Tuesday, September 11, 2007


Opini

SBY di “Kaki Bukit”?
Seputar Indonesia
, Selasa, 11 September 2007

A. Bakir Ihsan

Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II dan Rapat Kordinasi Nasional (Rakornas) PDIP (8-10/9), Megawati Soekarnoputri menilai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono masih sampai di kaki bukit dibandingkan janjinya yang setinggi langit. Bahkan Megawati menganggap pemerintahan hasil pemilu 2004 ini masih berjalan di tempat (going nowhere).

Kritik Megawati berpijak pada asumsi bahwa angka kemiskinan dan pengangguran selama tiga tahun kepemimpinan SBY belum juga turun. Walaupun Anggaran Pendapatan dan Pengeluaran Negara (APBN) terus meningkat, namun tidak mengubah nasib kesejahteraan warga. Bahkan secara prediktif, Megawati bertaruh bahwa dalam sisa masa pemerintahan SBY tidak akan mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Upaya SBY hanya sampai di kaki bukit!.

Kritik Megawati terhadap kinerja kepemimpinan SBY bukan kali ini saja. Pada HUT 34 PDIP beberapa waktu lalu, Megawati Soekarnoputri mencitrakan SBY sebagai sosok yang hanya tebar pesona. Kerja-kerja SBY, menurut Megawati, lebih sebagai upaya penguatan citra dirinya daripada membumikan ekspektasi warganya. Hal ini diperkuat hasil survei (Lembaga Survei Indonesia/LSI) yang menempatkan SBY di atas rata-rata tokoh lainnya, termasuk Megawati sendiri.

Problem Kemiskinan
Masalah kemiskinan merupakan agenda yang tak pernah habis diwacanakan. Apalagi di negeri yang bergulat dalam kemiskinan dan pengangguran seperti Indonesia ini. Para pakar telah mencurahkan perhatiannya melalui tumpukan teori dan analisa untuk menghapus kemiskinan. Namun sepanjang itu pula, kemiskinan hadir di mana-mana. Karenanya, persoalan kemiskinan tidak bisa dilihat secara teoretis semata, apalagi sekadar retoris, tapi lebih pada langkah dan upaya yang dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat melalui pembuktian korelatif antara komitmen, upaya, dan capaian dalam menyelesaikan masalah tesebut.

Salah satu barometer untuk melihat tingkat kemiskinan adalah angka statistikal secara nasional. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli lalu menunjukkan bahwa angka kemiskinan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Walaupun pada 2006 lalu terjadi lonjakan angka kemiskinan akibat kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) di atas 100%, namun pada 2007 terjadi kecenderungan penurunan. Paling tidak sampai Juli 2007, jumlah penduduk miskin berkisar 37 juta dari tahun sebelumnya yang berkisar 39 juta (BPS, 2007). Bahkan dibandingkan dengan masa kepemimpinan Megawati, khususnya pada periode 2001-2003, penurunan tersebut lebih rendah.

Tingkat penurunan jumlah penduduk miskin tersebut belum fundamental, sehingga pengamatan secara parsial tidak akan berhasil melihat tingkat penurunan tersebut secara konkret. Wajar apabila sebagian pengamat, termasuk Megawati, menganggap kemiskinan masih berjalan di tempat.

Bahwa kemiskinan masih ada dan belum terhapus merupakan hal yang tak bisa dibantah. Namun sejauhmana komitmen pemerintah untuk menekan jumlah kemiskinan tersebut menjadi penting diperhatikan. Dalam pidato kenegaraan dan keterangan pemerintah atas RAPBN tahun anggaran 2007 beserta nota keuangannya di depan rapat paripurna DPR RI (16/8) Presiden SBY banyak menyoroti masalah pertumbuhan, lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang lebih banyak menyoroti masalah korupsi.

Korupsi dan kemiskinan sebenarnya merupakan senyawa yang saling mempengaruhi. Korupsi yang akut telah menyebabkan kemiskinan tak bisa bergerak. Secara logika, pemberantasan korupsi yang terus berjalan akan menyebabkan kemiskinan akan berkurang. Paling tidak pemborosan uang negara bisa ditekan sedemikian rupa untuk bisa dialihkan peruntukannya bagi kaum miskin. Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai program. Seperti Subsidi Bantuan Tunai kepada 19,2 juta rumah tangga miskin, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pendidikan dasar 9 tahun kepada 29,4 juta murid setara SD, dan 10,5 juta murid setara SMP dan beasiswa untuk 698 ribu lebih murid setara SMA. Dalam hal kesehatan pada Agustus ini pemerintah kembali menurunkan harga 1418 jenis obat generik antara 60-80 persen.

Angka-angka tersebut tentu masih jauh dari harapan. Namun pergerakan angka ke level yang lebih baik merupakan isyarat perbaikan yang perlu terus didorong dan disikapi bersama. Tanpa kebersamaan, apalagi hanya mencari celah kegagalan untuk kepentingan politis, justru akan memperparah keadaan.

Permainan Kata
Eleanor Roosevelt, diplomat dan reformis Amerika (1884-1962) menyatakan bahwa masa depan adalah milik mereka yang punya mimpi (the future belongs to those who believe in the beauty of their dreams.) Mimpi, begitu juga janji, adalah dunia abstrak yang penuh daya tarik dan imajinasi yang menstimulasi untuk direalisasi. Selama ada mimpi, maka selama itu pula kita akan tergerak untuk mewujudkannya. Karenanya janji maupun mimpi bukanlah sesuatu yang harus dinafikan, bahkan perlu ditumbuhkan untuk membangkitkan harapan meraih masa depan. Lebih dari itu, ia bisa menjadi ajang evaluasi atas tingkat capaian yang telah dilalui.

Kalau Megawati melihat kinerja SBY selama tiga tahun ini baru mencapai kaki bukit berarti ia memiliki obsesi dan mimpi yang sama tentang bangsa ini. Obsesi dan mimpi ini sejatinya bisa diejawantahkan melalui beragam media dan cara untuk mencapainya. Pertanyaannya apakah obsesi tersebut sudah mendorong Megawati untuk bekerja menjawab kemiskinan yang menyelimuti warga negara ini? Pertanyaan ini bisa diajukan pada siapa saja yang punya mimpi tentang negeri ini. Termasuk pada para elite politik yang gelisah menatap nasib warganya yang bergulat dalam kemiskinan. Sejauhmana para elite politik peduli pada mereka dengan memaksimalkan kinerjanya dan menyisihkan ambisi pribadinya di bawah kepentingan bangsa?

Pertanyaan ini penting untuk melihat sinergitas harapan dan mimpi di antara kita sebagai anak bangsa, khususnya dalam menjawab problem kemiskinan ini. Kita justru khawatir masing-masing kita bermimpi dan berjalan sendiri-sendiri, sehingga tarik menarik kepentingan lebih mengemuka daripada mengembangkan persamaan mencapai harapan bersama.

Sinergitas harapan dan mimpi di antara anak bangsa akan menafikan pembebanan penyelesaian pada pihak-pihak tertentu. Bahwa pemberantasan kemiskinan, pengurangan pengangguran bukan hanya monopoli sebuah rezim, tapi tugas kita semua yang telah memilih rezim di republik ini. Kegagalan sebuah rezim adalah kegagalan kita semua sebagai sebuah bangsa. Tanpa kita apalah arti sebuah rezim.

Kita perlu berjanji dan bermimpi setinggi langit agar kita terdorong untuk berbuat. Kalau tidak, kita tak akan pernah tahu apakah kerja kita sampai di kaki bukit atau masih di lembah yang curam. Kalaupun kinerja pemerintahan SBY baru sampai di kaki bukit, mari kita bersama bergerak untuk mencapai puncak bukit dengan kerja nyata. Kalau tidak, kita hanya bergulat dalam kata tanpa makna.*

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/sby-di-kaki-bukit-2.html

No comments: