Monday, July 23, 2007

Opini
Kinerja Presiden di Tengah Anomali Birokrasi
Media Indonesia, Rabu, 23 Juli 2007

A. Bakir Ihsan

Masih adakah negara-bangsa bernama Indonesia? Pertanyaan ini mungkin terlalu ekstrem. Namun melihat parsialitas penyelesaian problem yang menimpa warga, kebangsaan seakan kehilangan ruhnya. Dalam khazanah politik, bangsa bukan sekadar akumulasi individu, namun rangkaian kehendak bersama. A nation is a community of people, whose members are bound together by a sense of solidarity, a common culture, a national consciousness... (Hugh Seton-Watson, 1977). Inilah yang dalam bahasa Benedict Anderson disebut imagined communities. Rangkaian kehendak tersebut sejatinya dapat menepis segala beban yang menimpa sebuah bangsa.
Namun yang terjadi sebaliknya. Masing-masing bergerak sesuai kehendak, sehingga memperparah penyakit yang menimpa negeri ini. Bahkan kondisi negara yang sakit ini dijadikan momentum untuk saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab. Lihatlah penyelesaian korban banjir lumpur panas di Sidoarjo. Masing-masing punya agenda solusi, namun tanpa sinergi. Rakyat minta ganti rugi, pemerintah berjanji, dan DPR sibuk berinterpelasi. Akibatnya solusi tak pernah membumi dan menguap menjadi ilusi.
Apabila fakta tersebut dibiarkan, tentu akan berdampak pada eksistensi kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (Yudhoyono). Yudhoyono akan direkam sebagai pemimpin yang gagal membumikan harapan warganya. Inilah konsekuensi dari sistem presidensial yang tidak didukung oleh birokrasi yang kuat. Berbagai kasus yang menimpa warga akan dibawa ke pusat dan dilimpahkan pada presiden untuk diselesaikan. Kasus lumpur panas di Sidoarjo yang sejatinya tak perlu membesar dan bertele-tele, memaksa Yudhoyono terlibat langsung dalam penyelesaiannya. Dan kasus-kasus lainnya bisa jadi berakibat sama yang menyebabkan roda kepemimpinan tidak berjalan maksimal.
Pelimpahan kasus pada presiden terjadi ketika sebuah persoalan “dibiarkan” membesar. Membesarnya sebuah kasus lebih disebabkan adanya distingsi antara harapan dengan kenyataan (penyelesaian) yang dirasakan warga (korban). Derita yang berjalan tanpa ujung kepastian penyelesaian memacu rakyat untuk menyuarakannya melalui berbagai cara dan membuka ruang bagi masuknya ekspresi politisasi.
Fakta ini sejatinya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk semaksimal mungkin mendeteksi persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Sedikit lengah, ia akan menjadi konsumsi politik yang melebar tanpa ujung. Ketika ini terjadi, perhatian pemerintah akan semakin terkuras oleh persoalan-persoalan eksesif, karena harus melakukan deal-deal politik dengan berbagai kepentingan. Bahkan seringkali deal-deal politik ini lebih ekspresif daripada substansi persoalan yang seharusnya diselesaikan oleh pemerintah.

Langkah pemerintah
Sebagai pucuk pimpinan negara, presiden Yudhoyono bertanggungjawab untuk menyelesaikan berbagai problema yang menimpa masyarakat. Namun mekanisme penyelesaian tersebut tidak harus selalu melibatkan presiden secara langsung. Di sinilah fungsi birokrasi atau aparatus negara dipertaruhkan. Birokrasi menjadi alat perpanjangan tangan presiden. Karenanya, ketika sebuah kasus tidak bisa diselesaikan secara cepat bahkan cenderung terabaikan berarti sistem birokrasi yang ada tidak berjalan secara maksimal.
Dalam kasus lumpur panas di Sidoarjo misalnya. Sejak awal, presiden memberi perhatian serius terhadap penyelesaian masalah ini. Mulai pembentukan Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo (PSLS) sampai pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Begitu juga penyelesaian ganti rugi yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 14 tahun 2007 dan kesediaan presiden menerima perwakilan warga korban lumpur baik di Istana maupun di Cikeas. Intinya presiden tak hendak melupakan rakyatnya yang tertimpa musibah.
Namun perhatian tersebut tak seiring dengan fakta di lapangan. Para korban lumpur terkatung-katung berjuang sendiri menjalani kehidupan yang tak pernah dimimpikannya. Ini membuktikan bahwa solusi-solusi yang ditawarkan presiden, tampaknya tidak berjalin berkelindan dengan penyelesaian di lapangan, sehingga memicu ledakan-ledakan protes baru dari masyarakat. Dalam kondisi psiko-sosial yang demikian tertekan, mudah memicu sensitivitas yang begitu kuat dan melahirkan dampak-dampak sampingan yang tak terduga. Inilah yang terekspresikan dari masyarakat korban lumpur dengan ragam tuntutannya saat ini.

Distribusi wewenang
Secara sosio-politik, berlarut-larutnya penyelesaian problem sosial, termasuk riak-riak separatisme baik di Maluku maupun Papua menunjukkan tiga kegagalan.
Pertama, gagalnya otonomi daerah. Di era otonomi sejatinya daerah memiliki kekuatan untuk menyelesaikan persoalan yang melanda warganya. Keterlibatan pusat membuktikan tidak berfungsinya misi utama dari otonomi daerah.
Kedua, matinya kontrol lembaga politik. Para wakil rakyat yang sejatinya menjadi garda terdepan memperjuangkan nasib warganya seakan mati suri. Kegagalan kontrol lembaga politik terlihat dari adanya kontrol langsung warga atas kebijakan dan langkah-langkah pemerintah yang dianggapnya tidak sejalin dengan kehendak rakyat.
Ketiga, hilangnya kepercayaan (trust) terhadap lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah karena dianggap gagal memenuhi tuntutan dan harapan warga.
Dari ketiga fakta tersebut terlihat jelas bahwa lambannya penyelesaian problem sosial secara tepat dan cepat lebih disebabkan faktor tidak berfungsinya lembaga yang saling terkait. Wewenang yang dimiliki masing-masing lembaga terdistribusi secara liar, sehingga tidak dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.
Dalam birokrasi yang efektif, akan terjadi pendelegasian wewenang secara maksimal. Karenanya, tradisi “turun gunung” seorang presiden untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi warganya tak perlu terjadi. Dialog dan komunikasi antara presiden dengan rakyat tetap signifikan, namun bukan dalam konteks keterlibatannya dalam persoalan yang sangat teknis.
Tradisi “turun gunung” presiden merupakan puncak gunung es dari problem anomali birokrasi. Birokrasi yang seharusnya mempermudah penyelesaian persoalan masyarakat justru menjadi bagian dari problem. Beberapa langkah “turun gunung” yang dilakukan presiden Yudhoyono dalam beberapa kasus penanganan korban bencana membuktikan adanya problem dalam distribusi wewenang. Inilah agenda yang harus diselesaikan agar berbagai persoalan yang melanda masyarakat tidak selalu tergantung dan tersentral pada seorang presiden yang dikepung oleh berbagai problem kebangsaan.

Civic engagement
Transisi di alam reformasi ini memang menyisakan banyak anomali. Hal ini disebabkan oleh belum tersedianya basis kultural berupa keterlibatan warga (civic engagement) yang menunjang bagi proses reformasi dan penguatan civil society. Civic engagement merupakan landasan seluruh warga untuk berkontribusi baik secara ide, sikap, maupun perilaku bagi peningkatan kehidupan warga bangsa. Civic engagement merupakan jantung bagi konsolidasi demokrasi (the heart of a healthy democracy). Karena dari sana seluruh warga tergerak (terlibat) dalam proses politik dan bertanggung jawab bersama bagi pembangunan komunitas-komunitas dan penguatan lembaga yang otonom.
Pengaduan dan upaya penyelesaian persoalan di daerah ke Jakarta membuktikan masih kuatnya ketergantungan daerah pada pusat. Dalam kacamata reformasi, ketergantungan tersebut dapat mengganggu proses penguatan lembaga-lembaga (otonomi) yang seharusnya menjadi pilar bagi tegaknya demokrasi. Dan fenomena ini akan terus terjadi selama mesin birokrasi tidak bekerja secara maksimal sesuai fungsinya.
Walaupun dalam beberapa kasus langkah “turun gunung” Presiden Yudhoyono berhasil menuntaskan beberapa persoalan warga, namun hal tersebut bukanlah jaminan tuntasnya segala persoalan warga secara permanen. Selama kerja birokrasi dan otonomi belum menemukan pijakan civic culture yang kuat, maka riak-riak protes akan kembali muncul dan memaksa Yudhoyono untuk menyelesaikannya. Dan ini tidak efektif sekaligus tidak mendidik bagi tumbuhnya good governance.
Oleh sebab itu, sembari melakukan pembenahan secara langsung bagi kelancaran penyelesaian berbagai problem sosial, diperlukan kehendak untuk memaksimalkan pendelegasian wewenang bagi masing-masing institusi terkait. Sembari itu, perlu transformasi budaya agar proses pendelegasian wewenang tersebut betul-betul bisa dilaksanakan. Dari sana diharapkan rangkaian beban persoalan yang melanda masyarakat tidak lagi ditumpahkan semuanya pada presiden. Dengan penguatan distribusi dan pendelegasian wewenang secara maksimal, kinerja kepemimpinan nasional akan berjalan lebih proporsional.*

No comments: