Thursday, August 02, 2007

Opini



Matinya Etika Politik
Seputar Indonesia, Kamis, 2 Agustus 2007

A. Bakir Ihsan

Kita boleh bangga karena freedom house (2006) memasukkan negara kita sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Kita boleh bangga karena pemilu yang kita selenggarakan pasca reformasi berlangsung ramai dan damai. Kita boleh bangga karena dunia harus mengubur kekhawatirannya akan chaos pada Pilpres langsung 2004 yang lalu. Sembari puja-puji atas demokrasi terus mengalir dari berbagai kalangan, lembaga-lembaga prosedural demokrasi terus kita sempurnakan. Lembaga legislatif yang awalnya unikameral mekar menjadi bikameral. Sistem yang sentralistik luluh seiring otonomi daerah. Bahkan beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi “meresuti” tampilnya calon independen dalam pemilihan kepala daerah.

Semua capaian tersebut merupakan secercah cahaya setelah sekian lama bangsa ini terkubur dalam kegelapan politik akibat otoritarianisme. Seluruh nafas yang awalnya dikendalikan oleh kekuasaan dihancurkan dengan harapan lahirnya kehidupan berbangsa yang lebih bermartabat. Untuk itu, dibuatlah aturan main agar negara ini tidak menjelma menjadi arena homo homini lupus atau menjadi ladang pembantaian sesama anak bangsa baik secara fisik maupun psikis karena benturan ragam kepentingan.

Namun semua langkah di atas belum sepenuhnya menjadi pijakan bersama dalam membangun kehidupan berwarga negara yang civilized. Fenomena politik yang menyeruak belakangan ini mengarah pada arus balik yang cenderung mengotori demokrasi. Tata aturan yang disahkan oleh para wakil rakyat di Senayan harus dilanggar, bahkan oleh mereka sendiri. Mereka memainkan tata tertib yang mereka susun sendiri dengan beragam tafsir yang paradoks untuk mengedepankan kepentingannya. Bahkan cenderung menempuh segala cara untuk memuaskan hasratnya. Demokrasi pada titik ini tercederai oleh distingsi antara perilaku para politisi dengan nilai-nilai yang dibuatnya sebagai landasan etis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Guncangan politik
Francis Fukuyama (1999) menyebutkan bahwa setiap perubahan akan merangsang terjadinya guncangan (disruption). Guncangan karena adanya distingsi antara nilai baru dengan nilai lama dalam sebuah masyarakat. Guncangan bisa juga merupakan shock culture akibat ketidaksiapannya menjalani perubahan yang diluar kerangka nalarnya. Dan inilah tantangan yang dihadapi demokrasi modern di tengah perubahan yang bergulir begitu cepat. Yaitu tatanan sosial yang melemah dalam kerangka kebersamaan (a weakening of social bonds and common values).

Perilaku menyimpang dan pengebirian etika politik dikalangan politisi salah satunya disebabkan oleh guncangan tersebut. Mereka tidak siap untuk menjalani perubahan yang begitu luar biasa sementara secara intrinsik mereka masih terjebak dengan nilai (kesadaran) masa lalunya. Konsekuensinya terjadi ledakan-ledakan anomalis yang memicu seseorang melampaui atau mengancam etika politik.

Hal ini terlihat dari beberapa guncangan politik yang terjadi belakangan ini. Salah satunya adalah tuduhan yang dilontarkan mantan wakil ketua DPR RI, Zaenal Maarif terhadap presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bagi kaum machiavellian langkah yang dilakukan Zaenal merupakan hal yang lumrah. Segala cara menjadi halal untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Atau dalam bahasa Fukuyama agar guncangan dalam dirinya bisa ditekan sedemikian rupa dengan melemparkan beragam isu tanpa peduli validitas dan eksesnya.

Konsekuensinya muncul korban-korban yang sejatinya tak perlu terjadi. Dan ini berimplikasi lebih jauh karena sedikit banyak mengganggu kelancaran roda kerja pemerintahan. Seorang SBY harus menyisakan pikiran dan perasaannya untuk merespon fitnah yang dilontarkan mantan wakil ketua DPR RI.

Pada titik ini politisasi isu yang dilontarkan Zaenal sulit dibantah. Apalagi data-data yang dimiliki Zaenal diserahkan ke lembaga-lembaga politik (DPR, MPR, & DPD), setelah sebelumnya dilempar ke ranah publik seiring pemecatan dirinya sebagai wakil ketua DPR RI. Dan bila isu ini dibiarkan, ia akan menjadi bola liar yang siap dimainkan oleh ragam kepentingan menyongsong pemilu 2009. Wajar apabila presiden secara tegas membantah sekaligus melaporkan isu murahan ini ke pihak berwajib agar diungkap fakta kebenarannya. Karena itu pula, isu ini harus dibaca dalam konteks (etika) politik.

Etika dan logika politik
Etika politik merupakan kristalisasi dari nalar (logika) politik warga bangsa itu sendiri. Ia merupakan muara sintesis dari logika-logika yang berkembang pada ranah publik demi terbangunnya kohesi sosial. Pelanggaran terhadap etika politik dengan sendirinya menandakan matinya nalar kebangsaan dan dapat mengancam integrasi sosial.

Aristoteles dalam magnum opus etikanya, Nicomachean ethics menyebutkan bahwa kebaikan bersama merupakan muara dari etika politik sebuah negara. Dan etika yang baik hanya mungkin tercipta dalam negara yang menyediakan tata aturan yang mengarahkan setiap perilaku warganya demi kebaikan bersama. Dari sini kita bisa mengukur apakan perilaku politik yang berkembang di negeri ini mengarah pada kepentingan bersama (rakyat) atau justru mengkristal menjadi kepentingan kelompok atau pribadi.

Di tengah eforia kebebasan, kepentingan sempit sangat mungkin dirayakan. Atas nama kebebasan setiap kepentingan mendapat tempat aktualisasi tanpa peduli hak asasi orang lain. Aturan main diabaikan untuk mencapai puncak kekuasaan yang mereka pahami sebagai realitas yang inheren dalam politik. Karenanya standar etika perlu ditegakkan melalui barometer yang dapat dipertangungjawabkan secara empiris dan praksis.

Dalam konteks itu, Paul Ricoeur (1990) mengukur etika politik secara teleologis. Menurutnya ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari etika politik, yaitu terciptanya kehidupan bersama dan untuk orang lain secara baik (to be a constituent in a “‘good life’ with and for others); memperluas ruang lingkup kebebasan; dan membangun institusi-institusi yang adil (just institutions).

Ketiga alat ukur etika politik ini dapat diimplementasikan melalui pembacaan terhadap perilaku politik seluruh warga negara, khususnya kaum elit. Kritik, kontrol, dan segala macam input untuk negara harus diletakkan dalam kerangka kebaikan bersama. Bukan dalam rangka mendapatkan “dunia runtuh”. Eksistensi kepemimpinan melalui konsensus lima tahunan harus didukung dan ditoleransi selama berada dalam koridor kebersamaan. Begitupun kontrol yang dilakukan oleh legislatif harus mengacu pada kepentingan bersama (rakyat), bukan pada prestise lembaga apalagi vested interest.

Aspek kebersamaan ini berdiri sejajar dengan kebebasan. Kebersamaan mengandaikan adanya ruang kebebasan yang luas, sehingga pluralitas warga bangsa tetap terawat. Semua ini akan terjadi apabila ditopang oleh eksistensi institusi, termasuk lembaga hukum, yang adil. Dan inilah yang hendak ditempuh Presiden SBY dalam merespon fitnah yang dilontarkan Zaenal Maarif. Semua warga apapun jabatan dan sukunya memiliki kesempatan yang sama untuk mempertahankan martabat dirinya. Sejalan dengan itu, institusi hukum sebagai penentu atas beragam kasus yang menyesatkan atau menyandera kebebasan dipertaruhkan keadilannya.

Etika politik pada akhirnya ditentukan oleh sejauhmana masing-masing warga negara mengarahkan sikap dan perilakunya demi terciptanya kohesi sosial melalui cara-cara yang bermartabat. Dan cara tersebut hanya bisa ditempuh melalui komunikasi dan persuasi, bukan melalui manipulasi apalagi fitnah yang keji.*

No comments: