Friday, December 01, 2006

Opini

Menimbang Proposal Irak Yudhoyono
Koran Tempo, Kamis, 30 November 2006

A. Bakir Ihsan

Irak kembali berdarah. Tiga hari pasca tawaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Presiden George Walker Bush tentang penyelesaian Irak, 200-an orang meregang nyawa. Balas dendam pun tak terelakkan. Dua hari kemudian 80-an nyawa hilang sia-sia. Seakan mereka hendak menjawab bahwa Irak telah berubah menjadi ladang pembantaian (killing field) yang tidak bisa dibiarkan.

Tawaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bagi penyelesaian Irak (triple track solution) mengundang ragam wacana. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang setuju dengan proposal SBY ada juga yang menganggapnya sebagai upaya menghapus dosa-dosa Amerika dan sekutunya yang telah meluluhlantakkan Irak menurut kemauannya sendiri.

Terlepas dari ragam wacana tersebut, tulisan ini ingin melihat proposal Presiden Yudhoyono sebagai perwujudan dari komitmen kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh konstitusi. Bahwa nilai-nilai kemanusiaan tak boleh terluka, apalagi hancur, oleh alasan apapun. Karena itu mubazir rasanya apabila wacana yang berkembang lebih diarahkan pada untung rugi dari proposal tersebut. Dalam konteks penegakan perdamaian dan kemanusiaan segala upaya untuk itu jauh lebih bermakna daripada tidak berbuat sama sekali. Apalagi hanya mengumbar wacana yang justru mengaburkan substansi tegaknya perdamaian di muka bumi.

Tawaran Presiden Yudhoyono sesungguhnya bukan pada Amerika, tapi pada Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertanggung jawab atas eksistensi dan kedamaian sebuah negara, yaitu Irak. Kalau Irak dibiarkan menjadi ladang pembantaian sesama warga negara, maka tidak mustahil Irak sebagai sebuah negara bangsa akan terhapus dari catatan sejarah. Negara Irak bisa pecah terkapling berdasarkan kelompok-kelompok yang bertikai. Kalau ini terjadi, maka semakin kuat tesis bahwa sebuah negara bangsa berdiri bukan atas dasar kontrak sosial sebagaimana dikhutbahkan kaum fungsionalis. Negara tidak pula berdiri atas dasar kehendak Tuhan sebagaimana difirmankan kaum teolog. Tapi negara berdiri berdasarkan imajinasi yang rapuh dan penuh ancaman perpecahan. Dan imajinasi tidak bisa dipertahankan melalui senjata atau represi politik, karena ia merupakan realitas yang metaempirik. Senjata memiliki limit waktu, politik terkekang oleh ruang, sementara imajinasi melampauinya. Oleh sebab itu, imajinasi hanya bisa dipertahankan melalui pemberdayaan kesadaran tentang pentingnya negara bangsa (nation-state). Dan inilah yang kini hilang di bumi Irak.

Tawaran penyelesaian terhadap Irak secara tidak langsung membuktikan bahwa untuk kesekian kalinya cara-cara kekerasan (senjata) yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Justru ia memicu munculnya sel-sel kekerasan baru yang tak terperikan dan lebih menyakitkan. Kenyataan ini seharusnya menjadi ibrah (pelajaran) bagi Amerika dan sekutunya untuk tidak menggunakan kekerasan demi kepentingannya yang sering dibungkus atas nama hak asasi manusia, demokrasi, dan sejenisnya. Begitupun terhadap terorisme yang telah berhasil dilekatkan pada Islam. Kekerasan terhadap terorisme justru akan menyuburkan sel-sel baru terorisme yang tidak hanya terbatas pada teritori negara dan budaya tertentu, tapi pada siapapun yang merasa terancam. Dan akibatnya jauh lebih mahal dari uang yang harus dikeluarkan untuk perang. Terlalu banyak korban yang berjatuhan akibat senjata.

Makna solidaritas
Tawaran Presiden Yudhoyono dalam penyelesaian Irak yang meliputi tiga hal sejatinya bukan hal baru. Bahkan ia merupakan solusi umum dalam proses penyelesaian konflik yang melibatkan senjata antar warga bangsa. Namun konsep solutif tersebut seakan menjadi usang karena cenderung hanya dijadikan wacana tanpa makna. Negara sebesar Amerika yang memiliki sumberdaya dan sumber dana yang besar sudah sadar dan paham akan proses penyelesaian sebuah konflik. Namun konsep tersebut harus berhadapan dengan beragam kepentingan baik politik, ekonomi, dan sosial budaya termasuk arogansi Amerika sebagai negara adidaya yang tak beradab.

Sejak awal invasi Amerika dan sekutunya mendapat banyak resistensi. Namun dengan segala kesombongannya, Amerika menistakan resistensi dan menegasikan yang lain (the others). Di sini penegasian dan penistaan telah menyebabkan Amerika terjerembab dalam kenistaan yang tak kalah hinanya. Negara sedigdaya Amerika takluk di bawah konflik yang sulit diselesaikan di bumi Irak yang telah diembargonya. Bagaimana ia harus menawarkan solusi-solusi terhadap dunia internasional, sementara dirinya tidak mampu menyelesaikan negara sebesar Irak yang telah diembargo sekian lama kemudian dibombardir dengan senjata.

Ini membuktikan bahwa kedigdayaan tunggal (monopoli) tak akan banyak memberi makna, tanpa dibarengi kebersamaan (solidaritas). Inilah salah satu poin penting dari tawaran Presiden SBY tentang rekonstruksi Irak yang tidak bisa diselesaikan oleh satu atau dua negara, namun oleh dunia internasional yang peduli akan nasib kemanusiaan.

Kalau melihat tiga agenda penyelesaian Irak yang ditawarkan Presiden Yudhoyono terlihat bahwa keadaban dunia ditentukan oleh kebersamaan, bukan oleh kekuatan senjata. Itulah sebabnya dalam triple track solution bagi penyelesaian Irak lebih ditekankan pada kebersamaan baik dalam konteks internasional maupun nasional (lokal).

Pertama, perlunya rekonsiliasi nasional seluruh pihak yang bertikai dengan memberdayakan pemerintahan baru yang telah terbentuk, sehingga pemerintah mampu menyelesaikan sendiri permasalahannya.

Kedua, pengerahan pasukan internasional seiring dengan penarikan tentara Amerika dan sekutunya dari Irak untuk menciptakan stabilitas keamanan. Pasukan internasional ini melibatkan negara-negara yang steril dari pemihakan terhadap serbuan Amerika dan sekutunya terhadap Irak. Sebagaimana diketahui ada beberapa negara yang mendukung baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap invasi Amerika terhadap Irak. Kalau perlu dalam pasukan internasional ini dilibatkan negara-negara yang dianggap punya pengaruh terhadap dinamika kehidupan masyarakat Irak, seperti Iran sebagai basis syiah dan Yordania sebagai negara yang dianggap memiliki pengaruh terhadap kelompok sunni. Paling tidak keterlibatan kedua negara tersebut dapat mencarikan titik temu penyelesaian secara damai.

Ketiga, rekonstruksi dan rehabilitas pasca konflik. Pasukan internasional di samping berfungsi menjaga keamanan, juga mempercepat proses rekonstruksi dan rehabilitas terhadap korban-korban akibat konflik. Hal ini sebagaimana dilakukan terhadap negara-negara yang dilanda konflik, seperti di Bosnia, Checnya, dan Lebanon.

Responsi PBB dan Irak
Tawaran ini tentu akan efektif apabila mendapat respon dari PBB dan masyarakat Irak sendiri. Karena bagaimana pun, kehadiran pasukan internasional harus mendapat rekomendasi dari PBB sebagai mekanisme yang harus ditaati bersama. Inilah yang tidak ditaati Amerika dalam menginvasi Irak sehingga melahirkan dampak yang tidak diinginkan. Begitu pun respon rakyat Irak diperlukan, karena bisa jadi mereka sudah tidak percaya lagi terhadap PBB yang dianggap gagal membendung nafsu Amerika dan sekutunya untuk menyerang Irak.

Dalam kompleksitas persoalan dan upaya penyelesaian Irak, memang sulit untuk menemukan celah penyelesaian secara cepat. Namun daripada tidak bergerak sama sekali, maka langkah terbaik dari yang terjelek harus diambil, termasuk terus mewacanakan penghentian Irak menjadi ladang pembantaian sesama warga bangsa. Kalau tidak, bisa jadi Irak betul-betul dalam ancaman kepunahan sejarahnya akibat perang saudara. Dan kalau ini terjadi sungguh sangat disayangkan. Sebuah negara yang sempat menjadi pusat peradaban dunia harus hancur akibat hancurnya keadaban dunia yang dimotori oleh Amerika dan sekutunya.

Di sinilah urgensi triple track solution yang ditawarkan Presiden Yudhoyono. Kini tinggal bagaimana proposal tersebut terus diperjuangkan di berbagai kesempatan (forum) demi tegaknya perdamaian di bumi Irak khususnya, dan seluruh belahan bumi lainnya, tak terkecuali di sini dan kini.*

No comments: