpa pamrih, merupakan bagian dari korupsi level menengah ini. Titik tekan korupsi level ini adalah pada penyalahgunaan kekuasaan, karena kekuasaan merupakan alat paling ampuh untuk menentukan baik buruknya sebuah tatanan sosial.

Ketiga, korupsi kelas berat; yaitu penyimpangan yang dilakukan penguasa untuk meraih keuntungan material (material benefit). Perselingkuhan kuasa dan harta bisa menjerumuskan bahkan menghancurkan sebuah bangsa. Inilah korupsi kelas berat yang tidak boleh ditolerir karena efeknya lebih dahsyat dari tsunami dan bencana alam lainnya.

Kemiskinan, kelaparan, hilangnya kesempatan mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang memadai serta munculnya penyakit-penyakit sosial lainnya merupakan akibat dari penyimpangan kuasa dan harta negara. Lebih dari itu, korupsi pada level ini telah meruntuhkan martabat bangsa dan negara di mata dunia.

Kita boleh bangga atas keberhasilan merayakan demokrasi dan reformasi, tapi kita tak punya harga diri karena korupsi. Kita boleh bangga sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, tetapi kita patut malu sebagai negara terkorup. Karena dari sana, secara simplistis orang bisa menyimpulkan bahwa Islam dan demokrasi identik dengan korupsi.

Narasi Tanpa Transformasi
Tantangan terberat pemberantasan korupsi adalah belum optimalnya kebersamaan lembaga-lembaga negara untuk tidak melakukan korupsi. Bahkan, tebersit kesan bahwa pemberantasan korupsi seakan menjadi tanggung jawab Presien SBY (eksekutif) semata. Legislatif (DPR) dan yudikatif (MA) yang seharusnya menjadi pilar partner pemberantasan korupsi, tidak jarang menjadi bagian dari masalah. Inilah tantangan berat pemberantasan korupsi.

Sapu yang harus dipakai untuk membersihkan korupsi ternyata belum sepenuhnya berjalin berkelindan, sehingga kotoran korupsi belum juga hilang sepenuhnya. Paling tidak fenomena keterlibatan anggota DPR dalam tindak korupsi, termasuk percaloan dan pemerasan (extortive corruption) dan fenomena mafia peradilan, menjadi bukti bahwa antikorupsi hanya menjadi narasi yang tak pernah melahirkan transformasi.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi bukan persoalan political will semata. UU antikorupsi dan eksistensi lembaga pemberantasan korupsi baik lembaga pemerintah maupun LSM, sudah lebih dari cukup, namun korupsi jalan terus. Oleh sebab itu, perlu proses penyadaran yang intensif dan integratif tentang ancaman korupsi dan segala dampak negatifnya.

Proses penyadaran yang intensif dan kontinu ini hanya bisa dilakukan melalui proses transformasi kesadaran, yaitu edukasi antikorupsi. Edukasi antikorupsi merupakan proses penanaman nilai-nilai antikorupsi secara evolutif yang harus dilakukan secara kontinu, spesifik, dan empiris. Selama ini pendidikan moral atau akhlak masih bersifat normatif dan generatif, sehingga anak didik gagal merespons fenomena korupsi yang bersifat empiris dan spesifik.

Pendidikan moral yang bersifat normatif dan generatif hanya melahirkan anak didik yang gamang berhadapan dengan realitas penyimpangan sosial dalam berbagai bentuknya, seperti korupsi. Di sinilah pendidikan antikorupsi baik secara formal maupun informal penting diberikan pada warga bangsa mulai usia dini sampai perguruan tinggi. Tentu optimisme kita untuk mengeliminasi korupsi melalui pendidikan ini harus diletakkan dalam dua tanda kurung.

Efektivitas pendidikan antikorupsi ini bergantung pada banyak hal. Paling tidak lembaga pendidikan harus menjadi ranah paling awal yang bebas dari korupsi. Pendidikan antikorupsi tidak mungkin efektif di tengah lingkungan yang berkubang dengan korupsi dalam segala bentuknya. Merujuk pada empat pilar pendidikan yang dikeluarkan UNESCO, maka proses pendidikan antikorupsi akan efektif apabila didukung empat hal, yaitu proses internalisasi, proses aktualisasi, proses sosialisasi, dan proses menjadi.

Lembaga pendidikan tidak cukup memberi tahu (learning to know) peserta didik tentang antikorupsi, apalagi hanya bersifat normatif, tapi juga mampu mengaktualisasikannya (learning to do) dalam lingkungan (learning to live together) yang bebas korupsi. Dari sini diharapkan terbentuk (learning to be) generasi antikorupsi. Generasi yang puasa korupsi tidak hanya di bulan suci, tapi telah menjadi bagian dari integritas diri.

Dalam lingkup negara, keseriusan para pejabat baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif untuk tidak melakukan tindak korupsi menjadi sangat penting agar upaya pembelajaran antikorupsi yang dilakukan secara bottom up dapat berlangsung secara efektif. Paling tidak, negara harus mampu menciptakan dirinya sebagai lingkungan yang kondusif bagi proses eliminasi tindak korupsi. Kalau tidak, upaya pemberdayaan antikorupsi melalui cara apa pun laksana menggarami air laut. (*)

No comments: