Monday, October 22, 2007

Opini

Absurditas Syahwat Kekuasaan
KORAN TEMPO, Selasa, 16 Oktober 2007

A. Bakir Ihsan

Walaupun pemilu 2009 masih jauh, manuver politik mulai bersautan. Mulai safari politik sampai pendeklarasian diri sebagai calon presiden terus bersambut. Semua fakta tersebut sah-sah saja karena seluruh anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk meraih jabatan di pemerintahan (UUD 1945 Pasal 28-D ayat 3).

Namun dari sekian manuver politik, ada beberapa hal yang menarik diamati terkait rencana koalisi antar partai, seperti yang digagas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pertama, rencana koalisi ini merupakan langkah absurd karena tidak berdasarkan fakta perolehan suara yang riil. Mereka bermodal suara pemilu lalu yang tingkat konsistensinya belum bisa diandalkan pada pemilu 2009. Penjajakan koalisi sejatinya dilakukan ketika masing-masing punya kepastian perolehan suara. Sehingga kalkulasi dan sharing kekuasaan dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua, langkah-langkah koalisi ini dilakukan oleh partai-partai yang justru memiliki kursi cukup signifikan di Senayan. Sejatinya, langkah-langkah koalisi dilakukan antar partai kecil untuk membuka peluang pemenuhan syarat minimal pengajuan calon presiden. Karenanya, ketiga, koalisi atau pembentukan liga partai-partai besar akan mengarah pada oligarkisme yang dapat membunuh eksistensi pluralitas partai. Salah satu indikatornya adalah munculnya gagasan asas tunggal bagi partai politik di tengah pembahasan RUU Politik yang sejatinya menjadi ajang penguatan konsolidasi demokrasi melalui sistem kepartaian yang berkualitas dan menghargai pluralitas. Penyeragaman asas partai sebenarnya wajah lain dari karakter oligarkis.

Keempat, koalisi antar partai menunjukkan elitisme kelembagaan yang semakin membuat jarak dengan rakyat terbuka lebar. Koalisi antar partai secara tidak langsung menegasikan urgensi eksistensi rakyat. Mereka memperat solidaritas elitis daripada solidaritas massif yang memungkin munculnya persepsi positif dari warga bangsa terhadap partai. Melihat “keganjilan” di atas, terlihat jelas bahwa langkah koalisi tak lebih sebagai manuver politis di tengah kekuasaan yang sah masih eksis. Gagasan koalisi hanya kedok kalkulatif semu untuk meraih keuntungan politis.

Paradoksalitas koalisi
Dengan demikian, penjajakan koalisi dini yang dilakukan partai politik besar mencerminkan paradoksalitasnya (optimisme-pesimisme). Satu sisi partai terjebak dalam waham kebesarannya. Gagasan liga nasional yang dilontarkan PDIP menunjukkan optimisme dalam menggalang koneksitas antar partai sebagai landasan kalkulasi politik. Padahal dalam beberapa survei menunjukkan bahwa eksistensi partai politik tak banyak berpengaruh dibandingkan dengan tokoh atau sosok yang layak dipilih. Hanya 26% masyarakat merasa punya ikatan emosional dengan partai, selebihnya lebih memilih figur atau sosok (Lembaga Survei Indonesia, Maret 2007).

Karena itu, membangun sosok atau kader terbaik untuk memimpin negeri ini jauh lebih penting daripada membangun koneksitas kepartaian (kelembagaan) berdasarkan kalkulasi angka yang masih hampa fakta. Inilah koalisi-koalisi mimpi yang bisa menjadi kenyataan, bisa juga hanya khayalan.

Di sisi lain, koalisi tersebut menunjukkan pesimisme (kekhawatiran) partai politik sehingga perlu mencari sekoci penyelamatan berhadapan dengan segala kemungkinan manifes politik. Termasuk berhadapan dengan calon incumbent dalam pilpres mendatang. Walaupun Yudhoyono belum memastikan pencalonannya, namun para pesaingnya tetap menempatkan Yudhoyono sebagai lawan terberat untuk merebut kursi nomor satu di republik ini.

Duri dalam daging
Ironisnya atmosfer politik ini menggoda “orang-orang pemerintah” untuk terlibat di dalamnya. Padahal mereka sejatinya mengabdikan dirinya bagi efektivitas kerja pemerintahan yang sedang berjalan. Beberapa waktu lalu misalnya ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melakukan safari politik ke PDIP. Sebuah partai yang secara politis beroposisi dengan pemerintah. Apapun alasannya, penjajakan koalisi pejabat negara di tengah pemerintahan berjalan telah menodai fatsun politik yang memberi batas kewajaran dalam praktek politik.

Sejak awal, pemerintahan Yudhoyono berdiri di atas keragaman partai. Bahkan antara presiden dan wakil presiden lahir dari partai yang berbeda. Ada dua potensi yang bisa lahir dari keragaman tersebut. Ia bisa menjadi kekuatan yang efektif bagi operasionalisasi program pemerintah, tapi bisa juga menjadi bumerang ketika masing-masing partai mengedepankan kepentingannya. Dan potensi terakhir tampaknya cenderung menguat seiring dinamika politik menuju pemilu 2009. Inilah duri dalam daging pemerintahan Yudhoyono yang berpijak di atas keragaman partai.

Langkah zigzag yang dilakukan PPP akhir-akhir ini sah-sah saja apabila berposisi sebagai oposisi. Namun dalam kapasitasnya sebagai bagian dari pemerintah, apalagi melibatkan langsung ketua umumnya, maka langkah-langkah koalisi di saat pemilu masih jauh tentu sarat kepentingan. Ditambah lagi partner koalisinya adalah PDIP yang notabene merupakan oposisi pemerintah.

Kesediaan menjadi bagian dari pemerintah sejatinya dapat mengefektifkan kerja-kerja pemerintah daripada melakukan manuver politik yang justru bisa membuat kerja pemerintahan tersendat sekaligus berdampak pula pada citra partai. Oleh karena itu, pemerintahan saat ini harus menjadi pertaruhan semua partai yang terlibat di dalamnya. Para anggota kabinet yang berasal dari partai tetap merupakan representasi partai daripada kualitas personal. Mereka hadir lebih didasarkan rekomendasi partai. Karenanya, kita akan sulit menarik garis lurus antara kompetensi dengan posisi kader partai di kabinet.

Kalau pemerintah dianggap tidak sesuai lagi dengan visi dan misi partai, maka secara jantan partai harus menarik kadernya. Di sinilah daya tawar partai berhadapan dengan kekuasaan seharusnya ditunjukkan, sehingga partai tidak terkesan sebagai penghamba kekuasaan. Ketidakberanian menarik kadernya menunjukkan paradoksalitas wajah partai.
Menyambut pemilu 2009, bukan waktunya untuk cuci tangan. Justru sebaliknya, masing-masing pihak seharusnya tertantang untuk membangkitkan kepercayaan rakyat pada seluruh lembaga-lembaga politik yang eksistensinya ditentukan oleh kepercayaan rakyat. Selama kader partai terlibat di jajaran kabinet (pemerintah), maka sepanjang itu pula partai bertanggungjawab atas kinerja pemerintah. Dan ini akan ditentukan oleh sejauhmana keseriusan para kader partai tersebut mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat sampai detik terakhir nafas kekuasaan. Kalau tidak, maka syahwat kekuasaan yang menyelimuti partai semakin absurd di mata rakyat.*

No comments: