Thursday, October 04, 2007



Opini

Aroma Hambar Politik Kekuasaan
Seputar Indonesia
, Kamis, 4 Oktober 2007

A. Bakir Ihsan

Sejak Megawati Soekarnoputri menerima pencalonan dirinya sebagai calon presiden 2009 oleh PDIP, wacana calon presiden terus bergulir. Tak lama setelah Megawati menyatakan siap, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga menyatakan siap (Antara,18/9) dan Partai Golkar sudah dipastikan memunculkan Jusuf Kalla (JK) dengan dihapuskannya mekanisme konvensi. 1 Oktober kemarin, Sutiyoso mendeklarasikan dirinya siap menjadi presiden 2009. Pada titik ini sudah muncul empat calon yang akan bertarung pada pilpres 2009. Belum termasuk nama-nama lain yang belum secara resmi dideklarasikan, seperti Wiranto, Sultan Hamengkubuwono, maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri.

Namun dari sekian nama itu, baru Megawati yang betul-betul dipastikan maju sebagai calon presiden pada 2009 dengan kendaraan partai yang jelas. Ini berbeda dengan calon lainnya yang masih menyisakan persyaratan. Misalnya Gus Dur. Ia akan maju kalau diperintahkan oleh lima kiai sepuh. Begitu pun JK, belum secara eksplisit mau maju sendiri atau tetap berduet dengan SBY. Sementara Sutiyoso masih menunggu lamaran partai.

Deklarasi pencalonan presiden di tengah kepemimpinan negeri ini masih berjalan dan bekerja, memunculkan dua makna. Pertama, urgensi suksesi. Deklarasi calon presiden jauh sebelum Pilpres dilangsungkan menandakan perlunya pergantian (suksesi) kekuasaan saat ini. Apapun yang terjadi presiden yang ada sekarang harus diganti.

Kedua, delegitimasi kekuasaan. Pencalonan Megawati maupun deklarasi Sutiyoso menyiratkan bahwa kekuasaan yang dipegang SBY-JK dianggap gagal. Sekaligus hal ini merupakan proses delegitimasi atas kekuasaan yang ada.

Bagi Sutiyoso mungkin dirasa perlu mendeklarasikan diri sedini mungkin karena belum ada partai yang secara eksplisit mendukungnya. Namun bagi Megawati yang jelas-jelas menahkodai partai besar, deklarasi dini bisa membawa konsekuensi-konsekuensi tersendiri.

Konsekuensi kalkulasi
Pernyataan kesiapan Megawati menjadi calon presiden terkesan terlalu cepat. Ia seperti hujan di tengah musim kemarau. Masa kepemimpinan SBY-JK masih tersisa panjang, sehingga segala kemungkinan terkait kalkulasi dan konstelasi politik bisa terus berubah. SBY-JK masih punya peluang yang sangat luas untuk menguatkan kinerjanya. Dengan demikian kritik-kritik yang dilontarkan Megawati (PDIP) selama ini bisa terjawab sekaligus terbantahkan.

Di sinilah fleksibelitas politik. Ia bisa bergerak cepat melalui akselerasi strategi yang keluar dari mainstream logika liner. Kenyataan ini sekaligus meruntuhkan tesis para pengamat yang menganggap efektivitas kerja SBY-JK hanya tiga tahun pertama. Dua tahun terakhir akan terkuras oleh persoalan-persoalan politik. Tampaknya momentum inilah yang digunakan PDIP untuk untuk segera memunculkan calon presidennya secara definitif, tanpa melihat konstelasi politik yang ada dan terus bergerak.

Pencalonan dini PDIP atas Megawati ini melahirkan beberapa konsekuensi dan persepsi. Pertama, pencalonan ini akan mempersempit ruang gerak politik Megawati. Seluruh aktivitas Megawati akan selalu dikaitkan dengan kepentingan meraih kekuasaan. Ini berbeda dengan ketika Megawati sebagai ketua umum partai atau sebagai mantan presiden. Ia bisa hadir dan melakukan interaksi dalam berbagai level tanpa sekat kepentingan. Namun dengan target menjadi presiden, dengan sendirinya ia akan terseleksi dalam berinteraksi. Apapun agendanya, pemaknaan kepentingan politik akan mudah berkobar dalam setiap interaksi PDIP baik dengan partai lain maupun dengan komponen sosial lainnya. Sekali lagi, semua ini terjadi karena PDIP telah menggerek bendera kontestasi.

Kedua, desakan pengurus PDIP tentang kesediaan Megawati dicalonkan sebagai presiden mencerminkan keraguan atas ketokohan Megawati. Sejatinya para kader PDIP, dengan tingkat “eksklusivitas” posisi Megawati, mengerti tanpa harus meminta pernyataan verbal. Dan ketokohan Megawati melampaui eksistensi PDIP. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian kader PDIP, karena berdasarkan hasil survei (Lembaga Survei Indonesia, 2006) masyarakat tidak memiliki banyak kedekatan dan ikatan emosional dengan partai. Hanya 26% masyarakat yang menyatakan punya kedekatan dan keterikatan dengan partai. Selebihnya mereka lebih tertarik pada tokoh, termasuk Megawati, daripada partainya.

Ketiga, pencalonan Megawati sebagai orang nomor satu (presiden) dengan sendirinya hanya membuka ruang koalisi bagi partai yang siap menjadi wakilnya. Karenanya tidak mungkin PDIP berkoalisi dengan Golkar maupun partai besar lainnya yang memiliki kemungkinan mencalonkan kadernya untuk calon presiden.

Bisa jadi pernyataan kesediaan Megawati dapat menepis munculnya calon alternatif dari dalam PDIP, di samping dapat memperkuat konsolidasi internal PDIP. Namun yang tidak bisa diabaikan, desakan pernyataan kesediaan tersebut bisa menjadi duri yang membusukkan politik Megawati dari dalam. Kalau Megawati gagal pada Pilpres 2009, karena kesalahan kalkulasi politik para kadernya, maka selesailah karir politik Megawati.

Sebagai partai besar dengan tingkat “kharismatis” (eksklusivitas?) ketua umumnya, PDIP sebenarnya bisa “mengulur waktu” untuk mengumumkan capresnya di 2009 nanti. Toh Megawati bisa kapan saja menyatakan siap, dan tidak mungkin ada kader PDIP yang ujug-ujug mengajukan diri sebagai calon presiden tanpa izin dari Megawati. Posisi sentral Megawati tak mungkin diambil alih oleh kader lainnya, kecuali atas restu Megawati. Mereka yang tak setuju (mbalelo) hanya punya satu pilihan; keluar dari PDIP.

Pembelajaran Politik
Secara politik, fenomena pencalonan dini Megawati sah-sah saja. Namun sebagai proses pembelajaran politik hal tersebut bisa diperdebatkan. Karena, disamping, dapat mendistorsi pengetahuan masyarakat tentang periode (regularitas) kekuasaan, juga dapat menghambat laju program yang sedang dijalankan oleh rezim terpilih.

Proses pemberdayaan politik masyarakat berjalin berkelindan dengan perkembangan politik kekuasaan. Bahwa setiap rezim memiliki waktu lima tahun untuk menuntaskan program-programnya. Dukungan terhadap rezim yang menang menjadi penting agar seluruh proses kehidupan bernegara lancar dan sukses. Namun langkah ini belum terlihat. Bahkan jauh hari, masing-masing elite mempersiapkan dirinya untuk tampil sebagai pengganti. Puncaknya adalah pencalonan sebagai orang nomor satu di republik ini.

Aroma peralihan kekuasaan sebelum waktunya (lima tahun) sedikit banyak akan menguras dan mengalihkan energi yang sejatinya bisa dipergunakan untuk membangun kehidupan masyarakat. Dengan pencalonan Megawati tersebut, PDIP akan dipaksa untuk mendorong penguatan image dan pencitraan Megawati daripada penguatan dan pemberdayaan masyarakat bawah (wong cilik) yang selama ini sering diklaim sebagai basis PDIP.

Fatsun politik
Aroma kekuasaan di negeri ini tak pernah mati. Kemenangan SBY-JK pada pemilu 2004 lalu tetap menyisakan persaingan politik yang dapat mengancam jalannya roda pemerintahan. Itulah sebabnya, walaupun sistem pemerintahan kita menganut sistem presidensial, namun SBY melihat peluang kontrol parlemen (partai) dalam menjalankan roda kekuasaannya sangat kuat. Atas dasar itu, bagi-bagi kekuasaan pada partai menjadi tak terelakkan.

Langkah SBY tersebut tetap saja menyisakan gonjang-ganjing politik. Paling tidak dari beberapa manuver parlemen terhadap kebijakan dan eksistensi SBY memperlihatkan bahwa aroma kekuasaan begitu kental. Tarik menarik otoritas antara lembaga negara yang sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang menunjukkan superioritas kepentingan politik.

Kondisi tersebut apabila dibiarkan akan merusak fatsun politik yang sedang kita bangun bagi tegaknya demokrasi yang konsolidatif. Salah satu upaya tersebut adalah menguatkan pranata demokrasi agar berjalan secara maksimal sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang ada. Masing-masing punya fungsi dengan agenda yang dijalankan secara transparan untuk kepentingan rakyat. Termasuk mewacanakan pergantian kepemimpinan nasional ketika waktunya tiba. Kalau tidak, aroma politik kekuasaan akan selalu terasa hambar akibat ulah kita yang tak sabar mengawal kontestasi kekuasaan secara reguler.*

No comments: