Wednesday, September 19, 2007




Opini

Tafsir Politik atas Kritik Kekuasaan
Koran Tempo, Rabu, 19 September 2007

A. Bakir Ihsan

Langgam politik kekuasaan kembali memuai. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menabuh gendang kontestasi dengan menampilkan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden 2009. Walaupun momentum pemilihan presiden masih dua tahun lagi, deklarasi tersebut sedikit-banyak memicu akselerasi politik yang lebih kencang. Masing-masing kelompok mengambil ancang-ancang menghadapi pemilihan presiden mendatang. Walaupun Partai Golkar akan menentukan calon presiden enam bulan menjelang pemilihan presiden, reaksi tersebut mencerminkan efek domino dari deklarasi PDIP. Begitu juga reaksi partai lainnya tentang calon yang akan dimunculkan.

Konsekuensi logis dari pencalonan tersebut adalah pengambilan jarak yang jelas dan tegas dengan kekuasaan saat ini. Hal ini terekspresikan melalui pernyataan kritis atas kinerja pemerintah. Inilah yang dilakukan Megawati melalui kritiknya yang tak pernah lekang terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Setelah menyebut Presiden Yudhoyono hanya tebar pesona, kini Megawati mengkritik kinerja Presiden hanya sampai di kaki bukit. Terlepas dari kepentingan politik di balik kritik dan pencalonan Megawati tersebut, ada sisi yang menarik dianalisis terkait dengan cara Presiden Yudhoyono merespons kritik Megawati.

Walaupun Presiden menyatakan tidak tertarik menanggapi kritik Megawati, secara tidak langsung Yudhoyono memberi respons dengan ragam makna. Paling tidak ada empat makna yang bisa dipahami dari ekspresi Presiden Yudhoyono dalam merespons kritik Megawati.

Pertama, kritik involutif. Kritik yang disampaikan Megawati hanya pengulangan kritik sebelumnya, tanpa ada tawaran solutif yang menjanjikan bagi masyarakat. Masalah kemiskinan dan pengangguran adalah agenda klasik yang mengalir dari satu rezim ke rezim berikutnya, termasuk pada rezim Megawati. Tak mengherankan apabila respons masyarakat terhadap kritik Megawati bagai angin lalu dan Yudhoyono merasa tidak perlu merespons balik kritik tersebut.

Kedua, kritik tanpa bobot. Sebagai partai oposisi, sejatinya Megawati bisa membongkar kinerja Yudhoyono melalui pembuktian data dan kinerja yang ditunjukkan oleh PDIP itu sendiri. Ketiadaan bobot ini menyebabkan kritik Megawati hampa makna. Bahkan terkesan hanya permainan kata. Wajar apabila Presiden menganggap kritik Megawati seperti sebuah lagu.

Ketiga, kritik kekuasaan yang sah dan kuat. Eksistensi Yudhoyono-Jusuf Kalla saat ini secara politik sangat kuat. Di samping merupakan pilihan langsung rakyat, didukung oleh partai-partai besar di Senayan: Partai Golkar, Demokrat, dan partai-partai pendukung lainnya. Kenyataan ini memberikan rasa percaya diri kepada Yudhoyono untuk tidak terlalu risau atas kritik Megawati.

Keempat, politisasi isu. Yudhoyono menganggap kritik Megawati lebih bermuatan politik kekuasaan, sehingga bila kritik tersebut direspons, akan memancing suasana politik yang menguntungkan Megawati. Ini tergambar kuat dari pernyataan Presiden bahwa jika dirinya merespons kritik Megawati, "nanti dikira sudah pemilu".

Makna kritik
Banyak makna yang bisa dipahami dari sebuah kritik. Kritik dapat menjadi amunisi pertahanan eksistensi, baik dalam konteks kekuasaan maupun ideologi. Kemampuan menyerap dan mengolah kritik dapat menjadikannya vitamin yang memperkukuh eksistensi yang dikritik.

Fungsi kritik ini akan terasa ketika kekuasaan tidak menempatkan dirinya sebagai realitas yang final, maksimal, dan paling benar. Kekuasaan harus diletakkan secara fleksibel, dialogis, serta membuka seluas-luasnya panggung kritik dan protes. Kekuasaan yang demikian telah terbukti berhasil melanggengkan otoritasnya. Hancurnya otoritarianisme lebih disebabkan oleh finalisasi dan eksklusivisme kekuasaan. Sebaliknya, merekahnya demokrasi karena berhasil menempatkan diri sebagai muara dialogis di antara kehendak kekuasaan. Itulah sebabnya, demokrasi tidak serta-merta terkonsolidasi, tapi melalui tahap transisi sebagai bukti adanya proses bagi penguatan demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, kritik menjadi sebuah keniscayaan, bahkan keharusan, bagi kepentingan eksistensi kekuasaan yang demokratis.

Mungkin makna konstruktif sebuah kritik sudah disadari oleh Yudhoyono. Tapi sejauh mana kritik tersebut menjadi amunisi bagi penguatan eksistensi dirinya akan terlihat dari sejauh mana program kerja yang dicanangkan dan diimplementasikan Yudhoyono betul-betul menjawab kritik tersebut.

Walaupun Presiden tidak menjawab langsung kritik Megawati, ekspresi kebijakannya terlihat mengarah pada hal tersebut. Paling tidak dari program yang menjadi titik tekan dalam dua tahun mendatang, masalah kemiskinan menjadi perhatian yang lebih dibanding aspek-aspek lainnya. Bahkan secara verbal, term kemiskinan lebih banyak diucapkan dibanding term lainnya sebagaimana tertuang dalam pidato kenegaraan dan keterangan pemerintah atas rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun anggaran 2007 beserta nota keuangannya di depan rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat RI (16 Agustus).

Ajang untuk rakyat
Mendekati 2009, kritik dan berbagai manuver politik sulit dihindari. Hal ini terjadi karena masing-masing berpikir tentang kekuasaan yang harus direbut, bukan pada persoalan rakyat yang harus dijawab. Rakyat hanya menjadi suplemen pemanis kritik tanpa langkah konkret yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat.

Kenyataan ini sebenarnya menjadi celah yang bisa ditutupi Presiden melalui maksimalisasi kinerja pemerintahnya dengan menjawab kebutuhan rakyat. Tentu tidak mudah melakukannya, karena di samping kompleksitas persoalan rakyat, masalah bencana datang tak terduga. Konsentrasi Yudhoyono harus terpecah untuk menyeimbangkan jawaban persoalan laten warga negara, seperti kemiskinan, kesehatan, dan pengangguran, dengan persoalan yang muncul mendadak, seperti bencana longsor, gempa, banjir, serta berbagai kecelakaan yang menuntut perhatian lebih.

Karena itu, peluang untuk terlibat dalam kontestasi di pesta demokrasi selalu terbuka lebar bagi seluruh anak negeri. Inilah momentum pertarungan untuk rakyat. Dengan demikian, rakyat tidak alergi dan apatis atas arus politik kekuasaan, khususnya yang diekspresikan oleh partai politik. Apatisme rakyat atas dinamika politik akibat kerja-kerja politik yang sering bergelayut di langit mimpi daripada membumi di ladang rakyat.

Kini rakyat menanti siapa di antara anak bangsa yang paling berbakti untuk negeri ini melalui bukti-bukti, bukan janji. Para tokoh dan elite politik sebenarnya memiliki modal untuk meraih simpati rakyat. Paling tidak nama-nama mereka masih terekam dalam memori rakyat walau dalam ragam imajinasi. Tinggal apakah modal tersebut betul-betul diinvestasikan untuk rakyat atau kepentingan kekuasaan diri sesaat. Pada 2009 rakyat akan menjawab.*

No comments: