Friday, July 13, 2007


Opini

Pembatasan Kontes Demokrasi
Koran Tempo, Kamis, 12 Juli 2007

A. Bakir Ihsan

Partai politik belakangan ini semakin menunjukkan absurditasnya. Absurd karena ia merasa punya massa, padahal secara faktual sedang dipertanyakan representasinya (LSI, Maret 2007). Absurd karena ia menjual perolehan suara pemilu lalu, tapi tak berani memunculkan kadernya untuk merebut kepemimpinan. Lihatlah dari beberapa Pilkada, yang dimunculkan adalah sebagian incumbent dan sebagian lagi adalah tokoh yang punya modal personal baik secara finansial maupun sosial.

Dalam kasus Pilkada DKI, absurdinatas itu tampak nyata. Puluhan parpol hanya berhasil memunculkan dua kandidat, yaitu Adang Darajatun-Dani Anwar (PKS) dan Fauzi Bowo-Prijanto (koalisi Jakarta). Banyak pertanyaan yang bisa diajukan melihat defisit calon gubernur di ibukota negara ini. Kalau dalam Pilkada di wilayah lain bisa memunculkan minimal tiga calon, di Jakarta sebagai pusat kontestasi dalam segala hal, ternyata hanya menampilkan dua calon. Untuk menyaring calon pemimpin di Jakarta saya kira sangat mudah dan banyak. Bahkan beberapa di antaranya “melamarkan” diri, namun harus terkubur karena parpol tak sudi mengusung. Ruang aktualisasi kepemimpinan tampaknya lebih macet daripada jalanan di Jakarta dan lebih sempit daripada tata ruang ibukota yang menghimpit.

Fakta tersebut membuktikan bahwa perkembangan infrastruktur Jakarta “lebih maju” dibandingkan suprastrukturnya. Rancang pembangunan yang semakin menjanjikan ini justru berbanding berbalik dengan perkembangan politik yang sejatinya menjadi pandu pengembangan infrastruktur. Pada titik ini terlihat jelas bahwa politik di alam reformasi ini baru menjadi instrumen kekuasaan yang tak bersenyawa dengan ruh pembangunan warga. Inilah politik tanpa politisi. Politik berhenti pada retorika tanpa logika, wacana tanpa makna.

Menelanjangi diri
Defisit kepemimpinan politik tentu menjadi tanggung jawab parpol. Karena sampai detik ini, undang-undang politik menempatkan parpol sebagai pemegang tunggal lisensi meraih “kursi”. Defisit pemimpin yang dialami parpol secara tidak langsung menelanjangi kerapuhan eksistensinya.

Parpol lebih senang menggantungkan dirinya pada “orang lain” daripada kadernya. Pilihan ini membawa dua konsekuensi. Pertama, parpol membuang kesempatan untuk menyosialisasikan visi dan misi sosialnya melalui calonnya sendiri. Calon yang dimunculkan dari luar partai akan kesulitan menerjemahkan visi dan misi parpol bersangkutan. Alih-alih menerjemahkan visi dan misi parpol, para kandidat setelah terpilih akan berjalan di luar kendali dan kalkulasi parpol. Akibatnya warga tak pernah tahu peran dan manfaat parpol. Proses ini pada akhirnya berpengaruh pada tingkat representasi parpol di mata masyarakat. Dan kini parpol menuai hasilnya, yaitu rendahnya tingkat kepercayaan warga atas peran parpol.

Kedua, parpol membunuh proses kaderisasi di dalam dirinya. Para kader partai akan bermalas-malas mengembangkan parpolnya karena orang di luar parpol bisa serta merta “mengendalikan” parpol berdasarkan “modal” yang dimilikinya. Di sinilah titik akar munculnya rentalisasi parpol. Parpol layaknya lembaga transaksi yang legal untuk mendapatkan jabatan. Bukan rahasia lagi bahwa masing-masing calon kepala dan wakil kepala daerah harus menyediakan dana. Dan kuantitas (bukan kualitas) dana menentukan tingkat dukungan parpol. Tanpa “gizi” jangan berharap dapat “kursi”.

Penjual tiket
Dari deskripsi di atas sulit dihindari adanya kesan bahwa parpol mengerdilkan fungsinya sekadar penjual tiket. Ia layaknya biro rental bagi mereka yang berhasrat mencapai kekuasaan. Dan bargaining parpol tersebut bermodalkan suara rakyat yang direpresentasikan di legislatif. Di sinilah ironi demokrasi. Parpol bermodal suara rakyat membatasi suara (aspirasi) rakyat yang hendak berkontestasi dalam demokrasi. Secara politik, realitas tersebut menunjukkan adanya penyimpangan otoritas (abuse of power) yang diamanatkan rakyat. Parpol telah mengalihkan modal suara konstituennya sebagai modal yang diperjualbelikan bagi kepentingan pihak lain. Bukan bagi kepentingan kadernya.

Fenomena abuse of power tersebut akan terus berlangsung mengiringi kontestasi demokrasi selama parpol menempatkan dirinya sekadar penjual tiket. Oleh sebab itu, ide pemunculan calon independen dalam pilkada maupun pilpres menjadi signifikan. Dalam jangka pendek, ia akan memecah aspirasi yang tersumbat akibat parpol yang eksklusif dan oligarkis. Dan jangka panjang, hadirnya calon independen dapat memperluas distribusi kesempatan bagi seluruh warga untuk memilih dan dipilih. Apalagi konstitusi menjamin hal itu. Sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 28-D ayat 3, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Jaminan konstitusi ini jangan sampai dikerdilkan oleh oligarki parpol.

Dan parpol tidak perlu merasa terancam atas kehadiran calon independen. Di samping, parpol memiliki infrastruktur yang lebih kuat daripada calon perorangan (independen), juga karena, menurut Samuel P Huntington, parpol merupakan fondasi bagi stabilitas politik. Persoalannya apakah parpol bersedia memperkokoh khittah dirinya atau sebaliknya melacurkan dirinya untuk kepentingan sesaat yang berujung pada kegaduhan politik yang tak mendidik politik rakyat.

Karena itu, di tengah pembahasan paket rancangan undang-undang (RUU) bidang politik saat ini, para wakil rakyat dan parpol di Senayan bisa lebih membuka diri agar ruang kontestasi kepemimpinan yang luas sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dapat diaktualisasi. Dari sini fenomena rental parpol dapat dieliminasi dan setiap potensi untuk sebuah kontestasi demokrasi dapat dimanifestasi dan diapresiasi. Anggaplah calon-calon di luar parpol ini sebagai barometer untuk mengukur tingkat representasi parpol di mata masyarakat. Kalau parpol serius merevitalisasi fungsi dirinya baik secara internal (kaderisasi) maupun eksternal (agregasi), maka dengan sendirinya calon-calon independen itu akan berguguran. Terbukti di Amerika eksistensi calon independen tak pernah mendapat suara yang signifikan. Dengan demikian, kontestasi demokrasi dapat dinikmati tanpa limitasi akibat ambisi untuk mendominasi.*

No comments: