Wednesday, July 04, 2007


Opini

Separatisme & Uji Nyali SBY
Seputar Indonesia, Rabu, 4 Juli 2007

A. Bakir Ihsan

Peristiwa “tarian cakalele” RMS di depan presiden merupakan pukulan sekaligus uji nyali bagi Presiden SBY. Banyak hal yang bisa disorot dari peristiwa tersebut. Mulai masalah riak-riak separatisme sampai masalah pengamanan presiden yang tidak maksimal. Bisa dibayangkan apabila para “penari cakalele” membawa senjata, korban bisa berjatuhan dan presiden sangat terancam.

Namun ada sisi menarik yang bisa direfleksikan dari peristiwa yang sama sekali tak terpikirkan (unpredictable) itu. Yaitu respons presiden SBY terhadap peristiwa yang dalam kacamata kesatuan sangat membahayakan. Sebagai panglima tertinggi, presiden bisa saja mengambil tindakan represif dengan melibas para penari tersebut. Namun presiden tetap mengedepankan proses investigasi secara tepat terhadap kaum separatis.

Sikap tersebut mencerminkan dua makna. Pertama, bahwa ketegasan yang selama ini diragukan pada sosok SBY terbantahkan melalui instruksi langsung untuk melakukan investigasi dan mengambil tindakan tepat atas peristiwa tersebut. Kedua, bahwa krisis nasionalisme yang selama ini dituduhkan pada SBY terbantahkan melalui sikap tegas atas aksi RMS tersebut. NKRI merupakan bentuk final dari negara bangsa bernama Indonesia yang tak boleh diganggu-gugat. Finalitas NKRI ini tentu tidak bisa dipertahankan melalui represivitas apalagi senjata. NKRI, begitu juga nasionalisme harus dipahami secara aktual dan dikembangkan secara kontekstual. Kalau pada masa represif, presiden bisa melakukan cara apapun untuk menumpas kaum separatis atas nama kesatuan dan persatuan, namun di era reformasi, dialog dan komunikasi harus dikedepankan. Seandainya SBY bersikap represif atas peristiwa di Ambon, justru gerakan separatis (RMS) ini bisa mendapat simpati dari berbagai kalangan bahkan dunia.

Paradigma baru
Reformasi yang dirayakan oleh bangsa ini membuka ruang yang luas bagi beragam ekspresi. Pada awal reformasi ekspresi kebebasan begitu menguat. Mulai tuntutan otonomi sampai memisahkan diri, dari daratan Papua sampai Aceh. Negara seakan-akan kehilangan pandu dalam mengarungi lautan kebebasan setelah sekian lama dibungkam. Kenyataan ini berbeda 180 derajat dengan masa sebelumnya (orde baru). Jangankan gerakan separatisme, gerakan-gerakan kritis atas kekuasaan dianggap subversif dan halal untuk “dihilangkan”. Separatisme layaknya anak haram yang layak ditembak dan diperangi melalui operasi tentara yang sangat represif. Cara ini cukup ampuh meredam separatisme. Paling tidak, cara ini memaksa kaum separatis menjadi gerakan bawah tanah yang siap meledak di saat yang tepat. Dan reformasi menjadi tanah subur bagi ledakan-ledakan separatisme tersebut.

Atas nama kebebasan tak mungkin lagi gerakan-gerakan yang mengancam itu dilibas dengan senjata seperti pada masa lalu. Diperlukan paradigma baru dalam melihat setiap upaya yang mengarah pada disintegrasi. Belajar dari keberhasilan meredam GAM di Aceh, maka diperlukan dialog untuk mencari titik temu dalam kerangka kesatuan anak bangsa. Ketika dialog sudah dibuka dan hak-hak rakyat mulai dirasa, maka tak ada lagi ruang ekspresi pembangkangan terhadap kesatuan negeri ini.

Dalam kasus RMS sebenarnya ruang ekspresi itu semakin sempit. Perkembangan yang terjadi di Ambon justru semakin kondusif, sehingga tidak ada isu-isu yang bisa memancing tumbuhnya gerakan separatisme RMS. Ruang yang begitu sempit itu dicarikan celahnya melalui tarian liar cakalele yang dilakukan oleh sekelompok kecil yang masih menyimpan memori utopia. Bahkan ruang ekspresi separatisme itu semakin dipersempit oleh gerakan-gerakan kontra atas peristiwa tarian cakalele tersebut. Bukan hanya di Ambon, berbagai perkumpulan masyarakat Ambon yang ada di beberapa daerah tanah air mengecam gerakan RMS tesebut.

Transformasi pendekatan dari dialog senjata ke dialog kata menjadi kata kunci yang akan menanduskan tanah subur separatisme. Dari sini, mimpi tentang negara yang ideal di luar Indonesia akan mati dengan sendirinya ketika di negeri ini semua mimpi itu bisa jadi kenyataan.

Antisipatif
Peristiwa di Ambon bisa terjadi di tempat lainnya dengan cara dan format yang berbeda. Di Papua nuansa separatisme lebih kuat dibandingkan dengan RMS. Selang dua hari setelah peristiwa Ambon, bintang kejora berkibar di Papua. Namun peristiwa yang terjadi di Ambon, “pembangkangan” di depan presiden tak pernah terjadi di Papua. Kaum separatis Papua bisa jadi masih punya ruang yang lebih luas untuk mengeksploitasi “kegagalan” pemerintah, tanpa pamer di depan SBY. Begitu juga di wilayah lainnya. Oleh sebab itu, kemampuan prediktif dan antisipatif pihak keamanan menjadi sangat penting. Namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana agar semua kemungkinan (separatisme) itu bisa terhapuskan. Tentu bukan melalui operasi keamanan an sich yang seringkali berbuah kontraproduktif.

Langkah komprehensif untuk memenuhi kebutuhan rakyat adalah jalan terbaik. Negeri ini lahir dan hadir sampai saat ini karena berpijak di atas harapan dan asa yang bergemuruh dalam diri rakyat. Berdialog dan mendengarkan jeritan rakyat jauh lebih penting daripada menjawab pertanyaan politis kaum politisi yang rakyat sendiri tak merasakan manfaatnya. Di sinilah kecepatan, ketepatan, dan ketegasan bersikap dan bertindak pemerintah, dalam hal ini presiden, manjadi pertaruhan yang sangat penting.

Kecepatan merespon diperlukan agar semua persoalan tidak terlanjur membesar yang berdampak secara liar. Begitu juga ketepatan dalam menjawab persoalan yang dihadapi rakyat. Dalam konteks ini yang diperlukan bukan seberapa banyak jawaban yang diberikan pemerintah, namun seberapa tepat jawaban tersebut sehingga bisa menjawab aspirasi dan menyelesaikan problem rakyat. Kecepatan dan ketepatan inilah bentuk ketegasan yang dibutuhkan saat ini. Ketegasan ditentukan oleh efektivitas dan kecepatan dalam merespon persoalan yang dihadapi masyarakat. Karena itu perlu redefinisi ketegasan (sikap tegas). Selama ini ketegasan diidentikkan dengan keberanian, bahkan cenderung nekad, berhadapan dengan situasi yang berkembang di masyarakat. Definisi ini adalah definisi rezim represif yang mengedepankan kecepatan tanpa mempedulikan ketepatan, sehingga melahirkan banyak korban.

Inilah uji nyali yang harus dijawab oleh presiden SBY di tengah transisi dengan ribuan harapan dan aspirasi yang berwarna-warni. Tentu kita tak menutup kemungkinan adanya pihak yang ingin mengambil kesempatan di tengah kesempitan. Pada titik ini, kecepatan, ketepatan, dan ketegasan presiden yang berhasil mempersempit ruang gerak separatisme harus diikuti oleh kecekatan (antisipasi) pihak keamanan. Dan antisipasi ini akan efektif ketika melibatkan partisipasi masyarakat. Tanpa itu, maka peristiwa serupa akan selalu terulang dan secara tidak langsung memberi ruang bagi para petualang.*

No comments: