Friday, November 24, 2006

MASA DEPAN UIN, QUO VADIS?
Sebuah Otokritik


Oleh A. Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta
Mantan Pemred Majalah “Institut”

Persepsi menentukan eksistensi. Begitu pun UIN, eksistensinya ditentukan oleh bagaimana ia dipersepsi. Dari persepsi melahirkan aksi. Semakin banyak persepsi, semakin banyak pula aksi. Dan itulah yang tampaknya sedang terjadi di UIN Jakarta. Paling tidak hal tersebut terlihat dari dinamika kehidupan di UIN yang berwarna-warni. Bagi pejabat (birokrat) kampus, UIN sedang “dipersepsikan” menjadi world class university, sebuah cita yang begitu mewah dan megah, setelah sebelumnya dipersepsi sebagai research university. Pun bagi dosen. Ada beragam cita dan asa yang tumbuh dari persepsi dosen tentang masa depan UIN. Dan ini pula yang menggerakkan perilaku para dosen dalam 'mendekonstruksi' para mahasiswanya.

Semua persepsi dan obsesi bagi dinamika UIN ke depan merupakan tanggung jawab seluruh elemen, khususnya, di lingkungan internal UIN itu sendiri. Oleh sebab itu, eksistensi UIN tidak semata ditentukan oleh urun rembuk kaum birokrat, tapi juga oleh, dan ini yang terutama, mahasiswa dan dosen. Kedua komponen ini seharusnya menjadi sentral dari gerak UIN ke depan. Hal ini terkait dengan eksistesi kampus sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang “dikendalikan” oleh mahasiswa dan ditunjang oleh kualitas dosen. Selebihnya berfungsi sebagai fasilitator bagi gerak dinamika intelektualitas dunia kampus.

Mengamati dinamika UIN yang berlangsung saat ini, upaya ke arah tersebut masih jauh panggang dari api. Mahasiswa dan dosen belum mampu melakukan akselerasi yang maksimal bagi dinamika kehidupan kampus. Bahkan mahasiswa menjadi level paling bawah yang selalu menjadi korban dari dinamika struktural kampus. Tentu banyak faktor yang menyebabkan belum maksimalnya dinamika intelektual di lingkungan UIN. Di antara faktor-faktor tersebut adalah pertama, paradigma para birokrat kampus yang terbelenggu dalam strata struktural yang kaku. Birokrasi kampus menempatkan dosen dan mahasiwa sebagai pelaksana kebijakan. Tak kurang dan tak lebih. Padahal sejatinya sebagaimana layaknya fungsi birokrasi, kaum birokrat menjadi public service bagi optimalisasi kampus sebagai pusat ilmu pengetahuan.

Kedua, paradigma para dosen yang menempatkan dirinya sebagai pelaksana kebijakan dan menganggap pengetahuan bersifat final, sehingga tidak ada terobosan (aktualisasi dan kontekstualisasi) pengetahuan yang diajarkan. Di samping itu, tidak jarang dosen meletakkan mahasiswa sebagai botol kosong yang harus dijejali wacana tanpa dialog.

Ketiga, pragmatisme mahasiswa telah menyebabkan dinamika intelektual hanya menjadi suplemen yang dipakai secara temporal sesuai kebutuhan. Intelektualitas belum menjadi bagian yang inheren sebagai identitas dan nafas diri. Hal ini berkonsekuensi pada dinamika pengetahuan yang lamban bahkan involutif.

Menempatkan dosen dan mahasiswa sebagai pusat gerak dinamika intelektualitas kampus memiliki konsekuensi yang luas. Paling tidak diperlukan rekonstruksi yang komprehensif terhadap paradigma paternalistik yang terlanjur tertanam baik dalam benak birokrat kampus maupun di kalangan dosen itu sendiri. Pun di kalangan mahasiswa.

Rekonstruksi paradigma tersebut dengan sendirinya akan merevitalisasi peran dan fungsi seluruh elemen internal kampus. Termasuk bagian dari rekonstruksi tersebut adalah pemberdayaan dan peningkatan kualitas para dosen baik melalui pelatihan maupun peningkatan kemampuan yang dapat menunjang bagi akselerasi pengetahuan sehingga dapat menumbuhkan dinamika intelektualitas di kalangan mahasiswa. Mahasiswa dan dosen seperti dua sisi mata uang yang saling terkait bagi tumbuhnya atmosfir pengetahuan.

Kalau selama ini hal tersebut belum dirasa maksimal, maka diperlukan langkah evaluatif dengan melihat kekurangan, kelebihan, peluang, dan tantangan yang dihadapi oleh dosen maupun mahasiswa. Hal ini penting dilakukan terkait dengan berbagai rancangan masa depan yang hendak dicapai oleh UIN. Proses evaluasi yang intensif terhadap kualitas dosen dapat dilakukan baik oleh sebuah tim khusus maupun dari kalangan mahasiswa. Dari sana akan diketahui sejauhmana kompetensi dan kualitas dosen dalam proses pembelajaran.

Kualitas dosen tidak bisa semata dilihat dari otuput yang dihasilkan, misalnya dari nilai yang diperoleh mahasiswa dalam suatu matakuliah. Diperlukan evaluasi dua arah secara obyektif atas proses pembelajaran yang diberikan oleh dosen terhadap para mahasiswa dan mahasiswa terhadap dosen. Evaluasi ini bisa dijadikan standar universitas untuk memberikan reward and punishment terhadap dosen.

Semua upaya bagi perbaikan UIN ke depan merupakan harapan di tengah beragam persepsi tentang UIN. Keseragaman persepsi tentang masa depan UIN penting sebagai landasan dalam menggerakkan dinamika kehidupan kampus itu sendiri. Kesamaan persepsi tidak berarti penyeragaman langkah. Visi dan misi yang sama bisa dieksplorasi dalam langkah yang beragam. Selama persepsi tentang masa depan UIN beda, maka sepanjang itu pula UIN mengalami involusi. Termasuk persepsi tentang world class university yang hendak dikembangkan ke depan. Setiap persepsi harus punya kaki untuk mengaktualisasikannya. Dan kaki ini dapat berdiri kuat apabila persepsi itu bisa dipahami. Dipahami di sini tidak hanya dalam arti intelektual, tapi juga prasyarat bagi aktualisasi persepsi tersebut.

Seluruh proses rekonstruksi paradigmatik di atas akan bermakna ketika ditopang oleh sistem budaya kerja yang sinergis. Kalau tidak, maka persepsi akan selalu berbuah involusi, obsesi hanya berbuah mimpi.*

No comments: