Thursday, August 23, 2007


Opini

Upaya Memuseumkan Kemiskinan
Media Indonesia
, Kamis, 23 Agustus 2007

A. Bakir Ihsan

Dalam beberapa pertemuan, kacang dan pisang rebus menjadi menu hidangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tetamunya. Ditambah secangkir teh hangat merupakan suguhan sederhana sebagaimana masyarakat umumnya. Kesan sederhana muncul bila diukur dengan posisi SBY sebagai orang nomor satu di Republik ini. Dengan gaji puluhan juta, presiden bisa melakukan lebih dari itu sebagaimana para pejabat dan elite politik lainnya.

Bagi sebagian orang simbol hidangan di atas bisa dianggap suatu yang lumrah atau sekadar upaya pencitraan agar terkesan sederhana. Namun bila dilihat dari komunikasi politik, menu hidangan tersebut bisa menjadi contoh efektif tentang hidup sederhana yang harus diperlihatkan para elite yang cenderung boros dan selalu mencari celah untuk menaikkan anggarannya. Bahwa para elite harus bisa menyesuaikan diri dengan rakyat kebanyakan yang berkubang dalam kemiskinan.

Tidak itu saja, dari sikap sederhana ini SBY berhasil menghemat anggarannya Rp100 miliar lebih selama 2004-2006 yang kemudian dikembalikan ke kas negara. Langkah ini bisa dimaknai sebagai bentuk keprihatinan atas nasib warganya yang masih jauh dari sejahtera. Dengan sikap itu pula, relevan kiranya bila SBY belakangan ini banyak bicara tentang upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan sebagai agenda yang harus dituntaskan dalam paruh kedua kepemimpinannya.

Melawan kemiskinan
Dalam pidato kenegaraan (16/8) di depan Rapat Paripurna DPR RI, Presiden SBY menjadikan percepatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran sebagai tema pembangunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2008. Percepatan pertumbuhan ekonomi bukan tujuan, tapi media untuk mencapai kesejahteraan dan menghapus kemiskinan. Langkah ini sebenarnya bukan hal baru dalam konteks visi SBY. Setahun yang lalu Presiden juga menyampaikan hal yang sama. Namun dalam pidato kali ini, masalah kemiskinan mendapat porsi yang lebih padat dibandingkan bidang lainnya. Paling tidak, secara verbal term kemiskinan disebut paling banyak setelah term pembangunan, yaitu 21 kali dalam pidato 1 jam 4 menit tersebut.

Beberapa waktu sebelumnya, Presiden SBY banyak mengulas tentang sistem perekonomian yang dikembangkan Indonesia saat ini. Menurutnya ekonomi Indonesia bersifat terbuka dan berkeadilan sosial. Pernyataan tersebut sekaligus mempertegas sikap presiden terhadap sistem ekonomi kapitalisme yang menurutnya gagal menjamin kemakmuran bagi rakyat. Dalam bahasa Joseph A. Schumpeter (1950), kapitalisme cenderung menghasilkan kelas elite yang menentang kekuatan yang mengantarkan mereka menjadi elite. Lalu apa yang hendak dikembangkan SBY untuk negeri ini?

Pertanyaan ini penting, karena kritik presiden terhadap kapitalisme yang dianggapnya gagal memberi kesejahteraan, beriring sejalan dengan ekonomi negara yang sampai saat ini belum mampu menyejahterakan rakyatnya secara sempurna. Di sisi lain, kapitalisme menjadi ruh dunia global yang sulit dihindari. Bahkan kapitalisme berhasil merobek batas ideologis sebuah negara.

Kritik dan paradigma ekonomi versi SBY di atas tentu merupakan konsepsi ideal (abstrak) yang membutuhkan pijakan implementatif bagi masyarakat sebagai standar keberhasilan. Alat ukur keberhasilannya ditentukan oleh konsistensi dan relevansi konsepsi dengan aksi, yaitu sejauhmana upaya penghapusan kemiskinan menjadi mainstream kebijakan dan berjalin berkelindan dengan berkurangnya jumlah warga miskin itu sendiri.

Ekonomi keindonesiaan
Di tengah arus globalisasi muncul penguatan negara. Inilah paradoks globalisasi. Kehadirannya yang menembus batas negara, ternyata menguatkan identitas lokal kenegaraan sebagai respon atas gelombang globalisasi yang monolitik dan hegemonik. Respon ini terjadi di segala bidang. Mulai ekonomi, politik, maupun sosial-budaya, termasuk agama. Sehingga muncul upaya kontekstualisasi, aktualisasi, dan revitalisasi nilai-nilai lokal di tengah gempuran globalisasi. Term kontekstualisasi dan aktualisasi merupakan upaya ekspresif sekaligus eksploratif bagi penguatan nilai-nilai lokal (keindonesiaan) berhadapan dengan nilai-nilai transnasional.

Dalam kerangka itu, ekonomi kita sejatinya berkembang di atas nilai-nilai kesejahteraan dan keadilan sosial sebagaimana tercermin dalam Pancasila sebagai basis nilai khas Indonesia. Tampaknya inilah yang hendak direvitalisasi SBY dalam konteks ekonomi saat ini, yaitu penguatan dimensi kesejahteraan, keadilan, dan keterbukaan yang selama ini timpang.

Keterbukaan ekonomi diperlukan untuk membuka peluang terjalinnya kerjasama Indonesia dengan berbagai negara tanpa terjebak pada diferensiasi ideologi. Ini pula yang dikembangkan dalam aspek politik bebas aktif. Karenanya gagasan bahwa politik bebas aktif harus dirombak di tengah hegemoni Amerika, menjadi tidak relevan dan salah kaprah. Di tengah konstelasi politik global yang penuh ketidakpastian, keberpihakan bisa berbuah kesia-siaan.

Itulah sebabnya Indonesia tidak memilah dan memilih relasi bisnis berdasarkan ideologi, tapi keuntungan demi penguatan ekonomi dalam negeri. Penguatan kerjasama ekonomi dengan Jepang, China, dan Timur Tengah mencerminkan lintas ragam ideologi dengan satu tujuan; kepentingan ekonomi nasional. Keberpihakan inilah yang dibutuhkan saat ini.

Basis sosial
Upaya mengalirkan pertumbuhan bagi kesejahteraan rakyat diperlukan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Langkah legal-formal ke arah tersebut mulai direalisasikan. Salah satunya melalui penguatan dimensi sosial perusahaan yang disebut corporate social responsibility (CSR). Sebagaimana diketahui pemerintah sedang merancang peraturan sebagai penjabaran dari UU Perseroan Terbatas (PT) yang di dalamnya terdapat pasal 74 tentang CSR.

Langkah ini memaksa perusahaan sebagai pilar pertumbuhan ekonomi meneteskan keuntungannya bagi kepentingan sosial. Langkah ini tentu tidak mudah karena para pengusaha terlanjur dimanja oleh rezim sebelumnya melalui berbagai fasilitas yang menguntungkan. Wajar apabila UU PT tersebut mendapat tentangan dari kalangan pengusaha karena diangap mengancam “keuntungan” yang selama ini dinikmatinya. Sebelum UU PT ini disahkan, presiden SBY dalam pembukaan Indonesia International Motor Show (IIMS) meminta BUMN menjalankan CSR sebagai kewajiban terhadap masyarakat. Menurutnya masyarakat merupakan social capital agar industri tumbuh dan memberi manfaat.

Keberadaan UU PT yang memperkuat dimensi sosial perusahaan tersebut sekaligus meruntuhkan wacana korporatokrasi (corporatocracy) yang mencurigai adanya perselingkuhan negara (penguasa) dengan pengusaha. Atau dalam bahasa John Perkins (2004) sebagai sebuah sistem pemerintahan yang dikendalikan perusahaan besar (a system of governance controlled by big corporations). CSR secara tidak langsung merupakan salah satu jawaban pemerintah untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan dan pemerataan.

Regulasi penguatan sosial perusahaan ini memerlukan basis implementasi yang berkoneksi dengan kerja birokrasi yang efektif dan efisien. Birokrasi harus menjadi mesin yang produktif bagi kelancaran investasi sekaligus pemerataan keuntungan bagi kepentingan sosial. Pertumbuhan ekonomi sebagai pembuka bagi kesejahteraan harus dibarengi oleh pelayanan birokrasi yang paripurna yang ramah bagi geliat bisnis. Hal ini perlu ditekankan karena birokrasi selama ini menjadi salah satu komponen munculnya biaya tinggi produksi, sehingga keuntungan industri tak banyak menetes.

Lebih dari itu, upaya penyebaran kesejahteraan dan pemberantasan kemiskinan harus menjadi kehendak kolektif dari para elite politik sampai rakyat. Karenanya perlu reorientasi dan rekonstruksi paradigma ekonomi yang berbasis kesejahteraan sosial. Yaitu penyamaan persepsi seluruh elemen warga negara bahwa gerak pertumbuhan berbanding lurus dengan pemerataan. Penghapusan kemiskinan tidak hanya dilakukan secara legal-formal (kebijakan), tapi dibarengi oleh etos kultural melalui sikap disiplin, jujur, kerja keras untuk kemajuan bersama.

Inilah paradigma ekonomi keindonesiaan yang harus ditegakkan melalui kebijakan yang merakyat dan diimplementasikan melalui sikap yang serempak. Dari sini kita bisa berharap kemiskinan akan menjadi sejarah masa lalu. Atau dalam bahasa yang lebih optimistik ala Muhammad Yunus, peraih nobel perdamaian 2006, dalam Presidential Lecturer (7/8), bahwa kita bisa memuseumkan kemiskinan (we can put poverty into museums). Semoga.

1 comment:

Anonymous said...

Neka tolesanna cek saena...